Ketika ditanya seperti ini, Arimbi terhenyak kaget. Memang tidak terlalu susah untuk mendapati bahwa ia adalah seorang perempuan, meski dengan sepak terjang dan perilaku, kegesitan dan kehebatannya, sedikit banyak akan membuat orang ragu siapa dia sebenarnya. Sedari awal ia terlibat dalam membantu keluarga Pendawa di Jala Sutra, ia tak begitu yakin semua orang bakal mengenalinya sebagai seorang perempuan. Pakaian yang ia kenakan, sepak terjang serta perilakunya harusny cukup menipu banyak orang.
Tapi Madame Kunthi dengan mudah dan cepat mengetahui bahwa ia adalah seorang perempuan, bahkan ia menyebut kata ‘cantik’.
Arimbi berusaha untuk tidak terlihat mati kutu, namun juga tidak ingin terlihat angkuh. Keanggunan perempuan separuh baya di depannya ini yang membuatnya terpana dan menaruh hormat bertumpuk-tumpuk.
"Aku tak pernah merasa diriku cantik, Madame. Tapi bila yang anda maksud 'cantik' merujuk pada diriku sebagai seorang perempuan, aku tak bisa menolaknya karena memang aku adalah seorang perempuan," jawab Arimbi berusaha terdengar sesopan mungkin.
Ketiga perempuan itu saat ini sedang duduk berhadap-hadapan di sebuah ruangan hotel kelas premium milik keluarga Pendawa. Ruangan mewah bergaya retro itu dihiasi wallpaper berwarna terang dengan panel-panel kayu. Sebuah televisi berukuran 4 inci ada di sana namun cenderung menjadi bagian dari interior belaka dibandingkan fungsinya sendiri. Mungkinkah Pendawa memiliki kecerdasan tertentu dan taktik untuk mendapatkan informasi, karena kehadiran kedua perempuan di depannya ini terlihat begitu bersahabat. Namun di sisi lain, ia merasa sedang diinterogasi. Kenyamanan dan rasa tiada ancaman, seakan membuatnya tak keberatan untuk menceritakan apa yang perlu disampaikan.
"Apa yang terjadi denganmu? Ada apa dengan hatimu anakku?" sepasang mata sang Kunthi mengebor masuk ke jantung Arimbi. Arimbi tersentak sekali lagi. Entah mengapa pertanyaan ibu keluarga Pendawa ini seperti tak habis menelanjanginya.
"Mengapa tidak kau tanyakan siapa aku, apa maksudku mencampuri urusan para Pendawa, Madame?" Arimbi balik bertanya sekaligus mencoba agar sang perempuan paruh baya nan anggun itu tidak seperti seorang ibu peri yang dapat membaca isi hatinya.
Sang Madame tersenyum, "Tentu kau adalah seorang buta anakku. Itu jelas terlihat, siapapun pasti mengetahuinya. Namun, anak-anak perempuan muda itu yang membuatmu mencampuri urusan para Pendawa dari Wanamarta ini. Dan itu jelas membuat kau berbeda. Apa yang ada di hatimu sehingga kau memutuskan untuk berdiri berseberangan dengan orang-orang Pringgandani?"
Arimbi melepaskan cap nya, sekaligus melepaskan ikatan-ikatan rambut rumitnya dan membiarkan helai-helai rambut berombak panjangnya tergerai. Wajahnya yang lembut sekaligus menunjukkan kerasnya pengalaman kehidupan dan segala intriknya benar memang menunjukkan kecantikannya, seperti yang diucapkan sang Madame Kunthi.
Arimbi merasa Sudah tak perlu lagi menyamarkan dirinya di depan kedua perempuan ini, bukan karena Madame mengatakan bahwa ia tak perlu menyembunyikan kecantikannya lagi, namun lebih karena memang tak ada lagi yang perlu disembunyikan apalagi ditutupi
"Ternyata ia memang cantik. Tadinya, aku pikir karena begitu buruk wajahnya, ia sengaja menutupinya," ujar Lady Drupadi pada Madame Kunthi berbisik. Kata-kata tajam dan lugas dari bibir perempuan ini seakan bertentangan dengan wajah ayu nya. Apalagi tak lama sang Lady meloloskan sebatang rokok Phillip Morris dari kotak snap open' nya.
Madame memandang menantunya itu sembari memberikan pandangan, "Ah, come on now."
"Namaku Arimbi, adik kandung Arimba sang pemilik Pringgandani Corp. Aku merasa perlu menjelaskan bahwa tidak semua anggota buta setuju dengan bisnis narkoba dan prostitusi yang dilakukan oleh segelintir oknum ...,"
"Segelintir? Bila memang hanya sedikit, lalu mengapa tidak kalian selesaikan sehingga kita tidak memerlukan perang semacam ini?" Lady Drupadi memotong penjelasan Arimbi. Ia menyalakan Phillip Morris nya, meletakkan ke bibirnya yang tipis itu dan menghisapnya perlahan. Kembali sang Madame memberikan pandangan itu kepadanya.
"Kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas, bukan begitu Lady? Walau berjumlah sedikit, pun ketika memiliki suara keras, apalagi kekuasaan, pasti akan dapat menggoyahkan perusahaan. Itulah yang terjadi pada Pringgandani Corp.,” ujarnya kepada Lady Drupadi. Arimbi kemudian mengalihkan pandangan ke Madame Kunthi. "Aku sedang berusaha dengan semua tenaga yang aku punya untuk menyelamatkan Pringgandani dan Wanamarta dari kekuatan kelompok yang segelintir itu."
Madame Kunthi dengan anggun turun dari kursi tinggi nya. Kemudian berjalan ke sebuah portable record player putih gading Nuova Faro di samping televisi Philco 48-2500 4 inci dan memutarkan musik jazz yang pelan mengalun mengisi penuh ruangan tersebut. Nada-nada indah menyelip di udara memnuhi kamar sampai ke sudut-sudutnya.
Arimbi melanjutkan penjelasannya, "Aku jujur tidak menyangka bahwa para Pendawa peduli dengan gadis-gadis muda itu. Jebakan para jin dan gandarwa yang kongkalikong dengan anggota buta hampir saja membunuh pria besar itu. Tak kusangka, para Pendawa Wanamarta berani merelakan kemenangan bahkan myawa mereka demi anak-anak perempuan yang bahkan tidak mereka kenal."
Madame Kunthi menatap Arimbi dalam-dalam. "Ada beberapa hal yang perlu engkau pahami di sini, anakku. Pertama, pria besar itu bernama Bratasena, ia adalah anak nomer duaku setelah Samiaji. Kedua, kemenangan bagi Pendawa adalah tidak mengkhianati nilai-nilai dan prinsip yang kami anut. Percuma memiliki kemenangan semu atas hal-hal yang kami bangun dari kelicikan dan ilusi semata. Ketiga, bukan berarti kami akan berhenti menundukkan Pringgandani. Karena setelah apa yang terjadi, menguasai Mretani dan Pringgandani adalah sebuah keniscayaan, anakku," balas Madame Kunthi. Perubahan tiba-tiba nada suara dan tema pembicaraan ini menunjukan kehebatan karakter perempuan ini di mata Arimbi.
Diam-diam Arimbi mencelos. Ia kini mulai sadar bahwa Bratasena adalah orang yang memang sedang ia cari menurut arahan detektif Narada. Ia tidak mengira, bahwa si pria raksasa yang menggetarkan hatinya itu adalah orang penting yang mungkin mengubah jalannya peta peperangan mob royalty, atau keluarga mafia, Pringgandani dan Pendawa.
"Lantas, apa alasan kuatmu untuk berani menghianati keluargamu?" kata-kata pedas nan lugas Lady Drupadi kembali terucap.
"Aku tidak mengkhianati siapa-siapa, Lady. Dari awal Pringgandani Corp. berjalan di jalan yang salah, terutama setelah ayah kami tewas terbunuh dalam ... em ... perseteruan dengan keluarga Pendawa bertahun-tahun yang lalu," balas Arimbi berusaha tenang. Ia merasa kesulitan untuk membicarakan masalah yang begitu sensitif tersebut. Ketegangan harusnya sudah mengambang di ruangan ini. Bagaimana tidak, permasalah yang terjadi di masa lalu di antara Astina Enterprise dan Pringgandani Corporation tidak bisa begitu saja dilupakan. Bila tidak, bagaiman mungkin sang kakang, Arimba, terus membawa kebencian itu di dalam hatinya bertahun lamanya.
Lady Drupadi mendadak berdiri, "Tunggu, ketika ayah kalian terbunuh karena pertentangan dengan Pendawa? Bukan kah Arimbaka lah yang memulai pertarungan dengan Astina Enterprise? Ia adalah dedengkot buta yang memang mengarahkan Pringgandani Corp. berjalan di jalannya sekarang bukan?" suara sang Lady mendadak naik.
"Drupadi! Itukah caramu berkomunikasi dan berbicara dengan orang lain? Yang sedang kau bicarakan adalah Arimbaka, ayah perempuan ini. Beri sedikit hormat," bentak Madame Kunthi.