Wanita renta itu sedang ditenangkan oleh dua orang lanjut usia lain di sana. Wanita itu menangis sesenggukan, belum terima dengan ucapan dokter tentang kondisi Jodi. Terlebih saat ini, bocah itu terbaring lemah di dalam ruang ICU, dengan banyak alat media tersemat pada tubuhnya.
"Ya Allah ... astagfirullah ... kenapa ini harus terjadi sama Mas Iyaz? Apa nggak cukup selama ini dia mendapat banyak cobaan bertubi? Mas Iyaz masih muda banget. Bagaimana bisa sakit begitu parah. Kenapa nggak Mbah Jum aja yang sakit seperti itu? Yang lebih pantes tidur di dalam sana dari pada Mas Iyaz. Mbah Jum udah terlalu la hidup di dunia. Harusnya sudah cukup jatahnya Mbah Jum. Biar Mas Iyaz aja yang hidup dengan sehat, menyambut masa depan yang cerah."
Mbah Jum masih menyayangkan kenapa Jodi harus mengalami hal buruk lagi. Padahal kehidupan anak itu sudah cukup buruk sejauh ini. Bahkan bisa dibilang, Jodi sama sekali belum merasakan kebahagiaan dalam hidupnya yang masih belasan tahun.
"Mbah ... jangan begitu. Semua ini sudah takdir yang ditulis sama Gusti Allah. Manusia hanya bisa memiliki harapan. Tapi rencana Allah tetap yang paling baik." Pak Muklas lagi-lagi berusaha membuat pikiran Mbah Jum tetap berada pada jalur yang benar.
Ia paham akan Kesedihan yang Mbah Jum alami. Ia sendiri pun juga sangat sedih. Tapi mereka tidak boleh menyalahkan keadaan. Justru mereka harus fokus pada pengobatan Jodi ke depannya.
"Iya, Mbah. Kami ngerti, Mbah Jum sedih banget. Karena Mbah Jum yang rawat Mas Iyaz dengan sepenuh hati selama ini. Bahkan Mbah Jum sudah anggap Mas Iyaz sebagai cucu sendiri. Tapi Mbah Jum nggak boleh bikin perumpamaan seperti itu. Mas Iyaz juga pasti nggak akan senang kalau denger Mbah Jum bicara begitu." Mr. Bagie pun berusaha menenangkan sosok yang begitu ia hormati itu.
Mbah Jum masih menangis terisak-isak, sambil sesekali melihat ke dinding kaca, yang tembus pandang pada ruang ICU di dalam sana.
Pak Irwan pun masih di sana. Merasa tidak berguna karena tidak bisa ikut saling menenangkan dengan tiga Irang lanjut usia di sana. Ia justru merasa bersalah, karena kenapa tidak sejak awal ia tahu tentang penyakit Jodi, langsung saja ia beri tahukan pada mereka.
Kenapa harus ia tunda, dan membiarkan Jodi sendiri yang bersiap untuk memberi tahu semua orang.
Awalnya ia pikir kondisi Jodi belum terlalu parah. Meski ia sudah melihat banyak perubahan secara fisik yang Jodi alami. Bahkan ia pernah menyaksikan sendiri ketika Jodi tidak sadarkan diri di toilet waktu itu.
"Sebenarnya tadi Mas Iyaz mah ngomong sesuatu sama Mbah. Dia udah bilang, dia mau ngomong. Sepertinya yang mau diomongin serius. Karena dalam kondisi lemah seperti itu, dia rela memohon untuk bicara sebentar. Tentu Mbah bersedia untuk mendengar dengan sepenuh hati. Tapi ternyata bertepatan dengan Ibuk dan Bapak yang tiba-tiba datang untuk berpamitan. Akhirnya tentu saja Mbah memberi ruang mereka untuk berpamitan terlebih dahulu. Setelah itu, Mbah pamit sama Mas Iyaz untuk nganter bapak sama Ibu sampai depan. Ketika Mbah kembali ke kamar, Mas Jodi sudah berada dalam kondisi seperti itu. Mbah ... menyesal sekali. Padahal cerita itu belum sempat tersampaikan. Harusnya Mbah denger dulu aja tadi. Harusnya Mbah nggak boleh tunda untuk mendengarnya."
Mbah Jum masih senantiasa mengungkapkan penyesalannya. Dan Pak Muklas serta Mr. Bagie masih senantiasa mendengar dengan baik, dan sebisa mungkin menenangkan.
Namun yang berbeda adalah ... ekspresi Pak Irwan. Tadinya ia berdiri mematung dengan raut wajah prihatin. Tapi sekarang ... ia tampak begitu terkejut setelan mendengar penjelasan Mbah Jum.
Apa? Jadi ... tadi sebenarnya prang tua Jodi sempat datang? Mereka sempat bertemu dengan Jodi. Astaga ... sudah tahu kondisi Jodi seperti itu, mereka malah berangkat lagi? Betapa teganya. Di mana-mana orang tua akan mendahulukan merawat anaknya. Apa lagi dilihat dari kondisi fisik Jodi, anak itu benar-benar nampak lemah dan tidak berdaya, seperti apa yang Pak Irwan lihat ketika menjenguknya kapan hari itu.
Dan ... Pak Irwan juga sangat terharu. Karena ternyata, Jodi sempat akan bicara serius dengan Mbah Jum. Yang diyakini, Jodi akan berusaha mengatakan tentang penyakitnya pada Mbah Jum. Itu berarti ... Jodi memikirkan ucapan Pak Irwan waktu itu. Ia pasti menggunakan beberapa hari ini untuk mempertimbangkan apakah ia benar-benar akan mulai terbuka pada orang terdekatnya atau tidak. Jodi memutuskan untuk setuju, dan memulai dengan memberi tahu Mbah Jum. Namun tidak didukung oleh keadaannya yang memang sudah semakin melemah.
Ya Tuhan ... Pak Irwan tidak boleh tinggal diam lagi kalau begitu. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu. Ia memberanikan diri untuk mendekati tiga orang lanjut usia itu.
Yang seketika, ia segera menjadi pusat perhatian. Pak Muklas serta Mr. Bagie menatapnya dengan heran. Sementarbah Jum menatapnya dengan kedua mata yang masih mengeluarkan air mata.
"Maafkan saya ... tapi izinkan daya bertanya untuk memastikan satu hal." Pak Irwan langsung memulai untuk bicara, tanpa ingin menunda lebih lama.
"Bicara apa Pak Irwan?" Pak Muklas yang pertama kali menyahut.
"Saya ... uhm ... jadi tadi sebelum Jodi tidak sadarkan diri, ternyata orang tuanya sempat pulang?"
Pak Muklas mengangguk. "Betul, Tuan dan Nyonya memang sempat pulang."
Mendengar jawaban Pak Muklas, emosi Pak Irwan langsung terpacu. Mereka jelas-jelas tahu kondisi Jodi, kenapa begitu tega masih meninggalkannya.
"Lalu sekarang mereka di mana, Pak? Mereka berangkat ke mana lagi?" Kali ini Pak Irwan benar-benar kesulitan menyembunyikan emosinya.
"Mereka sudah berangkat lagi, Pak Guru. Entah lah urusan pekerjaan ke mana lagi. Makanya Mbah Jum menghubungi Pak Irwan. Karena merasa bapak adalah yang paling bisa diandalkan di saat mendesak seperti ini."
"Jadi mereka berangkatnya barusan, kan? Jadi kenapa tidak dihubungi lagi saja, supaya mereka kembali, dan ikut menemani Jodi berjuang sekarang."
Pak Muklas nampak sedih seketika. "Kami tadi sudah sempat coba menghubungi mereka. Kami telepon berkali-kali tapi tidak diangkat. Sepertinya memang sengaja tidak diangkat. Karena tadi mereka memang sempat terlibat adu mulut dengan Mas Iyaz."
Semakin geram saja Pak Irwan rasanya. Anaknya sakit begitu, tapi masih diladeni juga melakukan adu mulut. Astaga ... jika Pak Irwan adalah orang tuanya Jodi, ia akan menyeret anak itu ke rumah sakit sejak jauh-jauh hari. Tentu saja sebagai krang tua, ia akan memantau kesehatan anaknya. Dan akan melakukan apa pun demi menjaga putranya supaya tetap berada dalam kondisi sehat.
"Uhm ... maaf, apa saya boleh minta nomor telepon kedua orang tua Jodi?"
Pertanyaan Pak Irwan itu seketika membuat tiga orang lanjut usia di sana langsung saling bertatapan. Sudah bisa menebak apa yang akan Pak Irwan lakukan.
Mereka seperti sudah tahu itu akan gagal. Tapi mereka juga tidak bisa menolak permintaan Pak Irwan.
Akhirnya Pak Muklas kembali yang mendikte nomor ponsel Maharani dan juga Jayadi pada Pak Irwan. Toh tidak ada salahnya usaha. Siapa tahu telepon dari orang asing, malah diangkat oleh kedua tuan besarnya itu. Karena dikira nomor orang yang hendak mengajak bekerja sama dalam hal bisnis.