“Kenapa, Mbak?” tanya Veranda.
Valentina tidak menjawab. Secepatnya dia meninggalkan Veranda dan melangkah lebar menuju kaca pembatas antara area food court dengan area swimming pool, seolah-olah dia dapat menembus kaca itu saja.
Veranda mengernyitkan kening dan mengekor di belakang kakaknya.
Valentina yang terlihat amat cemas, mengetuk-ngetuk kaca pembatas. Mulanya pelan, tetapi semakin lama semakin keras. Celakanya, tidak ada seorang pun yang mendengarkannya. Dia benar-benar geregetan dibuatnya.
“Mbak, ngapain sih? Itu kaca tebal, jadi nggak usah di ketuk-ketuk begitu,” tegur Veranda santai.
‘Tadi nyuruh aku supaya tertib. Lha sekarang bukannya kasih contoh yang baik,’ kata Veranda dalam hati.
Valentina menunjuk-nunjuk ke arah seorang anak kecil.
“Itu...! Itu! Anak itu dalam bahaya! Aku harus kasih tahu satpam! Kenapa orang-orang di sekitar dia nggak ada yang tahu dan nolongin dia?” teriak Valentina dengan panik.
Berpikir dirinya bakal kehabisan waktu, Valentina langsung berbalik badan dan hendak memberi tahu bagian keamanan.
Baru saja ia membalikkan badan dan satu kali melangkah, ia mendengar teriakan Veranda, “Auuuw! Ya ampun! Kasihan amat si Adek!”
Valentina menoleh. Yang pertama ia perhatikan adalah adiknya, karena berpikir adiknya kenapa-napa. Ia melihat, adiknya membekap mulut.
“Kenapa?” Valentina mengguncang pundak Veranda.
“Itu Mbak! Anak kecil itu terpeleset barusan. Aduh! Semoga dia baik-baik saja. Tadi jatuhnya nyungsep begitu. Kepalanya terbentur ubin di pinggir kolam renang,” sahut Veranda.
Valentina terkejut. Ia memalingkan wajah ke kaca pembatas. Di tepi kolam renang sana, ia melihat ada kerumunan. Jadilah ia tak dapat melihat dengan jelas anak kecil yang tadi dipergokinya dalam keadaan terancam bahaya. Di antara kerumunan orang itu, dia melihat seorang berseragam turut berjongkok. Tak lama, orang berseragam itu bangkit berdiri dan mengangkat seoang anak kecil. Dahi anak kecil itu tampak terluka dan mengeluarkan darah. Anak itu menangis. Di belakang satpam, ada seorang ibu yang tampaknya merupakan ibu dari anak kecil tersebut.
Valentina menepuk jidatnya.
“Nah itu satpam! Kenapa dari tadi dia enggak nolongin? Dia kemana saja, tadi itu, kan biasanya juga berjaga di dekat kolam renang? Harusnya dia sigap dan menghindarkan anak itu dari bahaya, bukan baru bertindak setelah ada kejadian begini!” kata Valentina dengan gusar.
“Mbak ngomong apaan sih? Itu kan bukan salahnya dia. Orang aku lihat sendiri begitu anak kecil itu terpeleset, dia langsung lari nyamperin kok,” bela Veranda.
“Terpeleset?” tanya Valentina ragu.
Dia tahu benar, apa yang menimpa anak itu. Semua urutannya, sebelum anak itu jatuh. Tadi dia melihat ada sosok besar yang mencengkeram tubuh anak itu.
“Kamu tahu Ver, tadi itu yang mencengkeram anak itu, dan seperti mengayunkan dia, seperti siap buat membanting atau melemparkannya,” kata Valentina.
“Siapa?” tanya Veranda dengan nada mencela.
“Sosok... besar... seperti... yang waktu itu..., mencelekakan ... si Melo,” kata Valentina tersendat.
“Hah? Mbak ngomong apa sih?” tanya Veranda.
Valentina mengibaskan tangannya.
“Sudah. Mbak mau cari tahu apakah luka anak itu serius. Mbak rasa dia dibawa ke klinik sebelah apartemen ini. Soalnya kalau di dokter yang ada di area apartemen ini, selalu ramai. Juga, kalau misalnya, amit-amit, perlu dijahit, kelihatannya nggak ada peralatannya,” urai Valentina.
Veranda menatap bingung kepada kakaknya, tetapi ia segera mengikuti langkah kakaknya. Dia tidak tahu saja, sementara kakaknya itu melangkahkan kaki, hatinya digayuti perasaan resa luar biasa. Sebab, tanpa dikehendakinya, kronologis peristiwa yang menimpa anak kecil itu, seperti tertayang ulang di depan matanya...
- Kilas Balik –
“Adik, jangan jauh-jauh dari Kakak, ya!” ibu dari anak kecil itu berpesan.
Yang diberi pesan mengangguk patuh.
“Kak, adiknya dijagain ya,” kata sang Ibu kemudian, kepada anaknya yang satu lagi.
“Siap, Komandan!” sahut sang Kakak sambil menempelkan tangan di dahi, seperti pasukan yang memberikan hormat.
Sesuai perkataan yang keluar dari mulut masing-masing, keduanya memang memegang janji, menuruti pesan ibu mereka. Yang lebih besar menjaga yang lebih kecil. Tetapi saat yang lebih besar bertemu dengan kawan-kawannya, dia mulai asyik sendiri sementara adiknya merasa tidak dihiraukan. Adiknya itu diam-diam meninggalkan sang kakak dan naik ke atas. Saat itu, entah dari mana munculnya, mendadak di pinggiran kolam renang ada sosok besar yang duduk. Kedua kakinya menjuntai ke kolam renang, sedang kedua telapak tangannya memegang pinggiran kolam. Karena tentu saja sosoknya tidak terlihat, tangannya terinjak oleh kaki mungil anak kecil itu. Dan untuk menarik perhatian sang kakak, si anak kecil mengentak-entakkan kaki beberapa kali. Artinya, dia menginjak telapak tangan si sosok besar sekian kali. Marahlah sosok itu karena merasa terganggu. Dia mencengkeram dan mengayun-ayunkan tubuh si anak kecil. Anehnya, si anak kecil yang tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, malah menari-nari. Dia baru tersadar oleh rasa sakit ketika badannya terlempar dan membentur ubin keras.
- Akhir Dari Kilas Balik –
“Mbak, itu Mas Marvin!” tepukan di pundak Valentina menyadarkan Valentina.
“Oh,” sahut Valentina singkat.
“Kok ‘oh’ sih?” protes Veranda.
“Mbak kepengen tahu keadaan anak itu. Mbak mau tanya satpam. Sebentar, ya. Kamu tunggu di sini. Jangan kemana-mana, ya!” tanpa menunggu adiknya menyahutinya, Valentina melesat cepat. Yang terpikir olehnya, kalau mengajak Veranda, hanya akan membuatnya repot saja. Bukankah Veranda itu mirip dengan Meisya? Ya meskipun, Veranda tidak separah Meisya, dalam segala hal.
Valentina terlebih dahulu mengecek ke pos keamanan untuk menanyakan kemana anak kecil tadi dibawa.
“Oh, enggak apa-apa kok, tadi sudah dibersihkan lukanya sama suster. Sekarang sedang diperiksa sama Bu Dokter Julia,” itu keterangan yang didapatkan Valentina dari salah seorang satpam. Valentina tahu, mereka mempunyai grup chat yang memungkinkan semua informasi tentang apa saja yang terjadi di area apartemen lekas menyebar.
“Dokter Julia? Oh, saya pikir dibawa ke klinik depan,” kata Valentina, seperti menyesalkan.
Dokter Julia adalah salah satu dokter yang membuka praktek di area apartemen yang ditempati oleh Valentina. Mendengar keteragan itu, meski belum tuntas, Valentina sudah dapat menarik napas lega. Pikirnya, kalau Dokter Julia dapat menangani, tentunya luka anak keci itu ‘ringan saja’
Namun begitu, hati Valentina tidak seketika tenang. Ia sengaja melewati bagian depan tempat prakter Dokter Julia. Dan betapa hatinya lega, karena bertepatan dengan tibanya ia di sana, ia melihat anak kecil yang tadi mengalami ‘kecelakaan kecil’ di area kolam renang, sudah keluar dari ruang praktek dan digandeng oleh kakak dan ibunya. Dahinya ‘hanya’ ditempeli kain kasa. Tangisnya juga sudah mereda. Kelihatannya Dokter Julia mendahulukan menolong anak itu ketimbang pasien lain yang menunggu, dan tampaknya pasien lain juga tidak keberatan karena melihat anak kecil itu lebih membutuhkan pertolongan sang Dokter ketimbang mereka.
“Syukurlah. Kalau dia enggak digendong, tapi jalan sendiri, artinya dia baik-baik saja,” kata Valentina lirih.
Telepon genggam Valentina berbunyi. Valentina merogoh kantung celana jeans-nya dan langsung menggulir ikon ‘yes’ kala mengetahui Veranda yang meneleponnya.
“Mbak, sudah, cari informasinya? Anak kecil itu nggak kenapa-napa, kan? Cepetan balik sini dong. Aku tunggu di meja yang tadi ya,” kata Veranda tanpa sapaan ‘hallo’ lagi.
“Iya, tunggu,” itu saja yang diucapkan Valentina lalu menggulir tulisan ‘end’.
Sembari melangkahkan kaki, Valentina berusaha mengusir selaksa pertanyaan yang singgah di kepalanya : Siapa sosok besar itu? Apakah dia penunggu kolam renang? Apakah dia memang suka mengganggu? Aku ini kenapa sih? Kenapa harus aku yang diberi penglihatan hal-hal macam ini?
^* Lucy Liestiyo *^