Garlanda rasanya baru saja terlepas dari mimpi menjadi sosok bernama Lou. Rupanya penderitaan itu belum nau berakhir.
Ia kembali seperti terombang - ambing dalam sebuah roller coaster rusak, dan ia kembali masuk dalam tubuh orang lain.
Kali ini namanya adalah Reo. Seorang penyandang keterbelakangan mental.
***
Reo adalah penyandang keterbelakangan mental sejak lahir. Kini usianya sudah 22 tahun. Tapi sikapnya masih seperti anak kecil. Mainnya pun setiap hari berlari - lari dengan anak - anak komplek.
Lamia desa tempat Reo tinggal sedang dalam masalah besar. Selama 10 tahun belakangan, sama sekali tak ada wanita hamil. Desa mereka terancam mati jika tak memiliki penerus.
Lamia berada di kedalaman. Jauh dari peradaban dunia modern. Tapi tak ada yang tahu, nyatanya kehidupan di sini jauh lebih maju dan beradap.
Atlantis yang hilang? Sekarang namanya adalah Lamia.
Orang - orangnya makmur, memiliki pekerjaan bagus, cerdas, dan maju dalam segala hal termasuk kesehatan.
Para ilmuwan meneliti para wanita. Semuanya subur dan sangat potensial untuk menghasilkan keturunan. Sayangnya setelah berbagai usaha dilakukan, hasilnya nihil. Tak ada yang hamil.
Penelitian pun berlanjut. Meluas. Melebar. Hingga melampaui batas.
Hasilnya, ada seseorang yang merupakan pilihan. Reo.
"Kenapa Reo diajak ke sini?" tanyanya polos.
"Tenang, Re. Kami hanya akan berbuat sesuatu yang kecil. Setelah ini kamu akan menjadi pahlawan besar."
"Pahlawan?"
"Yup!"
"Woah ...." Reo sangat takjub. Terbayang di pikirannya tokoh-tokoh superhero masa kini yang bersahaja dan keren.
Satu bulan kemudian, Reo dinyatakan hamil. Itu tandanya, penelitian mereka berhasil.
Warga Lamia merayakan keberhasilan itu besar - besaran. Reo berada di tengah-tengah mereka seperti raja.
Setelahnya, kehidupan Reo tak lagi sama.
***
"Reo tambah gemuk, ya?" Chan, anak berumur 11 tahun itu mendahului topik hangat.
Reo segera menyentuh perutnya yang memang bertambah besar. Ia bingung sebenarnya. Ia tidak banyak makan. Justru sering sakit dan banyak muntah.
"Iya, Reo tambah gemuk. Tapi cuman perutnya aja!" tambah Joe teman sebaya Chan.
"Tapi Reo tambah imut!" Bae si mungil ikut - ikutan menambahkan.
Diiyakan oleh tiga anak belasan tahun lain di sana.
"Main petak umpet, yuk!" ajak Reo. Ia sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan. Karena tak ingin dikatai tambah gemuk lagi.
"Oke!" Mereka semua begitu antusias.
"Kemarin yang jaga Chan, kan? Berarti sekarang Chan lagi!" Bae tanpa ba - bi - bu segera mencari tempat sembunyi.
Yang lain termasuk Reo pun segera mencari tempat sembunyi. Mereka berlari kocar - kacir. Reo terlihat paling mencolok. Tentu saja karena tubuhnya yang tinggi menjulang.
Chan hanya bisa pasrah berjaga karena teman-temannya sudah hilang semua. Chan mulai menutup mata sembari berhitung satu sampai sepuluh.
"Reo ... jangan lari - lari!" Muncul sebuah suara wanita dewasa.
Ternyata Rah, ibu Bae. Ia memergoki Reo tengah berlari mencari tempat sembunyi.
Reo cemberut kesal. Belakangan orang - orang selalu mengaturnya. Melarangnya melakukan ini itu.
"Sst ... Bibi ... nanti aku ketahuan!" Reo berusaha membuat Rah diam.
"Kamu harus pulang sekarang, istirahat! Jangan main - main lagi!" Rah segera menggamit tangan Reo.
"Tapi, Bi ...." Belum sempat Reo lanjut bicara, Rah sudah menggelandangnya pulang.
Chan dan teman - teman Reo yang lain hanya bisa menatap, tak bisa menolong karena Rah sangat menyeramkan saat marah.
Reo cemberut terus saat sampai rumah.
"Kenapa ini, Rah?" tanya Milo, ibu Reo.
"Reo lari - larian sama Bae dan anak-anak lain. Ya aku seret pulang!"
Reo semakin cemberut karena jawaban Rah.
"Reo ... kan sudah Ibu bilang, jangan main aneh - aneh mulai sekarang. Kamu harus banyak istirahat!" Milo malah ikut mengomeli Reo.
"Tapi kenapa, Bu?" Reo enggan menatap Milo.
"Kan sudah Ibu bilang, kamu sedang hamil!"
"Emang kenapa kalau Reo hamil?" Reo masih tak terima.
"Reo ... di dalam sini ...." Milo menepuk kecil perut anaknya. "Ada seorang bayi. Ia sedang tumbuh dan berkembang di sana sampai siap untuk dilahirkan."
Reo tertegun mendengar jawaban ibunya. "Dilahirkan?"
"Iya. Kamu akan melahirkannya nanti?"
"Melahirkan?"
Milo tersenyum karena reaksi polos Reo. "Bayi itu ada di dalam kamu. Dia anak kamu. Dia akan sakit jika kamu terluka. Oleh karenanya kamu harus banyak istirahat. Nggak boleh lari - lari lagi. Kasihan bayi kamu."
Reo otomatis menyentuh perutnya. "Di sini ada bayi?"
"Iya bayi. Manusia kecil yang kelak akan tumbuh besar dan dewasa."
Reo membayangkan segalanya. Menerawang jauh. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum.
***
Semakin hari ukuran perut Reo semakin berkembang dan membesar. Kadang Reo merasa aneh menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Milo dan warga desa lain sering datang untuk membantu Reo merawat dan menjalani kehamilannya.
Mulai menyiapkan segala keperluan, mengoleskan krim anti stretch mark, dan lain - lain.
Reo tak pernah absen berkumpul dengan teman - teman kecilnya. Hanya saja ia tak ikut main bersama mereka. Ia hanya duduk diam menonton, sembari menikmati pergerakan ajaib di dalam perutnya.
"Reo ... sekali - sekali ikut main mungkin tidak apa-apa!" Bae gemas sekali. Ia sudah rindu ingin main bersama Reo.
Reo menggeleng. "Nggak boleh, Bae. Dibilangin aku lagi hamil!"
"Iya - iya kamu lagi hamil. Tapi itung - itung olah raga, Reo. Biar perut kamu nggak tambah gendut!" Chan ikut-ikutan.
Anak - anak itu mendadak selesai bermain, semuanya mengerumuni Reo yang duduk selonjoran di tikar.
Reo menggeleng sekali lagi. "Perutku gendut bukan karena lemak sehingga bisa kecil dengan olah raga!"
"Terus?"
"Dibilangin aku lagi hamil. Perutku gendut karena di dalam sini ada bayi." Reo menepuk - nepuk pelan perutnya yang bulat dan buncit penuh.
"Bayi?"
"Iya, bayi. Manusia kecil, yang kelak akan tumbuh besar seperti kita."
"Woah .... Gimana caranya bisa hamil? Aku juga mau hamil, deh!" celetuk Bae.
"Kayaknya asyik, ya. Jadi penasaran rasanya hamil!" Chan menimpali.
"Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Saat awal dulu aku sering sakit, kan? Tapi seiring perutku membesar, kondisiku membaik. Hanya saja pinggangku sering serasa akan copot. Kadang saat bayiku bergerak terlalu ekstrem, perutku akan terasa sakit." Reo menjelaskan.
"Bergerak? Jadi bayi itu sudah bisa bergerak di dalam sini?" Bar menunjuk perut Reo.
"Tentu saja! Namanya juga makhluk hidup!"
Bae tanpa sungkan menyentuh perut buncit Reo yang terasa keras. "Wah ... iya, dia bergerak!"
Chan dan yang lain ikut - ikutan berbondong menyentuh perut Reo. Karena aksi mereka, bayi dalam perut Reo merasa tak nyaman, sehingga menendang semakin ekstrem. Membuat Reo meringis sakit.
"Tapi apa bayi itu akan selamanya berada di sini?" Bae nampak paling penasaran.
"Tentu saja tidak," jawab Reo. "Sebentar lagi aku akan melahirkannya."
"Melahirkan?"
Reo mengangguk mantap. "Ya. Aku akan mengeluarkan bayi ini dari perutku!"
"Tapi bagaimana caranya?" Chan tak habis pikir.
Reo nampak berpikir. Ia sendiri sebenarnya tak terlalu paham. Ia hanya menirukan penjelasan Milo, Rah, dan orang - orang Lamia yang lain.
***
"Reo ... kalau perut kamu sakit, mulas, atau kenceng-kenceng ... segera kasih tahu Ibu, atau Bibi Rah, atau siapa saja yang berada paling dekat dengan kamu." Milo tak lelah memberi tahu anaknya.
Maklum, saat ini usia kandungan Reo sudah lebih dari 40 minggu. Tapi bayi itu sepertinya masih betah berada dalam perut Reo.
"Iya, Bu," jawab Reo sekenanya.
Reo sebenarnya bingung. Rasa sakit, mulas, atau kencang seperti apa yang Milo maksud. Karena rasa seperti itu sudah kerap Reo rasakan semenjak kandungannya menginjak usia 35 minggu. Mereka bilang itu namanya kontraksi palsu.
Milo berlalu dari kamar Reo. Reo lanjut mengelus perut buncitnya. Menyibak kemeja longgarnya sebatas d**a, sehingga memperlihatkan perut buncitnya yang indah.
Satu tangannya bertengger di pinggang, berusaha mengurangi beban di sana agar tak terasa semakin sakit dan nyeri.
"Bayi ... Reo nggak sabar ketemu kamu." Reo terkikik setelah mengatakannya.
Ia lalu mengernyit ketika gelombang rasa sakit menyerang perutnya — lagi. Semenjak terbangun semalam, sudah berkali - kali ia merasakannya. Tapi tak berani bilang pada Milo dan yang lain. Takut itu hanya kontraksi palsu seperti biasanya.
Reo mencoba turun dari ranjang. Ia akan cari udara segar. Siapa tahu dapat mengurangi rasa sakit dan tak nyamannya.
Belum juga kakinya berpijak di lantai. Rasa sakit lain muncul. Kali ini berbeda. Sangat sakit. Jauh lebih sakit sampai membuat Reo tak kuasa menahan teriakan.
Kenapa ini? Kenapa sesakit ini?
Reo benar - benar tak kuasa menahan sakitnya. Ia terus berteriak. Berharap seseorang mendengarnya, sehingga bisa segera menolongnya.
***