8. Anak

982 Kata
Varo memijat kepalanya yang mendadak berputar. Armand sudah selesai dengan ceritanya. Tentang dia dan Padma, bagaimana dia bsia menjalin hubungan dengan Padma bahkan menikahinya. Sungguh sekarang dia merasa sangat berdosa pada Padma. "Kabar terakhir kudengar, kalian sudah memiliki seorang putri, Yasmin kalau tidak salah namanya. Mereka mencari kalian, tapi tidak pernah ketemu setahuku. Setelah itu aku pindah tugas ke luar kota, baru kembali ke Jakarta dua bulan ini dan bertemu denganmu sekarang. Kamu berubah banget, Varo. Kuakui itu." "Iya. Aku tahu." "Bagaimana kabar Yasmin?" Varo melihat ke arah Armand dengan bingung, tak tahu harus menjawab apa. "Kalau itu aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu." "Maksudmu kamu benar-benar hilang ingatan akan Padma dan Yasmin, istri dan anakmu? Sama sekali tidak ingat pada mereka?" Armand mendelik marah. Varo mengangkat wajahnya yang kini pipinya kemerahan. Armand sempat melihat ada kilatan mata beringas di mata tajam Varo. Armand kaget, berucap istighfar dan bisa kembali menguasai dirinya. "Varo... ingat, istighfar! Ayo, kalahkan apapun yang ada dalam tubuhmu!" Bisik Armand. Dia takut Varo akan mengamuk tiba-tiba dan menarik perhatian pengunjung yang ada di situ. "Eeuurrgh.... ssshhh..." Malah terdengar desisan dari mulut Varo. Armand melihat itu semua. Dia harus menyemangati Varo yang juga berusaha agar bisa mengendalikan dirinya.  "Varo... hei, dengar aku! Istighfar! Lawan apapun yang ada di tubuhmu dan ingin menguasaimu. Kamulah penguasa tubuhmu, bukan yang lain!" Bentak Armand. "Astag.... aaagrhh.... astag... astagfirullah... Ya Allah, ampuni hamba." Terbata-bata Varo beristighfar. Butuh kekuatan dan tekad luar biasa darinya untuk bisa berucap satu kata itu saja.  "Varo, kamu butuh pertolongan orang yang paham akan hal ini. Tadinya aku tidak percaya saat kamu bilang kamu diguna-guna. Tapi melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tahu akhirnya bahwa kamu memang bukanlah kamu yang dulu. Ada sesuatu yang salah denganmu, dengan dirimu." "Iya, aku sudah beberapa kali dirukiyah syari'ah oleh seorang ustad kenalan. Ini sudah jauh membaik, karena sekarang aku sudah ingat untuk sholat. Dua tahun terakhir ini, aku sama sekali tidak pernah sholat. Baru sebulanan ini aku mulai sholat, belajar kembali untuk bisa khusyu. Berat, sungguh berat. Seperti ada sesuatu dari dalam tubuhku yang menolak jika aku menjalankan syariat agama, sholat dan mengaji. Beruntung aku dibimbing oleh ustad yang paham akan hal ini dan sesuai syariat agama." "Iya, jangan sampai juga kamu semakin terjerumus ya. Aku akan berikan nomer ponselku, kapan-kapan kita bisa atur janji untuk ngobrol lama. Sungguh aku penasaran akan apa yang terjadi pada Padma dan Yasmin." "Armand, aku bisa percaya kamu kan? Tolong rahasiakan ini dari siapapun, terutama dari keluarga Padma, hingga aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi." Pinta Varo. "Insya Allah. You have my words." *** "Sayang, melamunkan apa sih? Akhir-akhir ini kulihat kamu sering sekali melamun." Yvonne memeluk Varo dari belakang, mengecupi pipi sang suami yang berusia lebih muda darinya dua tahun. Di depan Varo televisi masih menyala, sebuah acara tentang kehidupan seorang selebriti dengan bayi lelaki lucu yang tampan dan sang istri, yang menjadi viral. Entah angin dari mana, tiba-tiba saja Varo menonton acara itu. "Tumben nonton acara reality show gini, yang. Kenapa? Ada apa?" Yvonne beranjak ke depan Varo, dan duduk dipangku sang suami. Mata suaminya tampak kosong sesaat, pikirannya pasti berkelana entah ke mana. "Yvonne, sudah berapa tahun kita menikah?"  Yvonne menjauhkan kepalanya, agar bisa melihat Varo dengan lebih jelas.  "Tumben nanya seperti itu. Kita menikah hampir dua tahun. Ada apa, yang?" Tanya Yvonne curiga. Sepertinya aku benar-benar harus segera kembali ke Pak Tua itu. Mungkin efek ramuan itu sudah habis? Kok cepat sekali? Biasanya bisa buat empat bulanan. "Dua tahun ya? Kenapa kita belum punya anak? Aku tidak ingat pernah ke dokter untuk periksa. Aku sehat, kamu juga sehat. Kenapa kita belum punya anak?" "Ooh itu... duuh sayang, kamu ngagetin aku aja deh, kirain ada apa." Yvonne menarik nafas lega, walau sempat kaget mendengar pertanyaan Varo. Dikecupinya wajah Varo, berakhir pada penyatuan bibir mereka, dia berusaha membangkitkan gairah Varo padanya.  "Kenapa? Aku ingin rumah besar ini juga ada celoteh anak, keributan dan keriuhan mereka saat berebut mainan, saat berantem, saat merepotkan aku dan kamu." Varo melepaskan ciuman panas itu dan menuntut jawaban. Yvonne bergidik ngeri membayangkan apa yang dikatakan Varo. Hiiiy, rumah berantakan, ribut, berisik, berantem, kerepotan? Aaah tidaaak, aku tidak mau itu terjadi. Tubuh seksiku akan melar, gembrot?  "Euum, mungkin memang belum saatnya dikasih. Kamu tahu sendiri kan, aku masih sering ke luar kota mengurus ini itu. Kasian anak kita kalau nantinya harus sering aku tinggal." "Tapi aku ingin punya anak." Varo berkata dengan mata menerawang jauh. Dia membayangkan sosok Yasmin kecil, semampu yang dia bisa. Sama sekali tidak ada foto yang dia punya untuk bisa mengingat sosok cantik sang putri saat kecil. Hanya selembar foto yang dia temukan waktu itu saja. "Apa? Kenapa mendadak jadi punya pikiran seperti itu sih?" Yvonne mulai kesal. "Menurutmu kita menikah untuk apa? Salah satunya kan untuk punyai keturunan. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi bermain dengan seorang putri cantik. Sayangnya itu cuma mimpi, dan kusesali saat aku terbangun tidak ada seorang putri yang bisa aku gendong dan aku manja." Yvonne menghembuskan nafas kasar, iya dia tahu itu. Tapi dia tidak mau, tidak sekarang. "Dengar sayang, saat kita menikah, kita sudah pernah membahas ini, bahwa hamil dan memiliki anak adalah prioritas kita nomor sekian sekian. Setelah aku benar yakin mau dan mampu untuk menjadi seorang ibu, aku pasti akan hamil. Hamil anakmu, anak kita." Yvonne berusaha meredam suaranya agar tetap tenang. Akhir-akhir ini Varo memang berubah drastis, dia sudah curiga akan hal itu. "Kapan itu akan terjadi? Umurmu sudah tiga puluh satu kan? Sudah sangat cukup dan matang untukmu hamil, untuk kita punya anak, jika memang kita serius menjalani pernikahan ini." "Apa katamu? Menurutmu, aku tidak serius dengan pernikahan kita?" Yvonne berdiri dari pangkuan Varo, dia benar-benar marah, sungguh marah karena Varo menuduhnya tidak serius dengan pernikahan mereka. Dulu mungkin iya, dia hanya sekedar ingin memiliki Varo, dengan cara apapun asalkan Varo menjadi miliknya. Tapi sejak tahu kebaikan hati lelaki tampan itu, dia sungguh jatuh cinta pada Varo, dan bertekad akan mempertahankannya apapun yang terjadi. Apapun! Sepertinya esok aku harus segera menemui Pak Tua. Aku harus meminta ramuan lagi untuk Varo. Entah apa yang bisa membuatnya melawanku seperti ini. Aku tidak suka. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN