" Sasyaaa!! Keluar kamu. Jangan enak-enakan tiduran di kamar, dengan santai menikmati hidup!" Teriakan menggemparkan sang ibu membuat bathin Sasya bertanya.
Apalagi sih Mama. Kenapa suaranya seperti lain banget hari ini. Gak biasanya deh marahnya berlebihan. Apalagi pengaduan Nissa?
Pintu kamar yang tak di kunci terbuka dengan kasar, sang ibu langsung berjalan menuju lemari dan membukanya.
" Kenapa, Ma?" Tanya Sasya heran.
" Mulai hari ini, kamu harus lebih giat cari kerja. Dan menunjang usahamu, kamu harus tinggal di kost-kostan dan di jatah dengan minimal, biar otak kamu berfungsi!"
Mama...kok ngomong gitu, ada apa ini benarnya? Mengapa aku di usir secara halus?
" Kenapa harus ngekost Ma? Pemborosan bukan?" Tanya Sasya tak mengerti jalan pikiran ibunya.
" Lebih baik, aku mengeluarkan sedikit uang, untuk benalu sepertimu daripada hancur semuanya. Pokoknya Mama gak mau tahu! Kanu harus pergi cari kost sekarang juga!"
Tanpa sadar, bulir bening mengalir di pipi Sasya. Entah mengapa hatinya terasa sakit dengan ucapan sang ibu.
" Tapi, Ma..."
" Tidak ada, tapi-tapian. Sekarang kemasi semua barangmu dan langsung cari kost, terserah mau dimana, pokoknya, begitu adikmu pulang, kau sudah pergi. Minta anter sopir aja, gak perlu bawa mobil!"
Ucapan sang ibu, bak petir menyambar.
Mama...kenapa setega ini? Bukankah aku anak kandungnya? Tapi mengapa Mama selalu memperlakukanku kasar. Selama ini aku ikhlas, tapi sekarang....
" Ma, mobil itukan Sasya yang beli dari gaji Sasya. Dan itu keringat Sasya, izinkan Sasya membawanya Ma..." Pinta Sasya dengan wajah memelas.
Air mata terus membanjiri wajahnya. Dia tak menyangka semua akan seperti ini.
" Ohh, kau mau hitung-hitunga dengan mama? Kalau begitu, baik. Bawa mobilmu dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi, kami sudah tidak sudi, mengurus benalu sepertimu!" Potong sang ibu dengan bibir bergetar dan kelopak mata melebar menahan marah.
Sembari terus mengusap air matanya, Sasya menurunkan koper miliknya dan mengepack barang miliknya.
Sang ibu masih menunggu dengan berkacak pinggang, memastikan Sasya meninggalkan rumah itu.
Membantah, hanya akan membuatku durhaka. Ataukah benar seperti kata Mbok Innah kalau aku bukan anak kandung Mama? Ahh, sudahlah Sasya. Bukan itu yang seharusnya kau pikirkan.
" Ma, Sasya pamit dulu ya, semoga Mama dan Papa selalu sehat, ya. Sasya akan mengirimi alamat tempat Sasya tinggal..."
Sasya mengulurkan tangannya untuk menyalam wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tapi sayangnya wanita yang di panggil mama oleh Sasya memilih mengibaskan tangannya.
" Pergilah. Tak perlu mengabari dimana kau tinggal. Anggap saja kita tak pernah berhubungan!"
Sasya menundukkan kepala, berjalan menyeret kakinya yang terasa lebih berat dari koper besar di tangannya.
Sabar Sya. Mama hanya sedang matah sejenak. Sekarang menyingkir aja dulu, tidur di mobil aja.
Kakinya gemetar menuruni tangga hingga berjalan mengambil kunci mobil yang tergantung di antara kunci mobil yang lainnya.
Sasya menutup pintu, dan terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Bahunya bergoyang karena isakan tangis.
Air matanya bak air bah yang tumpah begitu saja tak terbendung. Bahkan hingga dia mengemudikan mobilnya pun menjauh dari rumah menyusuri jalan raya, masih juga air mata itu tak terhenti.
Sasya akhirnya menepi dan berhenti di pinggir jalan. Tangannya bergetar membuka ponselnya.
Sudah Sya. Jangan nangis. Percuma. Semua sudah terjadi, saatnya bangkit dan berjuang.
Sasya mendownload sebuah aplikasi dan mencari rumah kost. Setelah menghubungi beberapa nomor, akhirnya dia memutuskan untuk memilih salah satu tempat kost.
^__^
Seminggu tanpa serasa sejak dirinya tinggal di tempat kost, akhirnya Sasya mendapatkan informasi lowongan kerja dan memasukkan ke salah satu perusahaan bergengsi.
Dengan segala doa dan harapan tulus dia mencoba mengantarkan lamaran pekerjaan di perusahaan itu.
Sedangkan seorang pria berkaca mata duduk di sebuah meja oval ruangan meeting sembari memeriksa semua lamaran yang masuk.
Sulitnya taraf hidup ekonomi masa kini, dan banyaknya tingkat pengangguran, membuat satu posisi kosong yang terdapat di iklan lowongan kerja, maka tak heran jika lebih dari 700 pelamar yang telah memasukkan lamaran pekerjaannya.
Pria yang tengah duduk di dampingi sekretarisnya itu, dengan teliti menyeleksi semua pelamar, hingga matanya tertuju pada sebuah nama yang tak asing baginya.
Dia mengerutkan dahinya, lalu tangannya membuka isi amplop coklat bertuliskan nama
" Tasya Syafira Luthfi " sebuah nama yang kental di ingatannya sebagai teman sebangku masa SMA.
" Buat orang ini lulus di tingkat seleksi akhir ya, saya ingin tahu kemampuannya sampai dimana. Dan pastikan dialah yang terpilih sebagai karyawan yang di terima" Ucapnya dingin tanpa menoleh kearah lawan bicara yang duduk di seberang meja.
" Baik, Pak. Akan Dera catat" Jawabnya lembut tanpa menanyakan perihal mengapa bossnya memilih wanita yang jauh dari kualifikasi yang di butuhkan.
" Scan dan email ke saya semua peserta yang telah saya seleksi, sisanya arsipkan by soft file"
Pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu, di iringi sang sekretaris yang membawa data sebelas pelamar yang telah di nyatakan lolos seleksi oleh sang pimpinan.
" Untuk penambahan orang, segera di proses dan tidak ada penundaan. Kalau perlu butuhkan saja seharian dalam proses seleksi, sehingga tak merugikan pelamar lain yang gagal. Lusa saya mau, karyawan baru itu sudah masuk dan segera bergabung di perusahaan..." Ucapnya sembari berjalan cepat menuju ruangan kerjanya.
" Satu lagi, per minggu ini saya perhatikan itu tissue di toilet bawah samping receptionist sudah habis. Tolong hal-hal kecil seperti itu tidak di abaikan, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman, cover semua kebutuhan karyawan, tanpa terkecuali!"
Kali ini boss killer itu menoleh kearah sang sekretaris. Hingga membuatnya menundukkan kepala mendapat tatapan tajam dari bossnya.
Ini Bapak, kenapa hal kecil ikut ngurusin sih, gak bisa apa dia itu fokus aja ama pekerjaannya. Terlalu care. Kesel gue!
" Baik, Pak. Semua sudah Dera catat dan akan segera Dera limpahkan ke devisi HR..." Jawabnya dengan halus dan wajah yang tetap tenang dengan senyum terus menghias di wajahnya.
^__^
Sementara itu, di sebuah cafetaria rumah sakit tampak sepasang insan berseragam jas putih tengah menikmati makan siang itu dengan lahap.
" Sayang, Aku perhatikan seminggu belakangan tak melihat Sasya di rumah? Apa dia keluar kota? Atau? "
Pertanyaan yang sontak membuat wajah sumrigah menjadi kelabu seketika. Kekesalan hati gadis cantik itu memuncak manakala pria yang di cintainya membahas wanita lain di hadapannya.
" Mas Farhan, kok malah nanyain Kak Sasya. Kangen yah?" Ucapnya ketus.
Pria itu meraih jemari wanita yang tengah memasang wajah masam di hadapannya