Garlanda terbangun dengan napas terengah tak keruan. Tangannya secara otomatis menyentuh perutnya. Rata. Syukur lah itu hanya momok seperti biasanya. Bukan kenyataan.
Garlanda bahkan sudah lupa bagaimana rasanya menjalankan hidup sebagai dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk tertidur sehingga terlalu lama bermimpi.
Agaknya Tuhan masih menyayanginya. Kali ini ia masuk dalam tubuh seorang pemuda gaul bernama Naga. Dan ia merasakan tubuhnya yang begitu ringan dan sehat. Tanpa kesakitan apa pun. Syukur lah ia kini bisa merasakan bagaimana menjadi orang yang sehat.
***
Mata gue nggak bisa beralih dari wajahnya, cewek yang baru gue temui di sini. Waktu pertama ketemu tadi, dia nggak sengaja nabrak gue di depan toilet.
Matanya sembab dan pipinya terlihat lembab. Gue perhatiin mukanya, tapi dia menunduk. Pasti dia habis nangis. Sebagai cowok yang baik, gue ngejar dia. Ternyata dia kembali ke mejanya.
Dengan tidak sopan — karena nggak dipersilakan — gue duduk di depannya.
"Lo nangis, ya?" Gue tahu pertanyaan gue sungguh retoris.
"Bukan urusan lo!" ketusnya.
"Lhoh ... kok gitu sih?" protes gue. "Maksud gue, kan, baik."
"Udah gue bilang, bukan urusan lo!"
Buset, dah, jutek amat! Belum apa - apa, udah meledak - ledak. Tapi gue jadi malah tertarik sama dia. Sangat tertarik! Cewek di depan gue ini ... bener-bener cantik. Gemes gitu! Bikin gue tertuntut buat harus tahu sebab kenapa dia nangis.
Gue masih terdiam duduk di depannya. Sesekali dia mengulur tisu gulung yang tersedia di meja.
Menghapus air matanya yang belum sempat jatuh, karena masih mengambang di pelupuk mata. Mungkin dia malu sama gue kalau harus nangis secara terang - terangan. Nggak salah, sih. Gue, kan, emang orang asing.
Setengah jam lebih berlalu. Gue tetap terdiam. Mengamati wajahnya lamat - lamat. Matanya perlahan natap gue. Sepertinya ada kesedihan yang teramat dalam di sana. Jelas, lah! Dia aja nangis terus begini!
"Semua ini gara - gara Uki!" ucapnya tiba - tiba.
Wah ... akhirnya dia mau ngomong juga! Nggak sia - sia gue nungguin dia sampek hampir berakar. Akhirnya gue dapet kesempatan buat melakukan pergerakan.
"Uki?" tanya gue.
"Dia pacar gue."
Jawaban singkat dari cewek itu yang langsung bikin gue tertohok. Sialan! Ternyata udah punya pacar.
"Udah dua tahun kita pacaran!" lanjutnya.
Ya Allah! Dia curhat seenak jidat dan hati gue tertohok begitu dalam. Rasanya gue udah nggak ada harapan.
Tapi dicoba dulu nggak ada salahnya, sih! Dia nangis, berarti pacarnya — si Uki itu — udah ngecewain dia, kan? Berarti sebentar lagi mereka bakal ....
Gue menyeringai. "Oh, emang kalian ada masalah apa? Dia mutusin lo?"
Cewek itu menggeleng.
"Terus?" tanya gue lagi.
"Dulu Uki adalah cowok biasa yang sederhana. Gue tau bahwa dia suka sama gue, tapi nggak pede buat pedekate, karena merasa minder, nggak selevel. Akhirnya gue yang usaha buat deketin dia duluan. Untuk ngeyakinin dia, bahwa gue nggak peduli dengan status sosial kami. Yang terpenting adalah rasa yang tulus dari hati."
"Ooo ... terus?"
"Lama kemudian, kami makin deket dan akhirnya pacaran. Uki itu anak muda yang cerdas. Meskipun dia cuman sekolah sampai SMP doang, tapi dia punya bakat luar biasa di bidang musik. Untuk itu, gue minta bantuan bokap untuk promosiin dia biar bisa rekaman. Kebetulan bokap gue adalah orang yang cukup berpengaruh dalam salah satu lable rekaman, kan. Karena Uki emang berbakat, dia pun berhasil."
Denger penjelasan dia, pikiran gue langsung tertuju pada salah satu penyanyi solo yang saat ini lagi naik daun. "Uki? Lucky Pratama Angkasa, ya?" celetuk gue asal, tapi ini bukan tanpa alasan.
"Iya!" jujurnya.
Dia sama sekali nggak berusaha nutupin apapun. Sementara gue di sini lagi kaget setengah mati. Yang bener aja, ternyata gue lagi deketin pacar penyanyi terkenal yang lagi naik daun!
"Tapi setelah Uki terkenal, dia jadi sibuk banget!" Cewek itu lanjut cerita. "Dia udah jarang banget punya waktu buat gue. Ketemu aja belum tentu dua minggu sekali karena dia tur terus keliling Indonesia. Dan udah hampir setahun ini, hubungan kami selalu seperti itu. Gue capek. Tapi kemarin gue seneng, karena Uki tiba - tiba nelepon dan ngajak makan di sini. Hiks ...." Cewek itu malah berakhir nangis sesenggukan lagi.
"Lhoh ... kok malah nangis lagi?" bingung gue. "Udah ... udah!" Gue ngelus pundaknya. Barangkali dia bisa tenang setelahnya.
"Tapi ... hiks... setelah dua jam lebih nunggu ... eh... hiks ... dia barusan nelepon, buat minta maaf. Katanya dia nggak bisa dateng! Hueeeee!"
Gue balik ngelus - ngelus pundaknya lagi. Kasian banget ini cewek! Sedih sampek segitunya.
"Oalah ... jadi gitu ceritanya. Ya udah, deh, gini aja." Gue mikir keras. "Mungkin gue emang bukan Uki. Tapi berhubung gue juga lagi sendiri sama kayak lo, gimana kalo kita makan berdua aja sekarang? Dari pada sendirian, kan?"
Mata cewek itu membulat. Mungkin dia pikir ini adalah tawaran yang menggiurkan. Lalu dengan semangat 45, cewek itu mengangguk.
ASSSEEEKK.
Siapa, sih, yang bakal tahan dengan pesona kegantengan gue? Bahkan pacar seorang Lucky Pratama Angkasa, ikutan terpesona sama gue!
"Sip! Nama lo siapa?" tanya gue akhirnya.
"Gue Siva. Lo?"
"Gue Naga!"
Cewek bernama Siva itu tersenyum mendengarnya.
"Kenapa senyum?" tanya gue lagi. Gue beneran penasaran, kenapa dia senyum simpul kayak gitu?
"Nggak."
Yah, dia malah nggak mau ngaku. Gue makin penasaran. Mau tanya lagi, takut Siva malah illfeel sama gue. Ya udah lah!
Gue ngacungin tangan ke arah receptionist. Seorang waiters menghampiri kami untuk menawarkan menu. Dan kami segera memesan makanan.
Entah karena merasa senasib atau apa, tapi dengan obrolan di sela - sela waktu makan, gue sama Siva kayaknya cocok dan nyambung banget.
Eh, actually hanya gue yang ngerasa cocok. Entah si Siva gimana. Tapi kelihatannya dia juga menikmati pertemuan kami ini. Semua bisa gue lihat dari mimik mukanya yang udah jauh lebih baik dibanding tadi.
Gue sangat tertarik sama Siva. Nggak tahu kenapa. Tadi saat gue berangkat ke sini, mood gue lagi jelek banget.
Ancur - ancuran. Bonyok isinya ngegodain aja. Yang nuntut ini, nuntut itu. Nggak mikir apa, ya, mereka itu?
Anaknya ini hanyalah manusia biasa, yang cuman bisa fokus dalam satu bidang aja. Kalo mereka pengen punya anak dokter, dosen terbang, dubes, menteri, anggota DPR atau apa - apa yang pernah mereka tuntut dari gue, kenapa nggak bikin anak sebanyak jumlah provesi itu dari dulu? Gampang, kan, tinggal bikin aja!
Huff ... malah nuntut gue macem - macem! Padahal jelas - jelas gue ini hanya lah seonggok sampah!
Kenapa gue mengangap diri sendiri sampah? Karena gue selalu sendiri dan nggak ada harapan.
Orang tua gue ... tuh, dua orang yang hobi nuntut! Mereka jarang banget di rumah. Dan kalo mereka lagi di rumah, kerjaannya hanya menceramahi gue dengan berbagai tuntutan. Dan sepertinya gue nggak akan pernah bisa memenuhi tuntutan - tuntutan itu. Karena tuntutan itu sama sekali nggak sesuai dengan kemampuan gue. That's why, gue merasa udah nggak ada harapan.
Dan juga, gue sama sekali nggak punya teman. Dulu saat masih kecil, temen - temen mendekat cuman karena tahu gue anak orang tajir. Mereka cuman mau morotin gue. Mereka nggak tulus berteman dengan gue.
Maka dari itu, gue nggak ingin lagi bersosialisasi. Gue kayak kapok gitu! Gue lebih memilih nggak punya teman, dari pada punya, tapi cuman manfaatin.
"Gue antar pulang, yuk, Siv?" tawar gue.
"Eh, nggak usah, Ga! Gue bisa minta jemput sama orang rumah!"
"Yah ... ayo lah, Siv!" paksa gue. "Itung - itung sebagai salam perkenalan gitu. Kali aja gue ketemu orangtua lo, terus gue ditawarin rekaman juga kayak si Uki!"
Siva malah ketawa denger umukan gue.
"Itu, sih, maunya lo, Ga!" katanya di sela ketawa. "Ya udah, deh! Tapi sayangnya, orang tua gue lagi nggak ada di rumah! Jadi, kalo lo mau dibantuin rekaman, nggak bisa nanti langsung."
"Yah ... tadi, kan, gue cuman bercanda. Niat gue tulus kok mau ngaterin lo!"
Siva cuman ngangguk polos sambil ber - oh ria.
"Ya udah, yuk!" ajak gue.
***