5. MAS FLOWERS

2038 Kata
Erlan menghempaskan tubuhnya di kursi kerja setelah selesai melihat venue untuk acara wedding artis terkenal dengan anak seorang pejabat. Biasanya Erlan akan menyerahkan tugas ini pada karyawannya karena ia percaya dengan kemampuan kerja para karyawannya. Tapi mengingat klien kali ini bukan orang sembarangan, maka Erlan memutuskan untuk turun tangan. “Mas, mau minum sesuatu?” tanya Dara yang juga ikut menemani Erlan. “Boleh, buatin saya minuman dingin.” “Oke Mas.” “Eh Dara, tunggu?” “Iya Mas, ada tambahan lagi?” Erlan beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Dara. “Apa yang lain pada ngomongin saya soal tamu yang datang beberapa hari yang lalu?” tanya Erlan setengah berbisik. Dara menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali sambil menampakkan senyum masam. “Ini Mas mau jawaban jujur atau yang bohong aja?” “Eh kamu ini, saya nanya biar tau jawaban benar, ini malah mau berbohong.” “Nggak mau ah Mas, nanti saya dibilang tukang ngadu sama temen-temen.” “Sssttt, saya nggak akan bocorin kalau kamu yang bilang. Buruan Dara, jawab pertanyaan saya.” Dara mengangguk pelan. “Iya, anak-anak pada gosip soal tamu Mas Erlan. Apalagi temen-temen yang cowok, pada terpesona dengan kecantikan dan tubuh indah teman Mas Erlan itu.” Erlan mengangguk paham. “Wajar sih, terus-terus mereka nggak ada ngomongin saya?” “Ada, katanya Mas Erlan keren karena bisa bikin cewek cantik menginjakkan kaki ke Contento.” “Ck, klien kita juga cantik-cantik dan genteng-genteng.” “Beda Mas, maksudnya temen-temen makin kagum sama selera wanita seorang Mas Erlan.” “Kalian berlebihan, padahal nggak tau apa-apa.” “Eh tapi Mas, kenapa cewek itu teriak-teriak terus mukanya merah kayak marah pas keluar dari ruangan Mas Erlan?” “Entahlah, mungkin lagi PMS. Kan, katanya cewek PMS suka marah-marah nggak jelas.” “Nggak begitu juga kali Mas. Nggak semua cewek PMS doyan marah-marah, buktinya saya nggak pernah sensi kalau lagi tamu bulanan.” “Ya mana saya tau, kan para wanita yang sering berdalih kalau emosi bilangnya lagi PMS.” Dara terkekeh geli. “Itu sih kadang akal-akalan aja, biar bisa menang kalau debat sama laki-laki.” “Ckck, ternyata kalian kaum perempuan banyak akal ya. Ya sudah kamu boleh pergi.” “Siap Mas. Saya buatkan minum dulu.” Setelah Dara pergi, Erlan kembali ke tempat duduknya. Ia membuka laptop yang menampilkan beberapa email masuk. Dibukanya satu persatu dan semuanya berhubungan dengan pekerjaan. Ketika Erlan tenggelam dengan laptopnya, suara dering ponsel di atas meja membuatnya terkejut. Ia mengalihkan perhatian dari laptop ke ponselnya. Erlan memperhatikan siapa yang meneleponnya dan setelah tahu, ia enggan untuk menerima. Raut wajahnya datar, tidak menampakkan ekspresi senang atau sedih. Suara pintu dibuka membuat Erlan mendongak dan ternyata Dara datang membawa minuman yang diminta oleh Erlan. “Silakan, Mas.” “Makasih ya Dar. Oh iya, makan siang nggak ada pekerjaan penting kan?” Dara menggeleng. “Nggak ada Mas, kenapa?” “Oh nggak kok, saya mau makan siang di luar.” “Aman kok, Mas. Mas Erlan bisa makan siang di luar.” “Kamu pernah dengar nama toko kue Giana Cake and Pastry?” “Pernah dong, bahkan beberapa kali klien minta wedding cake pesan di sana. Uang punya masih muda terus cantik dan baik. Kenapa Mas, ada yang minta wedding cake di sana?”” “Ngga kok, saya cuma nanya aja.” Sahutnya. “Ya sudah, kamu boleh keluar.” Dara merasa aneh karena Erlan yang tiba-tiba gugup saat membicarakan sesuatu. “Permisi ya Mas. Oh iya Mas, bajunya kece.” Ucap Dara sambil memberi dua jempol pada Erlan. “…” Erlan hanya tersenyum tanpa memberi tanggapan. *** Giana baru saja selesai memarkirkan mobil berwarna putih miliknya di samping toko. Ia baru kembali dari meeting bersama klien. Hawa panas yang menyengat membuatnya ingin cepat-cepat masuk ke toko. Belum lagi perutnya sudah mulai protes, meminta untuk segera diisi. Giana sengaja tidak makan siang di luar karena Maria membuatkan makan siang untuknya dan dikirim lewat ojek online. Saat hendak melangkahkan kakinya menuju ke dalam, Giana menangkap suasana yang tidak biasa. Di dalam toko begitu ramai tapi terlihat keramain kumpul di sutu titik. “Jangan-jangan ada artis atau orang terkenal yang datang ke sini.” Batin Giana. Ikut penasaran, Giana langsung bergegas untuk mencari tahu siapa yang tengah berkunjung ke tokonya. Belum sempat melihat, Giana dihampiri oleh Riska yang sejak tadi mengawasi situasi agar kondusif. “Aduh Mbak Gi, kok telpon saya nggak diangkat sih?” Riska sedikit panik. Giana menatap karyawannya dengan heran. “Kamu kenapa? Itu siapa kok pada rame? Ada artis datang ke sini?” Riska menggeleng. “Itu ada orang yang ngaku teman Mbak Giana datang ke sini buat ketemu sama Mbak Giana.” “Orang yang sama dengan yang tempo hari?” “Bukan, ini beda lagi. Aduh Mbak, kenapa nggak bilang kalau punya teman seganteng itu? Eh iya dia bilang kalau Mas Flowers yang manis itu tetangga Mbak Giana. Serius cakep banget sampai pengunjung abg minta foto.” Jelas Riska dengan antusias. “Hah? Mas Flowers? Maksudnya si Erlan yang datang ke sini?” Giana nyaris berteriak hingga menarik perhatian para pengunjung. “Nah iya, tadi dia bilang namanya Erlan.” Giana buru-buru menghampiri kerumunan dan ingin membawa Erlan menjauh dari tokonya. “Permisi ya, permisi,” ucap Giana sopan kepada beberapa pengunjung. “Erlan.” Panggil Giana dingin. “Hai Giana, kamu udah datang ya?” “Ikut aku,” Giana menarik tangan pria itu lalu menyeretnya dengan kasar ke ruang kerja miliknya. Erlan hanya tersenyum dan mengikuti kemana Giana membawanya. “Kamu mau ajak aku ke mana?” “Menjauh dari toko, kamu bikin situasi tokoku nggak kondusif tau nggak.” Jawab Giana ketus. Sampai di ruang kerjanya, Giana menutup pintu rapat-rapat agar leluasa bicara dengan Erlan. “Silakan duduk,” ucap Giana. “Mau minum apa?” “Minumku ketinggalan di meja tadi.” “Ya sudah aku minta karyawanku buatin yang baru.” “Aku nggak nolak kalau begitu. Ice coffee aja kalau boleh.” “Boleh kok.” Giana tidak bisa bersikap ketus ketika menawari seseorang makanan atau minuman. Giana menghubungi karyawan bagian minuman untuk membawakan ice coffee beserta kudapan untuk dirinya dan Erlan. Setelah selesai, Giana kembali fokus pada pria yang membuatnya dongkol. “Kamu ke sini kenapa nggak bilang-bilang sih?” “Kan sempat bilang waktu makan malam beberapa hari yang lalu.” “Maksudnya kenapa nggak telpon kalau mau ke sini hari ini?” “Aku nggak punya nomor telpon kamu jadi aku nggak bilang kalau mau ke sini.” Sahut Erlan santai. “Lagian kamu datang ke sini kenapa semua jadi heboh? Aku pikir tadi ada artis atau orang penting ke sini, eh taunya kamu.” “Kenapa? Kecewa kalau yang datang ternyata aku?” Giana menggeleng pelan. “Nggak sih, cuma kan toko ramai karena pada minta foto sama kamu. Lagipula, aneh banget minta foto sama kamu yang bukan artis. Apa sih yang dilihat, kenapa pada heboh.” Ucap Giana sambil memperhatikan Erlan. Erlan tersenyum sambil menggeleng melihat raut wajah bingung Giana. “Kamu aja yang aneh nggak bisa liat laki-laki genteng.” “Siapa yang ganteng? Maksudnya kamu yang ganteng?” Alis Erlan terangkat sebagai tanda apa yang dikatakan Giana adalah benar. “Siapa lagi, sudah jelas kan?” Giana tertawa mendengar Erlan yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi. “Astaga Erlan! Baru kali ini aku ketemu cowok yang punya rasa percaya tinggi.” Giana kembali memperhatikan Erlan, dan lagi-lagi ia tidak bisa menahan tawa hingga membuat Erlan penasaran. “Sebegitu lucunya aku sampai kamu ketawanya puas banget.” “Bukan, aku cuma nggak tahan sama baju kamu. Pantes aja Riska manggil kamu dengan sebutan Mas Flowers. Aku kira siapa, eh ternyata kamu pakai baju motif kembang-kembang.” Erlan memperhatikan baju yang ia kenakan. “Bagus kan? Kata karyawanku, baju ini keren.” Pria itu mengenakan kemeja lengan panjang dengan motif bunga-bunga serta celana berwarna cokelat. Tampilan Erlan tampan dan tidak salah jika sampai membuat kaum hawa terpesona, kecuali Giana. “Selera pakaian kerja kamu, baju kembang-kembang kayak gini?” tanya Giana yang berusaha mengendalikan tawanya. “Ini hadiah dari Mama, aku suka dan aku pakai. Lagi pula nggak ada yang salah dengan baju motif kembang, asal yang pakai ganteng pasti cocok kok.” “Yaya, tidak ada salahnya memuji diri sendiri.” Obrolan keduanya berhenti ketika Riska membawa pesanan Giana. Dua ice coffee dan beberapa potong slice cake yang nampak menggugah selera. “Makasi ya, Ris.” “Sama-sama Mbak Gi. Selamat menikmati Mas Flowers.” Giana hampir tersedak mendengar karyawannya memanggil Erlan dengan sangat manja. “Namanya Erlan, bukan Mas Flowers.” “Nggak masalah, makasih ya Riska,” ucap Erlan dengan begitu manis. Riska memegang dadanya yang terasa ingin meledak mendapat senyum manis dari Erlan. “Sama-sama, Mas ganteng.” “Ris, titipan Mama mana?” “Oh iya ada di kitchen, Mbak Gi mau makan siang sekarang?” “Entar aja deh.” “Kalau begitu saya permisi dulu.” “Eh aku belum nanya tujuan kamu ke sini, mau ngapain? Beli kue atau janjian sama cewek?” Tanya Giana begitu Riska menghilang dari balik pintu. “Mau liat tempat usaha kamu sekalian ajak makan siang.” “Makan siang? Kenapa ngajak aku makan siang?” “Kenapa? Keberatan?” Giana memutar bola matanya karena malas mendengar pertanyaan Erlan. “Aneh aja tiba-tiba datang ke sini terus ngajak makan siang. Memang kita seakrab itu untuk pergi makan siang?” “Aku sih ngerasa akrab tapi kayaknya kamu nggak menganggap aku demikian.” “Bukan begitu, aku juga nggak bisa makan siang di luar. Mama buatin makan siang lalu di bawa ke sini.” “Baik sekali Tante Maria manjain anaknya yang jutek ini.” “Ck. Aku ini baik, jutek kalau sama orang tertentu aja.” “Salah satunya jutek sama aku?” “Ah udah jangan dibahas lagi. Kamu mau makan siang sama aku di sini? Mama pasti bawa banyak lauk.” “Kenapa jadi kamu yang ngajak aku makan siang?” “Mau atau nggak?” Giana mulai kesal dengan kecerewetan Erlan. Erlan mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Oke terserah kamu, lain kali aku yang traktir kamu makan siang.” Giana mengajak Erlan pindah ruangan yang biasanya digunakan untuk meeting. Bukan ruangan besar, hanya muat sekitar enam sampai tujuh orang. Makan siang yang dibuatkan oleh Maria juga sudah terhidang di atas meja kayu. Menu gulai ikan kakap, bakwan jagung serta sambal. Tidak ketinggalan nasi putih yang kebetulan porsinya cukup banyak. “Kamu suka ikan kakap?” tanya Erlan sambil memperhatikan menu di hadapannya. “Suka, ini menu favoritku makanya Mama sampai belain kirim pakai ojek online. Kamu ngga suka?” “Bukan, kita punya selera yang sama.” “Oh…” “Kenapa? Kamu kira aku mengada-ada?” “Eh bisa baca pikiranku ya? Ini nggak sekali kamu tau apa yang aku pikirin.” “Raut wajah kamu yang bilang kalau nggak percaya sama omonganku.” “Ngobrolnya ditunda dulu, nanti ikannya keburu kabur kalau kelamaan dianggurin,” ucap Giana yang mulai mengambil nasi dan beberapa lauk untuk disantap. “Gimana, enak?” tanya Giana ketika Erlan begitu menikmati makanannya. Erlan mengangguk. “Enak, Tante Maria pinter banget masaknya.” “Iya, Mama emang jago kalau urusan dapur. Nggak hanya bikin kue tapi masak lauk juga pinter.” “Kamu juga pasti jago.” “Nggak, aku ini bukan menantu idaman para mertua. Aku nggak bisa masak sama sekali.” “Nggak masalah, aku cari istri bukan cari tukang masak.” Sahut Erlan santai. Giana tersedak mendengar ucapan Erlan, lalu cepat-cepat meneguk air putih yang ada disebelahnya. “Nggak usah grogi, sampai keselek begitu. Padahal cuma bercanda.” Erlan memasang tampang tidak bersalah. “Demen banget ngomong hal yang aneh-aneh,” gerutu Giana. Erlan tergelak. “Keliatan banget kalau kamu kelamaan jomlo, digombalin dikit langsung keselek terus mukanya kayak kepiting rebut. Gampang baper ya, Giana?” “Erlan!” “Canda, Giana. Jangan marah, nanti makanannya nggak jadi berkat buat kamu karena dimakan sambil emosi.” Giana hanya bisa mendengkus sebal dengan Erlan. Kalau sedang tidak makan atau tidak di tempat usahanya, bisa saja ia mengacak kepala pria nakal di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN