"Akhirnya kau mau keluar, Min. Kupikir kau terlalu nyaman berada di sana," bisiknya seraya menatap perut besarnya itu.
Perut buncit yang sebentar lagi akan menghilang, dan akan sangat ia rindukan.
Han segera melepas semua bajunya. Hanya menyisakan kaos tipis longgar dalamannya. Han meraba liang lahirnya. Rasanya sudah sangat sakit. Tapi lubangnya masih sempit.
Han menunggu dalam diam sambil sesekali mengernyit. Saat terasa terlalu sakit, ia berjengit bahkan berteriak. Tapi sebisa mungkin Han menahannya.
Ia yakin flat ini tidak kedap suara. Ia takut banyak yang panik mendengar teriakan kesakitannya.
"Erghhh ...." Han mencengkeram bagian bawah perutnya.
"Hah ... ergh ... Tuhan ...," rintihnya.
Bagian bawah perut Han terasa sangat kencang dan sakit. Han menutup matanya dengan salah satu lengannya. Berusaha bekerja sama dengan sakit itu.
Ia terus berusaha tenang. Han terus menunggu hingga Min memberi signal untuk mendorong. Dan untuk saat ini sepertinya belum.
Han harus rela berbaring di situ berselimutkan rasa sakit. Han berbaring miring. Menunggu sampai bukaannya cukup untuk mengejan.
Han berusaha tenang. Ia memejamkan mata. Merasakan pergerakan Min di dalam sana. Min sedang berusaha menuruni jalan lahir. Han merasakan perutnya mendorong dengan sendirinya. Saat ini lah tenaga Han diperlukan untuk membantu mendorong bayinya. Akhirnya. Setelah hampir dua jam menunggu.
Han segera membenahi posisinya menjadi terlentang. Ia mulai menekuk kedua kakinya dan melebarkannya. Dengan sambil menahan sakit, Han meletakkan kedua tangannya bertengger di atas lutut.
"Enghhhhhhh ...." Ejanan pertama Han.
Lendir bercampur darah keluar dari liang lahirnya. Meskipun hanya sedikit tapi Han bisa merasakannya.
PRAK ....
Air ketuban Han meluncur dengan deras dari sana. Seketika Han juga merasakan sakit yang semakin intens. Membuatnya mencengkeram bed cover ranjang itu.
Han kembali meletakkan kedua tangan di atas lutut. Dengan posisi ini ia akan lebih mudah melengkungkan tubuhnya. Membantu untuk mendorong bayi Min keluar.
"Erghhhhhhh ...." Han mengejan sekuat tenaga. Matanya terpejam setiap kali ia mengejan.
Lima dorongan pertama, Han hampir menyerah. Rasa sakitnya begitu intens. Hanya lendir - lendir itu yang keluar. Membuatnya frustasi. Apa bayinya terlalu besar karena terlalu lama berada dalam kandungan?
"Eughhhhhh ...." Tubuh Han terhempas ke belakang setelah ia mengejan.
Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan kini kaos tipis yang digunakannya juga sudah basah. Membuatnya menampakan lekukan tubuh Han secara nyata. Han bergerak - gerak gusar. Membuat kaosnya terangkat. Hampir memperlihatkan seluruh perutnya.
"Min ... sakit ...," rintih Han. Air matanya sampai menetes tanpa diminta.
"Mmmphhhhh ...." Han mulai mengejan lagi.
Tapi sepertinya tenaga sudah habis hanya untuk meraih lututnya sendiri. Ia tak sanggup lagi menekuk tubuhnya. Han hanya mengejan pasrah. Tetap pada posisi berbaringnya.
"Mmmpphhhhh ... erghhh ... hah ...."
Liang lahir Han terbuka semakin lebar saat kepala Min mulai menyembul sedikit.
"Egghhhh ...." Han tak mau berhenti mengejan.
Ia tak mau Min kembali lagi ke dalam bila ia berhenti. Han mengumpulkan kembali kekuatannya. Kini Han bergerak pelan. Berusaha bersandar pada mahkota ranjang. Memposisikan dirinya setengah duduk.
"Egghhhhh ...."
Kepala Min kini sudah keluar sepenuhnya. Kedua tangan Han memegangi kepala itu.
"Hufff ... nnghhhh ...." Han mulai mengejan lagi.
Ia terus mengejan. Tak peduli dengan rasa sakit yang semakin intens menyerangnya.
Kedua tangan Han bersiap untuk menyambut Min datang ke dunia.
"Erghhh ...." Ejanan terakhir itu berhasil mengeluarkan Min.
Dibantu oleh tarikan tangannya sendiri. Ia segera meletakan bayi Min di dadanya. Seakan tak peduli dengan tali pusat yang masih menjuntai menghubungkan tubuh Min dengan ari - ari yang masih ada di dalam perutnya.
Han mengecup Min dengan penuh sayang. Tak peduli dengan lendir dan darah yang masih melekat di sana. Ia juga tak peduli dengan rasa lelahnya sendiri. Tangisan Min membuatnya sangat bahagia.
***
Kard berjalan terburu. Kenapa ia bisa kecolongan? Kenapa ia bisa tak tau Han pergi. Ya Tuhan. Dia sedang hamil tua dan overdue. Bagaimana nanti kalau dia tiba-tiba mau melahirkan? Siapa yang akan menolongnya?
Kard berusaha konsentrasi. Ia berusaha melacak keberadaan Han. Jujur ia benci memungkiri bahwa kekuatannya masih ada. Tapi ini demi Han. Ia sangat khawatir.
Pikiran Kard tertuju pada flat itu. Ya. Han ada di sana. Tanpa buang waktu lagi, Kard segera memfokuskan pikiran ke sana, dan dalam sekejap dirinya sudah ada di sana.
Saat Kard membukan mata, dilihatnya pemandangan miris di depan matanya.
Han. Dia bahkan sudah melahirkan. Sendirian.
Han terbaring di ranjang itu. Matanya terpejam. Ia sangat pucat. Kedua kakinya masih menekuk seperti posisi orang melahirkan. Kard segera mengangkat bayi dalam dekapan Han. Bayi itu sedang mengsap jarinya sendiri.
Ia menatap Kard dengan polosnya.. Membuat Kard sangat terenyuh. Kard memandang untaian tali pusat itu. Bahkan ari - ari bayi ini masih ada di dalam perut Han. Dengan kekuatannya, Kard memotong tali pusat bayi itu.
Ia segera memandikan Min dan membungkusnya dengan kain hangat. Kard meletakkan Min di sebelah Han.
Kini ia terfokus pada Han. Seseorang yang telah membuatnya jatuh cinta.
Kard miris melihat banyak sekali darah yang merembes di sebagian besar sprei putih ini. Dengan pelan, Kard sedikit menekan perut Han yang masih terlihat besar.
Dan ari - ari itu akhirnya keluar. Kard segera membersihkan sisa - sisa darah di sekitar liang Han dengan kain lembut yang hangat. Meski tidak sobek, tapi liang Han masih terbuka lebar. Membuat Kard harus sekali lagi miris.
Han kehilangan banyak sekali darah. Apa ia tak apa - apa? Tapi Kard cukup lega saat melihat Han bernapas.
Kard berusaha menguatkan dirinya sendiri. Ia memindahkan bayi Min ke sofa. Dengan pelan Kard menarik sprei. Ia sangat berhati - hati seakan tak ingin membuat Han terbangun.
Selesai dengan ranjang, ia segera meluruskan kedua kaki Han. Memakaikan korset di perut Han dan terakhir memakaikan Han baju ganti. Kard melihat isi tas Han dan hampir semuanya ada keperluan Min. Hanya ada beberapa lembar baju Han dan juga uang.
Kard juga tak lupa membuatkan s**u untuk Min.
***
Han membuka matanya perlahan. Dia segera tersentak. Terakhir yang diingatnya adalah bayinya. Kemana Min? Bukannya tadi ia memeluknya?
"Han ... sudah sadar?"
"Kard?" tanyanya tak percaya.
Kard sedang menggendong Min di dekat jendela. Ia juga dengan sabar memegangkan dot berisi s**u yang sedang diminum Min.
"Istirahat lah dulu. Kau belum boleh banyak bergerak."
Han memperhatikan dirinya sendiri. Ia sudah dibersihkan rupanya. Sprei juga sudah diganti? Berarti Kard yang sudah melakukan semua ini. Tapi ....
"Kard. bagaimana ...."
"Sebenarnya aku juga seorang penyihir. Hanya saja sudah lama sekali aku tak menggunakan kekuatanku. Karena suatu alasan, aku ingin berhenti menjadi penyihir. Tapi karena aku sangat khawatir padamu, aku memutuskan untuk berubah pikiran. Ternyata punya kekuatan sihir itu penting."
Han tersenyum mendengarnya.
"Terima kasih karena sudah menolong kami."
"Tak apa. Aku bisa tenang sekarang karena kalian baik - baik saja. Lain kali jangan bertindak gegabah. Aku tau kau panik karena dua orang yang datang kemarin. Tapi lihat lah akibatnya. Bagaimana tadi bila tak ada orang yang datang?"
"Maaf ... aku benar - benar takut."
"Jangan diulang lagi. Sekarang kau istirahat lah. Kau kehilangan banyak sekali darah."
"Aku ingin melihat Min."
Kard melangkah pelan lalu meletakkan bayi Min di sebelah Han. Anak itu tertidur. Membuat Han lagi - lagi tersenyum. Han tak sabar menunggu Min tumbuh besar.
Ia harap Jess takkan pernah tahu bahwa itu Min. Sehingga Han tak perlu sembunyi - sembunyi lagi.
Tapi bila sampai ketahuan, mungkin Han akan memasukkan Min lagi ke perutnya. Ia tak peduli. Meski nanti usianya sudah tak memungkinkan untuk hamil dan melahirkan lagi. Atau mungkin bila ia sampai mati. Ia tak peduli. Ia terlalu mencintai Min.
***