"Ara! Buka pintunya dek!"
"Ara!"
"Ara!"
"Dek, buka pintunya!"
Ketukan tak sabar berubah jadi gedoran. Beberapa orang yang dilanda dengan emosi yang sama sedang melakukan hal yang sama, mencoba untuk menyuruh si pemilik kamar untuk mau membuka pintu agar mereka bisa berdiskusi selayaknya keluarga tentang satu keputusan yang baru saja gadis itu lakukan.
Lain halnya dengan orang di luar kamar yang berapi-api, si pemilik kamar alias Ara berusaha mendinginkan pikirannya. Dia duduk di bawah pancuran shower, memeluk tubuhnya sendiri tanpa perlawanan sedikitpun. Ia membiarkan tubuhnya mendingin perlahan seraya mengabaikan segala keributan dari luar.
"Kalian tidak akan mengerti bagaimana kotornya Ara sekarang. Kalau kalian tahu, mungkin kalian tidak akan menganggap Ara sebagai bagian dari keluarga ini lagi. Ara ini sampah!" Gumamnya dengan suara yang sumbang. Alasan lain kenapa dia berada di bawah pancuran air adalah menyembunyikan tangisnya yang begitu mendalam.
"Ara benci dengan diri Ara sendiri, bagaimana dengan kalian nantinya?. Sampai rasanya penolakan itu membuat Ara ingin bunuh diri, tahu gak?!"
***
Sudah hampir satu jam mama, papa, dan Ed berada di luar kamar Ara yang ditemani oleh Ken dan Kasandra. Sedangkan tamu undangan yang lainnya sudah pulang sesaat setelah Ara naik ke atas kamarnya. Mama terus saja menangis, memaksa papa dan Ed untuk mendobrak pintu agar mereka melihat Ara, tapi tak ada yang berani melakukannya.
"Mama mohon, kalian buka pintu ini atau lakukan segala cara agar dia mau bicara dengan kita. Mama sudah menelponnya tapi hpnya gak aktif. Please, mama mohon." Kata mama, menangis sambil memeluk papa.
Tidak ada yang menjawab. Semuanya menunduk, termasuk Ken yang masih mengingat dengan apa yang dilakukan Ara padanya kemarin malam. "Apakah dia benar-benar hamil?. Aku yakin dia tidak akan sengaja melakukan itu kemarin malam. Tapi, aku tak punya cukup bukti untuk mengatakan hal itu. Terlebih sekarang keadaan semakin rumit." Batin Ken.
"Pria itu juga tak tahu diri sekali menghamili anak orang tapi tak mau bertanggungjawab!" Kesal Ken dalam hatinya.
Ken kini mengambil alih. Dia mengetuk pintu seraya merayu Ara untuk membukakan pintu untuk mereka. Beberapa dari ucapan rayuan Ken untuk Ara membuat Kasandra kecewa. Dia cemburu. Tentu saja.
"Dek, ini kakak. Yuk keluar yuk, ngomong sama kakak. Kita gak bakal marah sama Ara kok." Kata Ken, terdengar begitu lembut dan manis.
"Mana janji Ara?. Kemarin katanya Ara akan selalu dengar kata kak Ken, tapi ini kok gak mau?. Kak Ken sedih lho..." Sambungnya.
"Tetap tidak bisa, Ken. Mendingan kamu pulang saja. Ini sudah larut malam." Ujar Ed. Dia menggeser tubuh Ken dari depan pintu, kini giliran dia yang mencoba merayu adiknya.
Menarik nafas perlahan, "dek, ini kakakmu yang paling ganteng tapi ngeselinnya pake banget. Kakak gak pernah larang kamu selama ini. Kakak gak pernah marah sama kamu, cuman sedikit cerewet saja. Tapi, semarah-marahnya kakak, kakak selalu nurutin permintaan kamu, dek. Kita emang sering berantem, tapi itu lah yang membuat kakak sayang banget sama kamu."
Belum ada yang merespon.
"Atau kamu mau apa, dek?. Es krim? Tas? Sepatu? Baju?. Apapun deh! Kakak akan turutin asal kamu buka pintunya sekarang ya, dek. Kakak mohon,"
Ed kembali berpikir keras. Dia memikirkan hal apa yang akan membuat adiknya itu mau membukakan pintu untuknya. Seketika ia teringat dengan satu hal ini yang mungkin bisa mengubah segalanya, termasuk dirinya.
"Kamu ingat kan sama boxer pink pemberian kamu?. Kakak rela deh di sebar aibnya yang pakai boxer pink itu asalkan kamu mau buka pintu. Hmm?" Bujuk Ed. Ini sudah tingkat bujukan dewa yang ia punya karena mempertaruhkan harga dirinya sebagai pria yang maskulin dan jantan serta sebagai pemimpin sebuah agensi perusahaan.
Tidak lama,...
Ceklek.
Pintu terbuka.
"Mampus!. Siap-siap aib gue kebuka gara-gara kamu, dek. Kenapa harus boxer pink juga sih Ed?!." Cerca Ed dalam hatinya.
Namun tak urung, hal itu membuatnya senang. Ia berhasil membujuk adiknya. Hanya saja ketika ia hendak masuk, langkahnya terhentikan dengan interupsi sang adik. Dirinya di tolak mentah.
"Hanya kak Ken yang boleh masuk. Selain dia jangan masuk atau Ara gak mau keluar kamar lagi." Kata Ara lemah, namun bisa terdengar.
Baik Ken ataupun Kasandra juga mendengar hal itu. Ken langsung hendak masuk, namun ditarik oleh Kasandra. Ia menatap calon suaminya, menggeleng yang menandakan kalau dia tak mau Ken masuk ke sana.
"Aku gak bisa masuk, Ed. Aca tidak memperbolehkan ku." Kata Ken. Hal itu semakin membuat mama semakin menangis karena Ken hang terlalu nurut dengan Aca yang sebagai calon istrinya.
"Aca, please, aku mohon biarkan Ken masuk ke dalam. Gak akan lama, kok. Aku mohon," kata Ed. Ia menatap keduanya dengan tatapan memohon.
"Ca, sebentar saja, ya."
Ken melepas tangan Kasandra yang berada di lengannya. Perlahan, kakinya beranjak masuk ke dalam kamar Ara yang gelap. Perempuan itu membuat semuanya menjadi gelap gulita, namun hanya satu titik yang tidak mengikuti itu semua. Ia melihat Ara yang duduk di dekat ranjangnya dan di depannya ada laptop yang dinyalakan.
"Dek..." Sapa Ken pelan. Ia juga mendekati Ara dengan langkah yang pelan.
Tidak ada jawaban dari Ara, namun Ken tetap mendekat sampai ia menyadari kalau di dekatnya sudah ada air yang menggenang. Seketika ia dengan cepat mendekati Ara dan memastikan apakah yang dia pikirkan ini benar-benar terjadi.
"Kamu masih basah, dek. Ganti bajunya dulu, nanti kamu sakit." Kata Ken. Ia memegang lengan Ara hendak membantunya bangun, yang kemudian langsung dihempaskan oleh Ara.
"Jangan sentuh Ara, kak. Kakak gak berhak melakukan itu." Kata Ara dingin.
Ken terdiam. Ia beranjak menuju walk in closet dari dalam kamar Ara, dan mengambil baju ganti untuk perempuan itu. Ketika ia kembali ke tempat Ara duduk sebelumya, ia tak menemukan keberadaan Ara. Ia juga baru tersadar kalau sekarang kamar ini sudah berubah dan tidak ada lagi fotonya yang terpajang. Ia pernah beberapa kali masuk ke sini dan melihat fotonya yang memenuhi kamar Ara. Kali ini berbanding terbalik. Tidak ada satupun yang tersisa.
Ken melihat Ara yang berdiri di balkon. Ia beranjak menuju tempat itu dan menyampirkan handuk untuk Ara. "Dingin, dek. Sebaiknya kamu ganti baju dulu dan cerita sama kakak kenapa kamu seperti ini." Ujar Ken.
Ara melepas handuk yang tadi Ken sampirkan di pundaknya, terjatuh percuma. Ken melihat benda itu dengan tatapan kecewa. Ia sangat menyayangkan Ara berlaku seperti ini padanya.
Ara memberikan benda kecil persegi panjang kepada Ken. "Ini apa?" Tanya Ken. Ia kebingungan menatap benda itu, bergantian menatap Ara yang enggan menatapnya.
"Itu flashdisk yang isinya foto-foto kakak. Ara sudah memindahkan semuanya dari laptop Ara ke dalam sana. Ara juga sudah memblokir kakak dari kontak Ara. Sekarang, Ara mau fokus kuliah saja. Tidak mau memikirkan hal lain lagi." Ucap Ara.
"Maksudnya apa, dek?. Untuk apa kamu kasih kakak flashdisk yang isinya foto kakak sendiri. Nih!" Ken memberikan flashdisk itu kembali ke Ara.
Ken kembali di abaikan oleh Ara. "Kakak bisa keluar. Ara mau sendiri." Gumam Ara. Dia memberikan jarak dengan Ken. Memeluk tubuhnya sendiri yang semakin kedinginan karena di terpa angin malam.
Satu hal yang ada di pikiran Ken sekarang dan sudah tidak bisa dia tahan untuk bertanya lebih lanjut. "Kamu beneran hamil, dek?" Tanya Ken.
Seketika, Ara menatap Ken. "Kalau Ara beneran hamil, memangnya kenapa kak?. Kakak mau tanggung jawab? TIDAK KAN?" Batin Ara. Dia melengos dan memilih melihat hal yang lain.
"Kalau kamu beneran hamil, kakak bisa kasih tahu kak Ed agar dia mencari pria yang menghamili kamu, dek. Supaya dia bertanggung jawab sama kamu. Kakak kasihan sama kamu kalau menanggungnya sendirian." Kata Ken, tanpa mengetahui kalau pria yang melakukan itu adalah dirinya sendiri.
"Percuma saja. Pria yang melakukanya saja tidak sadar diri. Buat apa menyalahkan pria lain untuk menutupi ketidaktahuan yang seharusnya bertanggung jawab?" Batin Ara.
"KELUAR." Tekan Ara.
"Apa dia teman kuliahmu? Atau siapa?. Kakak akan mencarinya." Bujuk Ken lagi.
"Kakak mengerti maksud kata Ara? Keluar!" Bentak Ara. Dia mengambil flashdisk di telapak tangan Ken dan melemparnya ke bawah.
"Keluar!" Lanjutnya dengan nada yang tinggi.
Senyap. Tidak ada yang bersuara. Hanya emosi Ara yang tak tertahankan aja yang menyuarakan itu semua dalam hatinya. Ia sekarang menatap benci kepada pria di depannya ini.
"Dek.."
Ken hendak menggapai lengan Ara, namun langsung di tepis olehnya. Ara mendorong tubuh kekar Ken untuk keluar dari area balkon dan menguncinya. "Aku muak!" Kata Ara sangat jelas membuat Ken menatapnya dengan nanar.
***
Sudah tiga hari Ara sakit sejak malam ulang tahunnya itu. Ia memang sudah tak mengunci kamar, hanya saja dia tak mau bersuara sedikitpun. Ia terus saja terdiam dengan tatapan yang kosong. Makan pun hanya mentok di dua suap saja.
Sayup-sayup terdengar pembicaraan Ed dengan Ken. "Pernikahanmu akan digelar tiga hari lagi dan aku sudah mengundang beberapa media untuk menyorot pernikahan kalian."
"Iya. Untuk masalah itu, kamu tidak usah khawatir. Aku sudah mengaturnya sedemikian rupa agar pernikahan kalian bisa berjalan lancar tanpa ada gangguan sedikitpun dari para fansmu." Kata Ed, lagi.
Kesadaran Ara langsung naik ke permukaan. Ia bangun, menatap mamanya. Tiba-tiba ia menangis, "ma, Ara mohon biarkan Ara pindah kuliah. Ara mohon,"
Seketika hal itu membuat mama menangis. Ia memeluk Ara yang akhirnya mau bicara dengannya. "Astaga, sayangku. Akhirnya kamu mau bicara juga akhirnya, nak." Gumamnya sambil memeluk putrinya.
***
Mama dan papa menangis melihat putri kesayangannya sedang menyiapkan barang-barang yang akan di bawanya ke luar negeri. Setelah pertimbangan yang cukup panjang, akhirnya hari ini adalah hari keberangkatan Ara ke Amerika. Bertepatan dengan itu juga, hari ini adalah hari pernikahan Ken dengan Kasandra.
"Kakak cuma bisa antar sampai bandara saja, dek. Tapi kakak janji bakal sering mengunjungimu nanti." Kata Ed yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar adiknya, Ara.
"Tidak apa, kak." Ujar Ara. Dia memasukkan beberapa sisa bajunya yang belum masuk sepenuhnya.
"Soalnya jadwal keberangkatan kamu bersamaan dengan pernikahan Ken. Kakak gak bisa meninggalkannya begitu saja." Jelas Ed. Dia membantu adiknya untuk packing.
"Kalau kakak sibuk, Ara bisa sendiri ke bandara. Kakak lanjut saja di sana,"
Ara memberikan senyum terbaiknya untuk sang kakak. Memeluk Ed dan sedikit menumpahkan meresahkannya pada sang kakak yang selalu perhatian. Cukup lama, Ara melepaskan pelukan itu dan beralih ke mama dan papanya.
Mereka memeluk Ara serempak. "Nanti kalau sudah sampai disana, kabari kami ya, dek. Jangan lost contact begitu saja. Sering-sering hubungi kami." Kata sang papa mengingatkan putrinya.
"Sebenarnya kami gak tega melepaskanmu, dek. Tapi semoga keputusanmu ini adalah yang terbaik. Kami hanya bisa sebagai supports system mu saja, dek. Semoga kamu sukses di sana." Kini, giliran sang mama yang berbicara.
"Iya. Semoga dengan cara ini Ara akan sukses dan membanggakan kalian." Jawab Ara.
"Malah kalau Ara gak pergi, maka Ara akan sukses membuat kalian merasa hancur dengan keadaan Ara sekarang. Ini lah yang terbaik untuk Ara dan semuanya sekarang, ma, pa. Maafkan Ara." Batin Ara.
Setelah acara memberikan wejangan, memberikan perhatian dan kasih sayang yang begitu panjang dengan ditemani tangis air mata yang tak terkira, akhirnya Ara sudah bisa meninggalkan rumah. Ia melambaikan tangan pada mama, papa, dan Ed yang berdiri di depan rumah. Ed tak jadi mengantarnya karena sibuk dengan acara pernikahan pria yang sudah menghamilinya, namun tak mau bertanggungjawab padanya. Dia ke bandara menggunakan taksi, sendiri.
"Pak ke Dian Ballrom, Raffles Jakarta ya." Kata Ara, mengubah tujuan pertamanya yang seharunya ke bandara.
"Baik, mbak!"
***
Setiap langkah memasuki gedung itu, semakin membuat Ara sakit hati. Ia menuju gedung pernikahan Ken dan Kasandra sebelum pergi.
Ketika sampai di depan, ia di mintai surat undangan, namun naasnya ia tak memiliki benda itu. Hanya saja, ia punya seseorang yang bisa memperbolehkannya masuk dengan bebas.
"Saya adiknya Edward." Kata Ara.
Hal itu membuatnya diperbolehkan masuk. Ara menyusuri pesta yang sudah di isi oleh banyak tamu undangan. Ia memilih tempat yang bisa menyembunyikannya, namun masih memungkinkannya melihat Ken.
Ara tertawa, tersenyum sekaligus menangis. Menyatu, bersatu, membuat sakit Ara semakin berasa hebat. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambarnya sendiri alias selfie.
"Sebagai tanda kalau hari ini adalah hari paling sakit hati seumur hidupku bagi Ara si gadis malang." Gumamnya. Ia menatap nanar ekspresi dirinya di foto itu. Tak melakukan hal yang sama, seperti sebelumnya Ara tak mempostingnya di media sosial miliknya. Ia akan menyimpannya, untuk dirinya sendiri.
Kembali berjalan menyusuri sambil menunggu acara di mulai. "Bahkan kakakku mendukung mereka, lalu kenapa aku yang sakit hati?. Aku dan Ken gak punya hubungan apapun yang bisa memperjelas rasa sakit hati ini," gumam Ara pelan.
Seketika langkahnya berhenti ketika melihat cinderamata yang seharusnya nanti dibagikan ke para tamu undangan. Cinderamata yang sangat indah, dengan terdapat ukiran nama Ken dan Kasandra yang sangat jelas di tengahnya. Sangat indah!.
Apakah dia akan mendapatkannya dan membawanya menjadi luka?. Ara terdiam. Tidak lama, ia tertawa. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri yang berakhir miris.
Tidak lama, para tamu undangan semakin memenuhi gedung. Dan acara utama juga sebentar lagi di mulai. Sempat tadi Ara melihat kakaknya, tapi dia segera bersembunyi. Dia juga memakai kacamata untuk menyembunyikan sorot mata terlukanya.
"Kita sambut pasangan kita yang sedang berbahagia!. Kenneth Malvin dan Kasandra Lamia!"
Seketika suara tepuk tangan dan sorakan terdengar riuh. Bahkan rasanya semua tamu undangan melakukan hal yang sama, tak terkecuali Ara. Dia menyambut kedatangan pasangan fenomenal yang KATANYA sedang berbahagia.
Masuklah Ken dengan Kasandra ke ruang acara. Mereka terlihat begitu bersinar, bercahaya, sampai tidak ada yang lebih menarik untuk di lihat selain mereka.
Selama keduanya berjalan menuju tempat yang sudah di persiapkan untuk mereka, Ara mencerca dirinya sendiri. Ia benci dengan dirinya yang ternyata selama ini salah.
"Harapan semu ku ini yang membuatku hancur. Ekspetasiku terlalu tinggi untuk sebuah perasaan yang tak akan terbalaskan." Gumamnya pelan dalam hati.
Ken dan Kasandra tampak begitu bahagia. Senyum mereka terlalu merekah, mengalahkan bunga-bunga yang ada di ruangan ini.
"Bukan dia yang salah, tapi aku dan perasaanku yang terlalu berlebihan. Aku tak seharusnya membenci mereka, kan?. Mereka hanya dua orang yang saling mencinta satu sama lain, sedangkan aku?. Hanya seorang penggemar yang punya harapan terlalu tinggi untuk di gapai." Batin Ara.
Nyess....
Ara melihat Ken. Dia terus saja memandang pria itu dari balik kacamata hitamnya. Pandangan Ara jatuh ke arah genggaman mereka yang erat. Hal itu membuatnya tertawa sendiri dan mengangguk yakin untuk menyudahi ini semua. Ia sudah cukup sakit.
"Sudahlah. Percuma saja aku disini. Lebih baik aku pergi dan memulai hidup yang baru dibandingkan menyibukkan diri dengan kesakitan." Katanya. Ia berjalan keluar dari gedung acara.
Ara berlalu, bertepatan dengan Ken yang melihatnya tanpa sengaja.
"Ara?" Gumam Ken dengan nada yang rendah.
"Kenapa?" Tanya Kasandra.
Ken menggeleng, "tidak ada."
Ia mencoba menepis pikirannya, hanya saja perasannya tak begitu tenang. Ia masih memikirkan tentang apa yang sudah Ara katakan padanya.
Ken meraba kantong celananya, memastikan benda panjang yang sudah dibuang oleh Ara.
***
"Tujuan?"
"Australia."
"Maaf, ma, pa, kak Ed. Ara gak mau meninggalkan jejak. Kalau Ara ke Amerika, sangat mudah bagi kalian untuk melihat Ara nantinya. Ketika Ara hamil dan bertekad untuk membesarkannya sendiri, itu artinya Ara sedang menjual harga diri kalian. Hanya saja, Ara juga gak mau munafik kalau Ara ingin merawatnya. Maafkan Ara,"