Napas Reo naik turun tak keruan. Saat ini ia berbaring miring di atas ranjangnya. Milo dengan telaten membasuh keringat yang membasahi seluruh tubuh anaknya.
Rah bersamanya. Di sini ia akan berperan menjadi midwife yang membantu persalinan Reo.
Beberapa warga Lamia yang lain juga ikut menemani di dalam kamar. Termasuk peneliti yang bertanggung jawab atas kehamilan Reo sejak awal.
Tubuh Reo menggeliat kasar mengikuti setiap rasa sakit yang menyerangnya. Ia beberapa berteriak saat rasa sakit itu begitu tak tertahankan. Reo benar - benar tak mengerti.
Milo sering bilang, melahirkan itu memang sakit. Tapi akan setimpal rasanya saat bayi dalam rahim sudah lahir. Namun … Reo tak menyangka bahwa kesakitan seperti inilah yang akan ia alami.
Sakit … sungguh sakit.
Perutnya sangat mulas. Dan sangat sakit.
Rasanya seperti diremas. Seperti ditarik dari dalam.
Belum lagi saat bayi itu bergerak aktif mendesak ke bawah, mencari jalan untuk keluar.
“Aaarrgghhhh!” Reo berteriak lagi.
Milo dan Rah segera menenangkannya.
“Tenang, Sayang … tenang …. Masih pembukaan lima. Bayimu belum siap untuk dilahirkan. Tahan sebentar lagi.”
Reo tak peduli dengan kata - kata mereka. Ini benar - benar sakit. Reo mencengkeram perut besarnya. Segera dicegah oleh Rah dan Milo.
“AAAARRRGHHH!” Reo berteriak semakin keras. Sangat keras.
***
Chan dan Bae duduk berdua dengan bibir cemberut. Desa begitu sepi hari ini. Tak ada orang lalu lalang seperti biasanya. Bahkan anak - anak lain pun tak ada.
“Reo juga tidak ada hari ini!” gumam Bae.
“Iya. Bagaimana kalau kita ke rumahnya?” saran Chan.
“Ha? Ke rumahnya?” Bae melotot. “Wah … ide bagus!”
Keduanya cekikikan. Setelah itu mereka beranjak dan berlomba lari ke rumah Reo.
Sesampai di sana, mereka dikejutkan sebuah pemandangan tak biasa. Rumah Reo benar - benar ramai. Oh … mereka mengerti sekarang apa sebabnya desa begitu sepi. Ternyata semua orang ada di sini.
Bae dan Chan tak ragu menyelinap di antara kerumunan. Mereka hanya ingin bertemu Reo. Mengabaikan raut cemas semua orang.
“AAAARRRGHHHH!”
Teriakan yang membuat langkah keduanya terhenti. Itu … suara Reo, kan?
Kenapa? Apa Reo sedang sakit, sehingga berteriak seperti itu?
Chan dan Bae semakin gesit menerobos kerumunan. Sampai mereka berhadapan dengan pintu kamar Reo.
Chan sudah hendak membuka knop pintu. Namun sebuah tangan mencegahnya.
“Jangan! Reo sedang berjuang hidup dan mati untuk melahirkan. Jangan ganggu dia!”
Chan dan Bae beringsut mundur. Jadi, Reo sedang melahirkan? Berarti bayi dalam kandungan Reo akan segera keluar? Tapi kenapa Reo malah berteriak kesakitan seperti itu?
Chan dan Bae mencari - cari cara untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menemukan jendela ventilasi di antara anyaman bambu yang menjadi dinding kamar Reo.
Chan dan Bae terbelalak melihat Reo di dalam sana.
Reo telanjang bulat di atas ranjang. Perutnya benar - benar sangat besar. Ia berbaring terlentang setengah duduk. Kakinya melebar. Punggungnya ditopang oleh Milo. Sementara Rah duduk di antara kedua kaki Reo.
Chan dan Bae bisa melihat banyak sekali darah keluar di antara kedua kaki Reo.
Reo terus berteriak kesakitan. Kedua tangan Reo mencengkeram apa pun yang bisa ia raih. Tubuhnya menggeliat kasar mengikuti rasa sakit.
Suara teriakannya begitu memilukan. Bukan teriakan biasa. Melainkan luapan rasa sakit tak tertahankan.
***
“Tarik napas, Reo …!” ucap Rah.
“Ayo lakukan, Sayang!” timpal Milo.
Namun lagi - lagi ucapan mereka tak dihiraukan sama sekali oleh Reo. Anak itu masih mencengkeram apa pun yang ia raih. Bergerak gusar dan kasar.
Kapan ia harus mengejan, kapan ia harus menarik napas. Reo tak mengerti. Ia pun tak bisa melakukan apa yang diucapkan Rah dan Milo karena rasa sakitnya terlalu menyiksa.
Pada akhirnya tetap hanya teriakan yang ia lakukan. Berteriak … dan terus berteriak.
“Eeerrghhh … aaarghhh … hah … hah …. Nggghhhhhh!”
“Reo … jangan seperti itu. Kamu harus melakukannya dengan benar. Kalau tidak, bayimu tak akan segera lahir. Dan kamu akan semakin kesakitan.”
“Sakith … ergh … sakith ….” Reo menggeleng kasar. Kemudian berteriak lagi.
“Bagaimana ini, Rah? Aku tidak bisa melihat anakku menederita terus seperti ini!” Milo mulai tak bisa tenang. Ia tak lagi mampu melihat Reo kesakitan.
Ia ingat bagaimana sakitnya proses persalinan. Ia tak bisa membayangkan apa yang dirasakan Reo saat ini. Terlalu lama. Proses persalinan ini benar - benar sangat lama.
“Profesor, bagaimana? Kau seharusnya punya solusi, kan?” Rah bertanya pada peneliti itu.
Lelaki itu menggeleng. “Sudah terlambat untuk epidural. Harusnya saat awal prose labor segera dilakukan. Sayangnya, Reo tak tahu apa yang ia alami. Sehingga baru ketahuan saat pembukaan sudah cukup banyak.”
“Lalu sekarang bagaimana?”
“Kita tunggu dulu satu jam ke depan. Semoga bayinya sudah lahir. Kalau belum, terpaksa kita harus membedahnya.”
“Tapi, Prof … efek bekas luka setelah pembedahan, itu juga sangat menyakitkan. Padahal Reo sudah kesakitan sejauh ini.” Milo tak terima.
“Kalau tidak kita bedah, akan membahayakan nyawa Reo dan bayinya, Milo.”
Milo pun terdiam. Ia menarik napas dalam. Berusaha mengembalikan ketenangannya. Ia harus tenang, supaya bisa memberi pertolongan pada Reo.
“Reo … Reo, Sayang …. Dengarkan Ibu!” bisik Milo.
Reo masih belum bisa tenang. Namun Milo tak menyerah, ia terus membimbing Reo dengan sabar.
“Reo, ayo ikuti Ibu. Tarik napas kamu ….” Milo menarik napas dalam. “Lalu embuskan seperti ini ….” Milo pun memperagakan caranya.
Reo perlahan tersugesti untuk mengikutinya. Syukur lah, setelah mengatur napas dengan baik, rasa sakit Reo sedikit terkendali.
“Bagus, Sayang … kamu melakukannya dengan baik.”
“Erghh ….” Reo mulai tak tenang lagi karena kontraksi.
Milo tak ingin kehilangan konsentrasi putranya. Ia segera memberikan instruksi lagi. “Mengejanlah, Sayang … ayo lakukan … dorong … yang kuat … sekuat yang Reo bisa.”
“NNNNGGGHHHHHHH!”
“Bagus, Sayang … ayo lakukan lagi!”
“NNNNNGGGHHHHHHHH!”
Raut Rah berbinar. “Kepalanya sudah terlihat. Ayo, Reo … bayimu hampir lahir.”
“EEERGGHHHHHHHH!”
“Ayo lagi, Reo ….”
“AAAARRRGHHHHHHH!”
Rah segera memegangi kepala bayi Reo yang baru saja terlahir. Menunggu sampai tubuh bayinya berputar menyamping.
“Ayo lagi, Reo … sedikit lagi!”
“NNNGGGGGHHHHHH … IBU!” teriaknya.
“Ibu di sini, Sayang. Ayo sedikit lagi.” Milo mengecup puncak kepala Reo.
“AAAARRRGHHHHHH!”
Dorongan sekaligus teriakan terakhir Reo. Bayi itu pun akhirnya terlahir. Perempuan, cantik dan sehat.
Reo segera kehilangan kesadarannya. Rah memutang tali pusar yang menghubungkan Reo dan bayinya. Sementara Milo segera merawat anaknya, berusaha menyadarkannya.
Di luar sana semua warga berteriak. Bersorak gembira menyambut kelahiran pertama setelah belasan tahun. Dengan begini, mereka memiliki penerus. Berkat Reo.
Tak peduli dengan Reo yang telah meregang nyawa, kesakitan di balik kodrat dan kekurangannya.
***