Mini figure aja ada pasangannya, masa urang ngga punya?
-Jomblo kepingin nikah muda-
Andara dan Ezra sudah pergi berbulan madu. Sebagian besar keluarga dan kerabat dekat juga sudah kembali ke rutinitas masing-masing.
Ayra ngajakin Yuna jalan. Kangen sama suasana mall di Jakarta katanya. Berhubung Arga ngga mau ditinggal sang istri, Ayra jadi ngga mood dong, secara bakalan selalu terjebak dalam suasana yang ngga bebas. Girl’s time sama Yuna, tapi ngga tega nyuekin Arga. Kenapa begitu? Karena Arga bukan tipe cowok yang asik diajak mutarin mall berkali-kali?
Singkat cerita, Bumi dengan segala modusnya mengajukan diri untuk menemani Arga. Plus ngajakin Qia biar ngga dimarahin Yuna melulu. Kan ngga boleh marah-marah di depan anak kecil. Sepertinya Bumi mendapatkan banyak ilmu dari para suhu di acara nikahan Andara Ezra kemarin lusa. Nah di tempat tujuan nanti, mereka janjian sama Rain. Kalau Rain langsung aja ke mall karena malas mundar-mandir. Alasan Rain ikutan jalan? Soalnya Rain masih cuti sementara Zia sudah sibuk kembali di kantor pusat AirlanggaCode.
Yuna lama-lama speechless menghadapi Bumi. Lagian, makin ia menjauh, makin getol juga Bumi mepetinnya. Bukannya ngga senang, Yuna masih ngeri aja. Coba kalau nanti Utara muncul, apa Bumi masih akan ngejar Yuna seperti sekarang?
Bumi sudah tiba di unitnya Rio Reina saat Yuna dan Qia masih bersiap-siap. Mereka memang janjian di sana, juga dengan Arga Ayra. Sambil nunggu, Bumi konser dulu. Duet bareng Gala – sulungnya Bisma dan Nina. Pernah dengar suara penyanyi yang asik banget? Ngga sekedar bagus, namun yang mendengar pun bisa enjoy banget menikmati alunan nadanya, seolah ia bernyanyi sepenuh hati, tanpa beban, dan karena memang seni adalah hidupnya. Seperti itulah suara Bumi. Ditambah lagi Gala yang juga bernyanyi dengan cara yang sama meski usianya masih sangat muda.
Senandung merdu keduanya membuat Qia tak sabaran. Kuncirnya yang baru sebelah tak ia hiraukan, ia tetap lari dan meninggalkan kamar, menyambangi Gala dan Bumi. Sementara Yuna, heboh mengejar keponakan kecilnya. Hingga keseruan itu berubah menjadi senyap di titik temu.
Bukan, bukan karena rindu. Tapi karena awkward. Bahkan Gala auto merapatkan mulut, menahan tawa.
Hari ini … Bumi, Yuna dan Qia bak pasangan suami istri yang akan berjalan-jalan bersama putri mereka. Ketiganya memakai pakaian berjenis, bermotif, dan berwarna sama. Kemeja katun, off white, dengan pola garis-garis vertikal berwarna biru yang renggang.
Bumi melongo melihat Yuna dan Qia. Kemudian mencengir kaku. Waaah, mestakung – semesta mendukung! Matching banget euy! Kayak apa? Kayak hati urang dan Yuna! Assseeek pisan!
“Aduh!” gumam Yuna pelan setelah kesadarannya kembali. Ia buru-buru memalingkan tatapan dari Bumi, menarik Qia lembut lalu sibuk kembali dengan kunciran rambut Qia. Rasa canggung begitu saja menyelimuti udara di antara Bumi dan Yuna.
Gala, yang sedari tadi menahan tawa, tak tahan juga. “Ya ampun! Onti dan Mamang matching banget!” serunya, diiringi kekehan. "Kayak happy family?" tambahnya. “Happily, ever after.”
“Aamiin,” sahut Bumi yang direspon dengan tatapan menusuk kalbu oleh Yuna. “Emang kita janjian ya, Neng?” tanya Bumi kemudian, nyari materi buat ngobrol sama Yuna.
“Nggalah,” jawab Yuna. “Eh iya, A … itu baju dan parfum Aa masih di Yuna. Mau dibawa sekalian sekarang?”
“Ngga usah, nanti aja sekalian anter Neng dan Qia pulang.” Terus urang poho, besok ke sini deui, poho deui, lusa datang deui, poho deui. Poho terus pokokna mah supaya bisa lihat Neng tiap hari! Jago! (poho = lupa, deui = lagi)
“Serius? Nanti lupa lagi malah Yuna bawa ke Paris lagi. Yuna mah ngga mau da ngirim pakai ekspedisi,” sahut Yuna.
“Iya. Nanti Aa yang ambil ke Paris.” Bagus, Bum! Kejar terus!
“Ish gaya banget ke Paris cuma buat ambil baju sama parfum.”
Bukan atuh, ke Paris untuk ketemu ayang. Gitu Neng Yuna!
“Sudah selesai,” ujar Yuna kemudian pada Qia. Gadis kecil itu menepuk-nepuk kepalanya, sementara Yuna memperlihatkan hasil karyanya dari lensa kamera yang terinterpretasi di layar ponselnya. “Bagus ngga?”
“Bagus!” sahut Qia.
“Qia suka?”
“Syuka!”
“Yeiiiy!”
“Ayo, Onti.”
“Tunggu ya, Onti ambil tas dulu. Oke?”
“Tas Qia?”
“Ayo kita ambil?”
Begitu kedua gadis cantik itu kembali ke ruang tengah, Bumi berdiri dari duduknya. Penghuni rumah ini lainnya tak ada yang ikut, pun Gala. Kalau abangnya Qia itu, hari ini mau ngedit video sebelum dipost di kanal Youtubenya.
“Ayra dan Bang Arga di mana, A?” tanya Yuna.
“Sudah nunggu di bawah,” jawab Bumi seraya mengulurkan tangannya ke Qia.
Sebelum mereka benar-benar pergi, Bumi sempat terpesona lagi menatap Yuna. Tanpa ia sadari, senyum kecil terukir di bibirnya.
“Kenapa sih, A?” tanya Yuna begitu mereka masuk ke lift. Yuna bertanya tanpa memerhatikan ekspresi Bumi lagi. Ia justru sibuk menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin di sekeliling.
“Cantik,” jawab Bumi.
“Aa baru sadar ya kalau Yuna cantik?”
“Qia juga cantik,” timpal anak bayi.
“Iya dong, Qia mah paling cantik,” puji Yuna.
“Abis itu Onti Yuna,” balas Qia.
“Terus, siapa lagi?”
“Onti Zia.”
“Mama cantik ngga?”
“Mama paling cantiiik sekali!” pungkasnya lalu sibuk kembali menjilati honey lollypop di tangannya.
Bumi dan Yuna kompak terkekeh. Namun, saat titik pandang mereka bertemu, keduanya berdehem, sama-sama gugup kembali.
Duh, bisa-bisanya sih bajunya kayak family set gini. Mau ganti tapi kok kayak ketauan banget salah tingkahnya. “Aa?”
“Hmm?”
“Yuna kelihatan tua ya pakai baju begini?”
“Henteu. Kenapa emangnya?”
“Kok kayak tuaan Yuna ya dari Aa? Perasaan muka Yuna boros banget.”
“Ngga kok. Cantik.”
“Iya tau Yuna cantik, tapi kayak tua gitu, A.”
“Henteu.”
“Apa muka Aa ya yang baby face banget? Rambut Aa ngga gondrong lagi sih.”
“Kalau gondrong kelihatan tua ya?”
“Bukan. Kelihatan lebih mature aja.”
“Aa gondrongin rambut lagi?”
“Kok nanya Yuna?”
“Neng sukanya Aa gondrong atau kayak sekarang?”
Aa mah gimana juga cakep. “Yuna ngga masalahin rambut Aa. Kayak sekarang juga bagus. Cuma, Yuna kok kayak lebih tua dari Aa. Padahal kan tuaan Aa dari Yuna.”
“Cuma beda setahun, Neng. Sebaya atuh kita mah.”
“Iya sih.”
“Lagian cantik kok. Menurut Aa mah ngga kelihatan tua. Perasaan Neng Yuna aja itu mah. Kelihatan lebih mature pun emangnya kenapa?”
Ini kali ya yang dibilang Papa Gi? Cewek kalau lagi naksir cowok, kepingin terlihat sempurna, jadi bawaannya gelisah.
“Ngga apa-apa sih,” sahut Yuna.
“Iyalah. Yang penting kan tetap cantik di mata Aa,” balas Bumi.
“Di mata siapa?”
“Di mata Aa, Neng.”
“Ish!” Yuna menatap Bumi seraya mencebik kesal, sementara Bumi justru tergelak renyah.
Meninggalkan gedung, mereka disambut hari yang cerah. Langit biru berawan tipis, sinar matahari yang cukup menyilaukan, dan kepadatan jalanan kota di depan sana yang terlihat sudah melonggar jika dibandingkan pagi tadi.
“Mas Gala mana Qia?” tanya Ayra pada Qia begitu Bumi, Yuna dan Qia masuk ke mobil yang sudah menunggu mereka sedari tadi di teras lobi.
“Main Y0utube,” sahut Qia.
“Ngedit video,” tambah Yuna.
“Ini sengaja pakai family set?” tanya Arga seraya terkekeh.
“Ngga sengaja sih Bang Arga,” lirih Yuna. “A Bumi tuh, ngapain coba pakai kemeja garis-garis?” sulut Yuna kemudian.
“Lah kok gitu? Aa mana tau kalau Neng dan Qia juga pakai motif yang sama. Lagian kiyut tau Neng.”
“Kiyat kuyut!”
“Cocok kok tapi,” ujar Arga lagi.
“Cocok jadi family ya, Bang?” balas Bumi.
Arga tak berani menjawab – khawatir mood Yuna ambruk, Ayra terkekeh, sementara Yuna menghela napas.
Hanya lima belas menit, mungkin karena hari kerja, mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Di sana, Rain sudah menunggu. Dan entah kenapa, Yuna kok merasa kalau tim tour the mall ini malah sengaja ngebiarin Bumi mepetin Yuna; yang Ayra malah sibuk sama Qialah, Arga dan Rain yang kompak banget berdualah, sementara Bumi ngintiiil aja ke mana pun Yuna bergerak. Senang sih, tapi … Yuna takut makin sayang!
“A Bumi kok ngga ikut seseruan sama Bang Arga dan Kang Hujan?”
“Main game doang apa da serunya?”
“Yuna main deh ya, Aa ngga apa-apa kan sendirian?”
“Ya jangan atuh!”
“Lah terus?”
“Ambil itu mau ngga?” ujar Bumi seraya mendelik ke egg capsule toy machine. Poster di dalamnya memberi informasi jika di dalam telur-telur mainan itu hadiahnya adalah mini figure dari karakter dalam anime Sailor Moon.
“Aa bisa emangnya?” tanya Yuna, sangsi.
“Ngga tau sih. Neng bisa?” balas Bumi.
Yuna menaikturunkan bahunya.
Tak lagi membuang waktu, Bumi meraih tangan Yuna, ia genggam seraya menarik Yuna lembut agar melangkah bersamanya menuju kasir guna mengisi saldo kartu. Jantung Yuna berdetak menggila, tatapannya tertuju ke tangannya yang tenggelam di genggaman Bumi.
Bumi tetap menggenggam tangan Yuna erat sepanjang mereka di kasir. Yuna berusaha bersikap biasa saja, meski rasanya panas dingin. Tangannya yang ada di genggaman Bumi terasa hangat, dan entah kenapa, jantungnya malah semakin jejedugan. Yuna ingin protes, namun bibirnya terlalu kaku untuk melontarkan kata-kata.
Setelah saldo terisi, mereka menuju mesin permainan. Yuna yang pertama kali mencoba, jemarinya gemetar saat memutar kenop mesin. Dua kali percobaan, dua kali pula Yuna gagal. "Aa aja deh yang coba," ujar Yuna seraya menyerahkan kartunya kepada Bumi. Malu soalnya kalau gagal terus.
Bumi menyeringai, sok yakin pasti bisa. Ia menggesek kartu, lalu tanpa ragu memutar kenop untuk memposisikan capit di atas telur yang ditargetkan. Lalu, tombol merah besar Bumi tekan. Kedua pasang mata sama-sama membelalak, mengikuti gerakan capit. Hingga … sukses membawa satu telur. Plop! Sebuah telur plastik jatuh ke dalam wadah. Bumi gegas mengambil hasil usahanya, membuka telur tersebut, dan ....
“Princess Serenity!” seru Yuna. Boneka kecil berambut panjang itu nampak imut dan cantik dengan gemerlap warna putih dan emas. Yuna terkekeh, kedua matanya jelas berbinar senang. "Harusnya ada Endymoon juga biar mereka tetap bersatu," celetuknya kemudian, tak sungguh-sungguh, hanya bercanda.
Bumi menatap Yuna lekat, senyum penuh makna tersungging di wajahnya. "Kalau Aa bisa dapetin Endymoon, Neng janji ya kabulin satu permintaan Aa?" tawar Bumi.
Yuna terdiam, tatapannya berubah bingung. "Permintaan apa?"
"Nanti aja Aa kasih tau," jawab Bumi. "Tapi janji dulu. Kabulin. Oke?”
“Kalau ngga sesuai sama hati Yuna?”
“Ngga harus langsung dikabulin kok, pikirn dulu juga boleh. Mmm … waktunya sampai sebelum Neng balik ke Paris. Gimana?"
Yuna nampak ragu, tapi … ngga mungkin kan Bumi meminta yang aneh-aneh? Berbekal keyakinan tersebut, akhirnya Yuna mengangguk pelan. "Oke, tapi Aajangan minta yang aneh-aneh ya."
Alhamdulillah. One step closer, Bum! Semangat!
Bumi tersenyum penuh kemenangan, sebentar saja, lalu kembali fokus ke mesin permainan. Kali ini, tujuannya lebih spesifik: Endymoon, alias Tuxedo Bertopeng, alias Mamoru Ciba. Karakter cowok yang menjadi pasangannya Princess Serenity, alias Sailor Moon, alias Usagi Tsukino. Kartu digesek kembali, kenop diputar kembali. Setiap kali tangan Bumi bergerak untuk memposisikan capit, Yuna menahan napas, berharap Bumi gagal, meski di sisi lain, entah kenapa, ia juga agak berharap Bumi berhasil. Namun, satu per satu telur jatuh, tak ada tanda-tanda keberadaan Endymoon.
“Bang, ini Tuxedo Bertopeng ada ngga sih?” tanya Bumi ke mas-mas staf arcade yang numpang lewat.
“Ada, Bang. Tapi langka,” jawab staf itu.
“Langka?”
“Iya, Bang.”
“Berarti kalau sudah ada yang berhasil dapat, kemungkinan ngga ada lagi dong?”
“Iya, Bang.”
“Oke.”
Mas-mas itu permisi, menjauhkan diri. Sementara Bumi menghela napas frustasi. Maksud hati ingin mengguncang hati Yuna, kini keyakinannya justru yang terguncang.
“Lanjut ngga A?” tanya Yuna, agak ngeselin juga ekspresinya.
Bumi ditantangin gitu ya malah panas. “Coba dong!”
“Jangan-jangan ngga ada lho,” ‘kipas’ Yuna lagi.
“Yang penting dicoba dulu.” Bumi sok bijak.
Namun, sampai percobaan ke-13, Bumi masih belum berhasil. Dari lima telur yang didapatnya, isinya tiga Luna, satu Sailor Mars, satu lagi Sailor Venus. Qia yang akhirnya sibuk memainkan empat karakter itu bersama Ayra. Arga dan Rain yang bolak balik mainan balap motor sampai turun dari motor masing-masing, penasaran dengan yang dicari Bumi.
"Aa, udah sih, nanti saldonya habis," tegur Yuna, sekarang jadi kasihan.
Memikirkan apa yang Bumi mau, membuatnya enggan menyerah. Meski keringat mulai membasahi keningnya, ia tetap menggesek kartu dan memutar kenop dengan tekad baja. Setiap kali telur keluar, lagi-lagi Bumi menghela napas kecewa, namun ia lanjut mencoba lagi.
Ayra, Arga dan Rain terus menyemangati sekaligus mencandai, kagum dengan kegigihan Bumi. Ngga usah ragu kalau soal gigih mah, anaknya Bapak Edo gitu lho!
Akhirnya, tinggal satu kali kesempatan sebelum saldo kartunya benar-benar habis. Bumi melakukan peregangan jemari lebih dulu sembari mencari telur targetnya. Tolong Bumi, ya Allah. Kasih jalan biar Bumi bisa nikah muda, ngga perlu pacaran aneh-aneh. Jalan yang baik. Dimulai dengan mendapatkan Endymoon. Aamiin.
Percobaan terakhir itu pun dimulai. Capit bergerak ke target. Capit kemudian turun, mencengkeram sebutir telur. Sambil menahan napas, capit itu bergerak lagi, syukurlah telurnya tak terlepas, masuk ke wadah keluar. Bumi meraih hasil permainannya, dengan jantung yang bertalu-talu, ia memutar di bagian tengah, lalu membuka telur plastik yang paling diharapkan. Tak hanya Bumi yang gugup, yang lain juga demikian, termasuk Yuna. Hingga … begitu kertas-kertas yang membungkus mainan disingkirkan, mini figure didalamnya membuat Bumi auto bersimpuh dengan kedua tangan lurus merdeka dan wajah mendongak ke atas. “Woohoo!” serunya senang. Endymoon, sang pahlawan malam, berhasil ia dapatkan.
Yuna sampai tergelak melihat tingkah Bumi.
"Tuh kan, Neng … Aa dapet juga," ucap Bumi puas seraya kembali berdiri.
“Ya ampun, Aa … segitunya banget sih?" balas Yuna, setengah takjub, setengah geli.
Bumi mengedipkan sebelah matanya, kemudian meraih tangan kanan Yuna. Endymoon ia letakkan di telapak Yuna. "Demi permintaan Aa, Neng."
Yuna menggigit bibir, ada rasa takut juga penasaran. "Aa mau apa?"
Bumi membalas pertanyaan itu dengan senyum lebih dulu, tak segera menjawab. "Nanti aja. Pas kita pulang, baru Aa kasih tau."
“Kok gitu?”
“Iya, sekarang main dulu.”
“Yuna penasaran Aa.”
“Permintaannya baik kok.”
“Bilang dong kalau baik.”
“Aa haus. Mau beli jus, Neng mau ngga?”
“Malah ngeles deh.”
“Mau teu?”
Titik pandang Yuna bergeser, mendapati ipar dan sepupunya yang lain sudah asik menyesap jus di genggaman masing-masing. Kayaknya sengaja banget gitu Yuna dan Bumi ngga dibeliin.
“Mau, A,” jawab Yuna.
“Mau jus apa?”
“Yang berry crush, tapi jangan yang pakai yogurt ya, A?”
“Oke. Tunggu ya, Aa beli dulu.”
Yuna mengangguk.
Sementara Bumi mengantri di booth yang menjual jus, Yuna melipir ke toilet sejenak.
“Pesan apa, Kak?” tanya seorang juicer pada Bumi.
“Satu berry crush, satu mango tango crush. Ukurannya ori dua-duanya.”
“Ada lagi, Kak?”
“Itu saja.”
Juicer itu mengangguk, lalu melipir sejenak, membuatkan pesanan Bumi.
Titik pandang Bumi menyapu apa yang ada di hadapannya, hingga ia menyadari ada seseorang yang ikut mengantri di belakangnya dari samar pantulan dinding. Mungkin tak terlalu jelas, namun Bumi tau itu Utara. Terpisah dua orang saja, dan Utara tak sendiri, namun dengan seorang pria.
Begitu juicer itu kembali ke balik mesin kasir dan memberikan pesanan Bumi, ia pun membayar bill-nya. Utara bilang, tak ada lagi yang tersisa di antara mereka kan? Jadi, tak perlu juga Bumi beramah-tamah lebih dulu bukan?
So … Bumi berbalik.
Utara shock, tak menyangka jika lagi-lagi ia dan Bumi ada di tempat yang sama.
Namun, Bumi seperti tak melihatnya.
Bumi justru tersenyum sumringah. Bahkan senyuman itu sampai ke mata.
Begitu Bumi melewatinya, Utara perlahan menoleh, mengikuti ke mana sosok Bumi pergi.
Dan hatinya semakin perih saat ia mendapati Yuna yang menunggu Bumi mendekat. Interaksi keduanya begitu hangat dan manis.
Namun, itu belum selesai. Karena selanjutnya yang terjadi adalah … Bams melepas genggaman tangan mereka. Saat Utara menoleh ke Bams, pria itu menghela napas – ekspresinya kesal bukan kepalang. “Kita putus aja ya, Utara? I'm sick of you!”