Betapa ngerinya kehidupan yang ia jalani dalam mimpi yang terasa sangat nyata itu. Ia berusaha bangun. Namun belum juga bisa.
Garlanda kembali terhempas. Kembali merasakan naik sebuah wahana roller coaster tanpa ujung.
Tahu - tahu ia sudah berada dalam tubuh orang lain. Namanya adalah Bae.
Rasa - rasanya ia sudah pernah berada dalam tubuh seseorang bernama Bae.
Tapi ini adalah Bae yang lain.
***
Bae menghapus peluh yang menetes menuruni pelipisnya. Kepalanya sungguh pusing. Badannya terasa sakit semua. Tapi Sam belum dibuatkannya s**u formula.
Kasihan anaknya itu. Kata dokter, Sam terlalu kecil untuk ukuran bayi berumur 1 tahun. Ya meski pun Sam terlihat baik - baik saja, dan sangat lincah, tetap saja akan berpengaruh pada perkembangannya nanti. Bae hanya berusaha menjadi orang tua yang baik untuk Sam.
"Bae ...."
"Iya, Sayang?" Bae berbalik seraya tersenyum pada bocah kecil itu.
Sam baru bisa berjalan. Ia sedang senang - senangnya berlari ke sana kemari.
"Gendong!" Sam menengadahkan kedua tangan.
Bae tersenyum manis lalu menghapiri anak itu, menggendongnya. Dia meletakkan Sam di pinggangnya. Sejak hamil lagi, ia memang selalu menggendong Sam seperti itu.
Perutnya sudah membesar. Tentu saja karena usia kehamilannya memasuki usia lima bulan.
Kehamilan kali ini cukup membuat Bae kerepotan. Sampai usia segini, ia masih rutin mengalami morning sickness yang parah. Ia sangat cepat lelah. Ia butuh perhatian lebih. Tapi Toni malah jarang pulang. Namun Bae juga tidak mau protes.
Sudah nasibnya sebagai seorang madu. Pasangan resmi Toni saat ini juga tengah hamil tua. Anak pertama mereka. Anak yang sudah sangat lama diharapkan sejak mereka menikah. Sampai Sam hadir dan akan mempunyai adik. Bae sadar dia hanya nomor dua. Maka dari itu ia cuma bisa pasrah.
"Sam , mandi sama Bae, ya?"
Sam menggeleng. "Sam tidak mau mandi!"
"Lho ... nanti Sam bau acem. Nanti adiknya Sam tidak mau dekat - dekat dengan kakaknya."
Sam segera meminta turun dari gendongan Bae. Ia menatap perut besar Bae, mengusapnya lembut. "Adik tidak suka Hyung bau acem?" tanyanya polos.
Bae terkikik. "Tentu saja tidak suka."
"Ya sudah. Kalau begitu Sam akan mandi. Biar wangi."
Sam segera berlari meninggalkan Bae. Bae tertawa kecil melihat kelakuan anaknya. Ia begitu mirip Toni. Sedikit mengurangi rasa rindunya pada lelaki itu. Sekarang Sam lah yang menjadi hiburan sehari - hari untuk Bae. Sekaligus penyemangatnya. Mengingat Bae hanya tinggal berdua dengan Toni semenjak mereka menikah. Tentu saja karena tak disetujui oleh kedua pihak keluarga.
***
Bae tidak bisa tidur. Sedari tadi bayi - bayinya bergerak terus. Mereka menendang, membuat Bae sakit. Kedua tangan Bae terus mengelus perutnya berusaha mengikuti pergerakan bayinya. Siapa tahu mereka mau menurut dan diam. Bae sangat lelah. Dia juga ingin tidur.
"Sayang?"
Suara itu ....
"Toni?" takjub Bae melihat Sam sudah ada di ambang pintu kamar mereka. "Kapan kau datang?"
"Baru saja. Kenapa? Apa kau tidak senang aku datang?" godanya.
"Tentu saja aku senang." Bae segera turun dari ranjangnya, menghampiri Toni.
"Aku sangat merindukanmu."
"Aku pun sama. Kenapa kau belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur."
Pandangan Toni beralih pada perut Bae, mengelusnya. "Pasti kalian nakal, ya?"
Dua anak kembar dalam perut Bae memang jauh lebih aktif daripada Sam dulu.
"Mereka diam, Toni?" Bae tidak percaya dengan kenyataan bahwa bayinya benar - benar diam.
Toni terbahak. "Mungkin mereka merindukanku."
Bae tersenyum. Namun sekejap kemudian ia terdiam lagi.
"Kenapa, hm? Kenapa murung?"
"Lu bagaimana?"
"Prediksi dokter, seminggu lagi ia akan melahirkan. Tapi tenang lah, aku sudah minta izinnya untuk ke sini tadi. Malam ini aku akan tidur sini. Aku juga merindukan, Sam," ucap Toni diakhiri dengan mengecup kening Bae.
"Ayo tidur. Kau pasti lelah, kan?"
Bae mengangguk dan segera menurut. Bae yakin akan tidur nyenyak malam ini.
***
Lagi - lagi morning sickness yang parah dialami Bae. Ini baru jam setengah tiga. Tapi bayinya sudah mengajak bangun. Toni datang dan segera memijit tengkuk Bae.
"Kenapa masih terus muntah? Kau sudah amat kurus ...."
"Entah lah. Pelankan suaramu. Nanti Sam bangun."
"Kau tak apa?"
Bae mengangguk mantap. "Ini sudah biasa. Cepat mandi lah. Kau harus siap - siap ke kantor. Aku tidak apa - apa."
"Apa sudah tidak mual?"
"Masih sedikit."
"Aku akan tunggu sampai mualmu benar - benar hilang."
Bae tersenyum senang mengetahui kenyataan bahwa pasangannya sangat perhatian. Tapi ... ia selalu sedih kalau ingat cintanya terbagi. Dan ia lah yang mengakitbatkan cinta itu terbagi. Bae sungguh ingin menuntut. Tapi apa haknya? Ia hanya nomor dua.
***
"Sam ... Sayang ... berhenti lah. Ayo pakai celana dulu!" Bae menyerah.
Ia tak kuat mengekor Sam lagi. Perutnya sudah semakin membesar dan Sam juga semakin aktif.
Ia sedang berlari menggoda Bae yang akan memakaikan celana untuknya. Sementara Bae sudah sangat kelelahan.
Sejak Lu melahirkan empat bulan yang lalu, Toni belum pernah menengoknya sama sekali. Mereka hanya berhubungan lewat telepon. Bae hanya bisa pasrah kalau nanti ia sampai terpaksa melahirkan sendiri. Tanpa ditemani Toni.
Bae duduk bersimpuh di lantai. Hamil anak kembar dua. Tapi repotnya berpuluh kali dibanding hamil bayi tunggal.
"Bae ...." Sam menatapnya iba.
"Sini pakai celana dulu."
Sam berjalan mendekat seraya menatap perut besar Bae.
Sam menurut saat Bae mulai memakaikan celana pendek itu.
"Kapan adiknya Sam lahir?"
"Tidak lama lagi, sayang. Kenapa?"
"Aku lindu Toni."
Bae membelai kepala Sam pelan. "Sam jangan nakal, ya! Bae sangat lelah. Adik Sam di dalam sini ada dua." Bae mengusap perut bulat nan besarnya.
Sam mendekatkan tangannya ke perut Bae. Ia agak ragu, tapi segera tersenyum saat tangannya sudah benar - benar bertengger di atas pusar Bae. Kemudian Sam tersenyum.
"Mereka bergerak?"
"Ya, tentu saja. Dulu Sam juga sering bergerak seperti mereka!"
"Benar kah?"
"Awh ...." Bae mendadak mencengkeram perutnya.
Membuat Sam ikut terlonjak kaget. "Adik barusan menendang keras sekali, Bae."
"Ya, aku tahu," jawab Bae seraya memaksakan sebuah senyuman. Perutnya masih terasa sakit.
"Bae, Sam mau main. Bae main sama Sam, ya?"
Bae tidak menjawab pertanyaan anaknya itu.
"Bae?"
Bae memejamkan mata. Kedua tangannya masih betah memegangi perut. Sesekali Bae menghembuskan napas pelan dari mulut.
"Bae kenapa?"
"Sam ... main sendiri dulu, ya. Bae mau berbaring sebentar. Nanti kalau lelah Bae sudah hilang, Sam main dengan Bae lagi, ya."
Sam mengangguk. Ia sebenarnya khawatir dengan keadaan Bae.
***