Sarka membuka kaca helm motornya, kemudian ia menepuk pundak Edo sebanyak dua kali, cukup keras. Disusul bibirnya yang terbuka, menyuarakan sesuatu. "Do, entar turun di rumah lo aja ya? Lo nggak usah nganterin gue sampai rumah," ujarnya dengan suara yang sengaja ia naikkan beberapa oktaf, berharap agar Edo bisa mendengarnya.
"Lah ... Kenapa emangnya? Gue bisa anterin lo sampai depan rumah kok kayak biasa," balas Edo. Tapi Sarka menolaknya, ia menggeleng pelan.
"Nggak, gue turun di rumah lo aja," ujar Sarka lagi. "Lagian jarak dari rumah lo ke rumah gue cuma terpaut tiga rumah. Jalan kaki nggak bakal bikin gue matii kecapean," lanjutnya.
Edo tidak membantahnya lagi. Ia menganggukkan kepalanya, mengikuti apa yang sahabatnya itu mau. "Oke deh, terserah lo aja."
"Nah gitu dong!" Sarka kembali menutup kaca helmnya. Ketika motor Edo sudah memasuki kawasan kompleks perumahan mereka, Sarka melihat seorang nenek-nenek yang terus menatap Sarka dengan mata tajamnya. Sarka berusaha mengacuhkannya dan memilih tidak peduli. Tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa janggal dan aneh. Nenek-nenek tadi tidak memiliki pupil mata. Ketika menatap Sarka, bola matanya sepenuhnya berwarna putih. Terlihat sangat menyeramkan. Sarka bergidik sebentar dan menggeleng kuat-kuat. Mungkin saja ia salah melihat.
"Do, lo lihat nenek-nenek di pinggir jalan tadi nggak?" tanya Sarka kepada Edo yang sedang fokus menyetir motornya. Hanya untuk memastikan bahwa tidak hanya dirinya saja yang melihat.
Edo sedikit menolehkan wajahnya ke belakang. Lalu menjawab, "Nenek-nenek?"
"Iya."
"Nggak tuh, mana ada? Gue nggak lihat," sahut Edo.
"Masa sih nggak lihat? Di pinggir jalan pas barusan." Sarka menjelaskan, tapi Edo benar-benar tidak melihatnya.
"Nggak lihat gue, lagi fokus nyetir gini."
Sarka diam setelah itu. Ia tidak mendebatnya lagi. Mungkin saja dirinya hanya salah melihat. Atau kemungkinan lainnya memang hanya dirinya yang bisa melihat nenek-nenek yang menurut Sarka cukup mengganggu dirinya lantaran wajahnya menyeramkan.
Menggeleng sebanyak dua kali, Sarka akhirnya memutuskan untuk tidak memedulikan akan hal itu lagi. Namun, selang beberapa menit kemudian, Sarka kembali melihat Nenek-nenek yang ia lihat sebelumnya. Bola mata Sarka langsung dibuat mengerjap. Lah? Bagaimana nenek-nenek itu bisa ada di situ? Beberapa menit yang lalu Sarka dan Edo baru saja melewatinya. Meskipun hanya Sarka yang melihatnya.
Hal itu terasa aneh dan ganjil. Bagaimana bisa nenek tersebut ...
Sarka mendesah panjang, kepalanya sedikit pusing memikirkannya. Terlalu sulit untuk ia pikirkan. Kembali Sarka menepuk pundak Edo. "Tadi lihat nggak? Nenek yang tadi ada lagi dipinggir jalan."
"Mana ada nenek-nenek sih Sar? Gue nggak lihat ada orang." Edo mengatakannya setengah berteriak seraya melirik ke belakang. "Jangan ngaco deh."
"Eh seriusan ya!" Sarka menepuk pelan helm yang dikenakan Edo. Bahkan kepala Edo sempat terantuk ke depan karena ulah Sarka barusan itu. Sarka jengkel. "Jangan becanda Do, nggak mungkin lo nggak lihat. Kalau pun lagi nyetir, harusnya lo bisa lihat. Orang nenek itu ada di pinggir jalan pas kok."
"Demi Tuhan gue Sar! Gue nggak lihat apapun. Lagian buat apa sih gue bohong sama lo? Sepenting itukah? Untung kagak, dapet dosa baru iya." Terlalu kesal dengan Sarka, Edo memutar bola matanya malas.
"Tapi gue lihat Do," sahut Sarka kemudian, mencicit lirih sembari mengerutkan keningnya. "Aneh banget nggak sih? Sebelumnya gue lihat, masa tadi lihat lagi? Kok bisa nenek-nenek itu balik lagi? Aneh banget nggak sih Do?"
"Mungkin yang elo lihat sebelumnya nenek-nenek yang lain. Bukan yang tadi. Lagian gue juga nggak lihat. Mungkin lo salah lihat kali Sar."
"Nggak Do, tadi beneran jelas banget. Nggak mungkin gue salah lihat. Gue heran juga, kenapa cuma gue yang lihat, kenapa elo nggak?" Jika Edo benar-benar tidak melihat nenek tadi. Apa jangan-jangan nenek itu adalah sosok tak kasat mata? Karena mata Sarka tidak sama lagi seperti dulu.
"Udahlah lupain aja, nggak penting juga kali dipikirin. Tapi gue yakin lo emang salah lihat Sar. Atau nggak nih ya, itu nenek-nenek yang berbeda. Nggak masuk akal kalo beneran nenek yang sama," jelas Edo.
Dan Sarka tidak peduli lagi. Ia tidak ingin memikirkannya lagi. Benar, itu tidak penting. Sarka mengenyahkan perkara tadi dari dalam tempurung kepalanya.
Perlahan-lahan, motor Edo sudah mulai berhenti. Sarka menolehkan wajahnya, sudah sampai. Ketika Edo mematikan mesin motornya, Sarka lekas turun.
"Gue balik dulu ya Do. Makasih tumpangannya." Sarka menepuk-nepuk pundak Edo.
"Iya, sama-sama. Nggak mau mampir dulu?" tawar Edo
"Nggak usah deh, lain kali aja. Udah sore juga, gue mau pulang dan langsung mandi. Gerah banget badan gue."
"Ya udah, sana pulang. Eh Sar, yang tadi nggak usah lo pikirin lagi. Gue yakin lo cuma salah lihat doang kok."
"Iya, mungkin gue emang salah lihat Do." Sarka menjawab seraya tersenyum tipis. Atau mungkin saja cuma gue yang bisa lihat, lanjut Sarka dalam hati. "Gue pulang Do!"
"Yoi bro!"
Setelah itu, Sarka mulai melangkah menuju rumahnya. Tidak sampai lima menit, ia sudah sampai di dalam rumah. Tidak ada yang menjawab salam darinya. Sarka sempat berhenti dan berpikir. Keningnya berkerut, menciptakan kerut tipis nan samar di sana.
"Ibu ke mana? Kok sepi." Sarka bergumam pelan. Ia masuk ke dalam kamarnya untuk menaruh tas dan mencopot sepatu. Setelah itu, Sarka keluar lagi dan pergi ke dapur untuk mengambil air putih. Tenggorakannya terasa sangat kering.
Setelah meminum air putih dari dalam gelas hingga tandas, Sarka menatap sekeliling dapur. "Ibu!" panggil Sarka dengan suara sedikit dikeraskan. Tapi tidak ada tanda-tanda panggilan dirinya dijawab oleh Maria, ibunya. Sarka menghela napas pendek. "Mungkin ibu lagi keluar kali, ya?" Sarka kembali berjalan menuju kamarnya. Ia ingin mandi, tubuhnya terasa lengket karena keringat. Sarka butuh kesegaran. Namun, ia berhenti ketika sampai di kamar Alan. Ia membukanya dan masuk ke dalam. Tiba-tiba sebuah ide tercetus dikepalanya.
Terlihat hantu perempuan dengan rambut panjang itu masih duduk di atas lemari komik Alan, tempat favoritnya. Sarka berjalan mendekat ke arah sosok tak kasat pengagum rahasia kakaknya itu.
"Kalo ke sini tuh ketok pintu dulu, nggak sopan banget main nyelonong aja." Gwen menyeletuk, menyindir Sarka.
Otomatis Sarka langsung mencibir pelan. Ia mendongak, menatap Gwen yang sedang menatapnya. "Lah kamu sendiri? Tinggal di sini memangnya udah ijin sama bang Alan? Enggak, kan?"
Gwen menyengir lebar, seketika saja giginya yang berwarna hitam terlihat sangat jelas. Sarka memutar bola matanya dengan malas. "Ya enggak sih."
"Yeee ... Malah nyengir!"
"Habisnya gimana minta ijinnya? Susah dong, abangmu itu kan nggak bisa lihat saya. Ada-ada saja. Memangnya kamu yang bisa lihat saya ini?"
"Udahlah Gwen, nggak penting!"
"Nah gitu dong! Permasalahan kecil nggak usah dibesar-besarin." Gwen mengibaskan tangan didepan wajahnya. "Ngomong-ngomong Sarka, ngapain kamu ke sini? Kangen sama saya?"
"Dasar kepedean! Nggak mungkin aku kangen kamu. Lihat juga tiap hari, apa yang harus dikangenin? Kalau sebal baru iya!"
"Terus mau ngapain?"
"Aku mau nanya, kamu lihat ibu nggak?" tanya Sarka. "Aku panggilin dari tadi nggak ada. Apa ibu pergi?"
"Lah mana saya tau. Saya nggak keluar, dari tadi saya cuma duduk di sini. Nunggu bebeb Alan pulang kerja."
Jawaban Gwen sama sekali tidak membantu. Sarka mendesah panjang seraya berkacak pinggang. Dia masih mendongakkan kepalanya. "Beneran nih nggak lihat?"
"Iya, saya nggak lihat. Coba kamu cek kamarnya atau mungkin lagi di dapur."
"Di dapur nggak ada!" Sarka langsung menyeletuk.
"Di kamar udah?"
"Belum aku cek sih, mungkin aja memang di sana."
"Ya makanya cek sana! Atau mungkin ada di taman belakang. Udah udah, sana keluar!"
Sarka menatap sosok perempuan berambut panjang itu dengan sinis. "Main-main ngusir aja kamu! Udah numpang di sini, nggak tau diri pula!" Sarka mencibir, sebelum akhirnya ia keluar dari kamar Alan. Meninggalkan Gwen, si hantu yang selalu menyebalkan, setidaknya menurut Sarka sendiri.
Sarka lantas pergi menuju kamar ibunya, Gwen ada benarnya juga. Kenapa Sarka tidak memikirkannya sedari tadi? Ia melangkah pelan. Pintu kamar Maria tidak tertutup rapat, terlihat sedikit membuka. Sebelum benar-benar masuk ke dalam, Sarka sempat mengintip ketika mendengar isakan kecil yang keluar dari bibir ibunya.
Perlahan, Sarka membuka pintu lebih lebar lagi, dan ia melihat ibunya menangis tersedu-sedu. Maria membelakangi Sarka, tidak sadar bahwa Sarka ada di sana. Ditangan Maria terdapat sebuah bingkai foto.
"Maaf ...." Maria berucap pelan, sementara Sarka mengerutkan keningnya. Sebelum akhirnya ia memilih untuk keluar karena ibunya sepertinya tidak bisa diganggu.