“Enggak dong Mas. Aku sudah lulus kuliah tahun ini,” sahut Veranda dengan mimik muka lucu.
“Oh, kalau begitu, sudah kerja, ya Veranda?” tanya Marvin, yang berbalas anggukan kepala dari Veranda.
“Iya, lagi kerja magang sekarang. Nah itu dia masalahnya. Atasannya reseh banget. Genit. Kalau manggil aku mau kasih tugas, pasti matanya itu ngelihat ke aku seperti binatang buas ketemu mangsa, kayak mau nerkam gitu. Sudah begitu, dia celamitan. Masa kalau kasih berkas ke aku, suka sengaja pegang tangan aku. Terus kalau sambil ngomong itu suka nepuk pundak lah, nyentuh lengan aku. Gatel banget itu tangan. Minta dikepret kayaknya Mas. Tapi ngepret-nya jangan pakaitangan, kebagusan. Pakai bakiak, biar nyaho,” tutur Veranda dengan gaya seorang adik mengadukan perlakuan tak adil atasannya kepada kakak kandungnya yang super hero dipastikannya akan membelanya mati-matian.
“Masa?” tanya Marvin. Sepertinya dia terganggu sekali.
“Iya. Tadinya aku pikir dia nggak sengaja atau memang mau akrab. Tapi kok lama-lama omongannya juga mulai nyerempet-nyerempet begitu. Aku mulai mikir, wah ini sih kurang ajar. Makanya, tadi aku tegur saja sekalian. Eh, dia malah tersinggung dan ngomongnya lebih galak ke aku. Dia bahkan mengancam aku, katanya mau kasih aku surat peringatan karena sudah bicara nggak sopan sama atasannya. Mas Marvin, tolong referensikan aku ke perusahaan mana gitu. Nanti aku email curiculum vitae ke Mas Marvin, deh. Boleh minta nomor telepon Mas Marvin?” cerocos Veranda lancar pada orang yang baru saja dia kenal. Padahal sejatinya, apa yang diungkapkannya barusan adalah ‘materi’ yang hendak dia ceritakan ke Valentina.
Valentina saja sempat terbengong sesaat. Saking dia merasa geram mendengar adiknya dilecehkan di tempat kerja, dia sampai tidak terpikir untuk menjawil lengan sang adik dan menghentikan ocehannya yang ‘terlalu dini’ kepada Marvin.
“Boleh. Nomor kamu berapa Ver, aku kirim misscall ke kamu sekarang,” sahut Marvin cepat.
Valentina terperangah mendengarnya.
Ia mengernyitkan kening, selagi Marvin dan Veranda saling bertukar nomor telepon. Diam-diam dirinya merasa geli melihat keduanya langsung akrab. Sedang dia saja, belum pernah saling satu kalipun bertukar nomor telepon genggam dengan Marvin. Ya meskipun, keduanya tentu akhirnya saling tahu dari data yang ada di perusahaan.
Di satu sisi, dia merasa gemas mendengar adiknya diperlakukan kurang ajar begitu oleh sang atasan, tetapi di sisi lain, dia sedikit kebingungan untuk mencerna pemandangan yang tengah terhampar di depan matanya. Veranda yang begitu lancar mengadu kepada Marvin, dan Marvin yang mendengarkan dengan saksama, seolah tengah menjalankan sebagian dari fungsinya sebagai bagian human resources department, yakni mendengar keluhan dari karyawati yang satu perusahaan dengannya saja.
“Itu sudah masuk kategori pelecehan, Ver. Harus dilaporkan ke management. Kamu berani nggak, untukmenyampaikannya? Soalnya belum tentu kamu satu-satunya yang diperlakukan semacam itu. Biasanya, kalau ada satu orang yang berani membuka apa yang menimpanya, akan ada korban lain yang juga mau buka suara. Apa sih nama perusahaannya? Siapa tahu Mas punya kenalan di sana dan bisa menelusuri sosok atasanmu itu,” kata Marvin serius. Ya, sebagai sarjana psikologi, tentunya marvin telah cukup terlatih untuk menilai apakah seseorang tengah bicara jujur ataukah sekadar mengarang cerita bohong.
‘Mas? Secepat itu dia menyebutkan dirinya ‘Mas’ ke Veranda? Ya, oke, Veranda memang dari tadi memanggilnya ‘Mas’. Dia kan ya... begitulah. Dan alangkah lucu dua orang ini, aku sampai dianggap nggak ada. Lift juga bolak-balik terbuka dari tadi tapi dicuekin. Yang satu, apa nggak capek setelah ketemu sama orang pabrik yang ajaib-ajaib dan suka banyak tuntutan itu? Apalagi Bu Indira juga sudah tinggal hitungan hari aktif di kantor? Kok mau-maunya menengarkan curhatan Veranda? Satunya lagi, sudah lupa apa, tadi bilang dirinya sudah kelaparan? Terus, enggak berat ya, nentengin travel bag begitu lama?’ batin Valentina takjub.
“Kalau kita lanjut untuk ngobrol di unit Mbak Valentina aja gimana, Mas? Boleh kan, Mbak?” pertanyaan Veranda yang frontal membuat Valentina terkesiap. Ia meneatap ragu kepada Marvin. Marvin dapat membaca arti pandangan itu. Ya, tentu saja itu isyarat keberatan. Orang yang memutuskan untuk tinggal di apartemen biasanya kan memang mengutamakan privasi.
“Hah? Apa Ver? Ya nggak harus malam ini juga, kali. Itu.., Marvin kan capek, baru pulang dari pabrik. Kamu juga, bukannya kelaparan, tadi itu? Sudah tukaran nomor telepon, kan? Nah, besok-besok kan masih bisa, Ver,” cegah Valentina.
“Mbak-mu ada benarnya, Veranda. Begini saja, karena kebetulan besok akhir pekan, coba kamu kumpulkan datanya dulu. Di sini juga banyak area umum, Ver, yang bisa digunakan sebagai tempat ngobrol yang nyaman. Di kedai kopi atau di food court, misalnya. Nah, itu ada lift yang hampir sampai lantai dasar. Kita siap-siap yuk,” Marvin angkat suara dan memberikan opsi jalan tengah.
Karena posisi berdiri Valentina lebih dekat dengan tombol lift, dia yang lebih dahulu memencet tombol lift.
“Marvin benar itu Ver,” kata Valentina pula.
Walau tidak sepenuhnya setuju dan merasa pembicaraannya dengan Marvin masih ‘kentang’ alias nanggung, Veranda terpaksa menuruti sang kakak.
Saat pintu lift terbuka dan beberapa orang keluar dari sana, Marvin memberikan isyarat agar Valentina dan Veranda masuk.
*
“Eh, itu Mas Marvin, Mbak Val! Mas Marvin! Sini!” teriak Veranda dengan heboh, ketika melihat sosok Marvin yang membawa tas belanja ramah lingkungan, melangkah masuk ke dalam toko buah yang berseberangan dengan area food court. Veranda dan Valentina memang sedang menikmati sop buah dan cakwe pagi itu. Semacam brunch, pada pukul 10 pagi lewat sepuluh menit begini. Itu lantaran jam sarapan telah lewat sementara jam makan siang masih lumayan lama. Hitung-hitung, juga sebagai penawar rasa kecewa Veranda karena Valentina tidak sekadar menolaknya untuk diajak berenang, namun juga melarangnya.
Tadi itu Veranda sempat ngotot, dan menganggap kakaknya itu ‘nggak asyik’. Tetapi akhirnya toh dia merasa, dia tidak terlalu ingin berenang. Lagi pula, dia kan merasa perlu untuk ‘menjadi anak manis’ agar kakak perempuannya itu mau mempertimbangkan dirinya sebagai admin toko online, membantu sepupu mereka, apabila dia telanjur mengajukan diri dan belum kunjung mendapatkan pekerjaan baru.
Lantaran letak toko dengan meja di mana Valentina dan Veranda makan cukup jauh, Marvin tidak mendengar seruan Veranda.
Veranda kembali meneriaki nama Marvin. Kali ini dia bahkan berdiri dan menggerakkan kedua tangannya, persis korban dari pesawat yang jatuh di pulau terpencil, yang melihat ada pesawat lain melintas di udara.
“Mas Marvin! Woyyyy! Mas Marvin!” teriak Veranda lagi.
Valentina menarik t-shirt yang dikenakan sang adik, meminta agar adiknya kembali duduk.
“Hush! Orang pada ngelihatin semua. Malu! Kalem sedikit kenapa? Kalau perlu sama orang itu, samperin orangnya, atau tunggu saja sampai dia melintas dekat sini. Bukannya teriak-teriak begitu,” tegur Valentina, lalu mengangguk pada beberapa pasang mata yang menatap ke arah mereka. Dia sungguh-sungguh tak enak hati ditatap seperti itu oleh mereka yang jelas terganggu dengan suara berisik Veranda.
“Masa harus nyamperin sih Mbak? Kan lagi makan, tanggung. Terus, kalau nunggu Mas Marvin lewat dekat sini, iya kalau lewat, kalau enggak?” protes Veranda.
Valentina berdecak.
“Sudah, duduk! Lanjutin makannya! Kamu itu! Bukannya kemarin kamu bilang, sudah makin tertib?” tegur Valentina lagi.
Veranda terbungkam. Sebetulnya kalau dalam keadaan normal, dia pasti tak ragu untuk membantah Valentina. Tapi sekarang, dia sedang terdesak. Dia pantang menganggur, sementara dia juga sudah tidak ingin berlama-lama bekerja di tempatnya yang sekarang. Bukan lantaran takut tidak punya uang. Bukan. Sampai sekarang juga orang tuanya masih mentransfer sejumlah uang untuknya. Dia juga tahu, Valentina juga sesekali mengirim uang ke rekening tabungannya. Tetapi setelah merasakan ‘nikmatnya’ aktivitas bekerja, rasanya kehilangan rutinitas dan kesibukan sungguh mengerikan baginya. Padahal, itu salah satu yang dia banggakan di depan teman-temannya. Nah, kalau dia tidak menunjukkan sikap yang baik, apa iya Valentina mau melibatkan dirinya mengurus toko online miliknya? Dan apa mungkin dia dapat meminta referensi pekerjaan kepada Marvin, kalau tanpa ‘restu’ kakaknya ini?
“Iya deh,” kata Veranda dengan hati bergetah.
Ia pun makan dengan terburu-buru.
Valentina mengedikkan bahunya, melihat sang adik mengerucutkan bibirnya.
Ia melayangkan pandang ke arah kolam renang.
Veranda memergokinya.
“Tuh, kan? Kepengen juga, kan berenang? Tadi pakai acara ngelarang-ngelarang segala,” Veranda bersungut-sungut.
Dengan terburu-buru, ia menghabiskan makanannya dan menatap ke arah yang sama dengan sang kakak.
“Ramai begitu. Tuh lihat, kolam renang kalau Sabtu pagi sampai agak siang itu, isinya anak kecil semua,” komentar Valentina sembari mengelap bibirnya dengan kertas tisu.
Benar apa yang dikatakannya. Saat ini, begitu banyak anak kecil sedang bermain lempar-lembaran bola plastik. Sebagian dari mereka ada juga yang adu cepat berenang dari ujung kolam yang satu ke ujung lainnya. Lantas, ada pula yang bermain di bawah pancuran air atau bercanda dengan kawan-kawan mereka.
“Oh my God! Aduh, itu anak! Semoga dia nggak kenapa-napa,” seru Valentina sambil bangkit berdiri. Wajahnya terlihat demikian panik.
^* Lucy Liestiyo *^