Bratasena ingat sekali bahwa malam itu kepanikan melanda dirinya. Api membakar setiap dinding, setiap pintu, setiap furnitur, dan setiap langit-langit tanpa ampun. Tidak hanya membakar, ledakan terjadi di sana-sini, seakan ada bahan peledak yang ditanamkan di lantai atau dinding kayu bangunan tersebut.
Dengan susah payah, Bratasena berhasil menembus kobaran api di lorong lantai bangunan teratas, kemudian mendobrak pintu kamar hotel dimana sang ibu menginap. Laki-laki raksasa itu menemukan Madame Kunthi terbatuk-batuk parah dan lemas karena asap tebal memaksa masuk ke dalam paru-parunya. Sang Madame ternyata tidak tertidur oleh jamuan makan dan minuman yang terus-menerus diberikan kepada para Pendawa, tapi tetap saja perempuan itu tidak sempat mengetahui apa yang sedang terjadi.
Bratasena langsung masuk dan mengangat tubuh sang ibu di bahunya dengan mudah, kemudian berlari keluar, turun untuk menyelamatkan para saudaranya yang ia yakin masih tak sadarkan diri di ballroom sana. Ledakan dan api yang membakar terjadi ketika Bratasena telah sampai di lantai empat bangunan ini. Maka tak ada pilihan baginya selain terlebih dahulu pergi menyelamatkan sang ibunda.
“Ada apa ini, ngger? Bangunan ini terbakar?” tanya sang ibunda yang dibopong Bratasena sembari terbatuk-batuk.
“Tenang, ibu. Kita akan keluar dari tempat ini, dan Bale Sigalagala bukan terbakar, namun sengaja dibakar,” ujarnya.
Bratasena melaju dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya begitu gesit walau membopong tubuh ibunya di bahu. Api yang menjilati terus tubuhnya, tapi tak terasa sama sekali oleh Bratasena.
Ketika sampai di ballroom, lampu-lampu disko sudah berhenti berputar. Arus listrik membantu terbakarnya tempat itu. Dengan cepat ia meraih Permadi yang terlentang tak sadarkan diri di atas sebuah sofa. Api sedikit lagi akan membakar habus tubuhnya yang kemudian diangkat begitu saja ke bahunya yang satu. Sebuah pemandangan yang tidak biasa, seorang laki-laki bertubuh hampir dua kali besar tubuh manusia normal, sedang membopong dua tubuh lainnya di masing-masing bahunya.
Pinten terbangun dan menyibak asap. Ia terbatuk-batuk, masih merasa puyeng karena pengaruh obat yang dimasukkan ke dalam minuman dan makanannya.
“Pinten! Mana Tangsen? Cepat bantu aku membawanya!” seru Bratasena ketika matanya menemukan sosok adiknya itu berdiri sedikit gontai di balik asap.
Tanpa menjawab, Pinten berbalik arah dan segera mencari adik kembarnya tersebut.
Ngger, itu Kakangmu, Samiaji!” kali ini sang ibu, Madame Kunthi, yang melihat tubuh anak sulungnya juga terkapar pingsan. Bratasena segera menuju arah yang ditunjuk oleh sang ibunda. Ia sedikit bingung untuk bagaimana membawa sang Kakang, sedangkan kedua bahunya telah membawa ibu dan Permadi.
Namun kebingungannya langsung terjawab ketika ada seseorang, dengan mengenakan gas mask dan baju coverall workwear berwarna putih. Melihat Bratasena, orang itu segera berteriak sekeras dan sejelas mungkin. “Ayo, aku akan bantu membopong Samiaji. Ikut aku. Bangunan ini dirancang untuk terbakar secara keseluruhan, tapi ada satu tempat aman di kitchen. Ruangan itu dibangun dari bahan-bahan tahan api dan sirkulasi oksigen yang baik,” ujar orang asing tak dikenal tersebut.
Tentu Bratasena langsung awas. Ia tak bisa langsung percaya pada orang asing yang muncul di salam keadaan yang genting seperti ini. “Jangan curiga kepadaku dalam situasi berbahaya dan mematikan ini. Namaku Garangan Putih, aku diutus untuk membantu kalian. Aku tahu jalur aman untuk menyelamatkan kalian. Cepat!”
Orang yang mengaku bernama Garangan Putih itu segera mengangkat tubuh Samiaji dan membopongnya. Ia meluncur bersama Samiaji ke arah kitchen, tepat seperti yang ia katakan tadi.
Bratasena memandang ke belakang dan langsung lega ketika Pinten dan Tangsen sudah menyusulnya. Tangsen masih linglung dan setengah sadar, namun kakinya masih membantunya untuk bergerak secara otomatis. Pinten masih membopongnya, namun tidak dengan kesulitan.
“Kakang Bratasena, aku dengar kata-kata orang yang mengaku bernama Garangan Putih itu. Aku percaya padanya Kakang. Kita harus ikuti dia. Tadi aku juga sempat memerhatikan kitchen. Di sana bahkan dindingnya terbuat dari bahan yang tak mudah terbakar. Aku sempat curiga sebenarnya dengan bangunan ini tadi. Makanya, seperti Kakang, aku juga tak banyak makan dan minum,” ujar Pinten panjang lebar.
Bratasena mengangguk setuju, kemudian ikut meluncur cepat menuju ke kitchen.
Sesampainya di sana, Garangan Putih berdiri di depan pintu kitchen yang tertutup rapat. Ia menurunkan Samiaji, kemudian membuka tak punggungnya. Ia mengeluarkan tepat enam buah gas mask dan memberikannya kepada Bratasena dan Pinten untuk segera dikenakan para mereka serta Madame Kunthi, Permadi dan Tangsen. Ia sendiri langsung mengenakannya pada Samiaji.
“Dengar, Bratasena dan Pinten. Di dalam kitchen sana, ada beberapa orang hitman alias pembunuh bayaran suruhan Harya Suman. Aku mau kau menggunakan ini,” ujar Garangan Putih sembari memberikan sebuah pistol revolver Smith & Wesson Model 29. Ia sendiri menggenggam Colt Python dengan .357 Magnum. Bratasena menanggapi ini dengan cepat. Asap semakin kental dan tebal, sedangkan kemungkinan mereka selamat adalah masuk ke dalam ruangan aman ini yang ironisnya dijagai oleh para pembunuh.
Pintu segera didobrak. Letusan revolver langsung terdengar. Ternyata ada delapan penjaga di dala ruangan yang terlihat jelas aman dari asap dan kobaran api tersebut. Suit hitam mereka langsung basah oleh darah. Mereka bahkan belum sempat mengangkat shotgun Remington dan Winchester mereka ketika peluru menembusi tubuh bahkan kepala mereka.
Kedelapan hitman tewas di tempat dengan singkat.
Garangan Putih membuka sebuah ruangan khusus di balik satu stove besar. Asap hitam langsung berhembus masuk ke dalam kitchen. “Cepat, ikuti aku. Ruangan ini tidak sepenuhnya aman lagi. Lorong yang akan kita lewati memiliki jalur rahasia yang kalau tidak hati-hati bisa juga membunuh kita,” ujarnya.
Bratasena dan keluarga Pendawa yang masih siuman, termasuk sang ibu, langsung saja mengikuti masuk ke lorong sempit dengan asap hitam pekat itu. Setelah lima menit berjalan, mereka menemukan jasad Purocana yang tewas terpanggang api.
“Dia tertipu jalur yang ia rencakan sendiri. Kita akan melewati bagian yang berbeda, sebelum api kembali masuk ke dalam lorong ini,” Garangan Putih terus berbicara menjelaskan segala hal sembari berjalan. “Lorong ini akan terbakar beberapa kali, sampai api benar-benar melahap bangunan sampai habis. Tapi Purocana tak menemukan jalan keluar malah sebaliknya mendapatkan kebuntuan. Kemari, ikut aku,” ujar Garangan Putih. Ia membuka sebuah kenop besar yang tersembunyi di balik semacam susunan kayu dan besi. Tepat ketika semua orang telah keluar dari lorong itu, api menyembur masuk ke dalam lorong.
Bale Sigalagala runtuh sama sekali, bahkan termasuk kitchen yang akhirnya bolong juga karena api masuk melalui pintu utama dan jalur rahasia yang awalnya dibangun dengan rencana Purocana, disabotase Harya Suman dan kembali disabotase Sanjaya putra Don Yamawidura dengan bantuan pula dari Don Sang Hayang Antaboga melalui orang suruhannya, Garangan Putih.
Ketujuh orang itu langsung pergi ke Negeri Bawah Bumi, untuk menemui Don Sang Hyang Antaboga dan Don Yamawidura yang telah membantu mereka. Kegagalan pembunuhan ini belum diketahui pihak Kurawa yang masih terbang bersama kebahagiaan mereka yang semu. Bale Sigalagala adalah akar dari permasalahan besar dan keterusiran para Pendawa ke Wanamarta beberapa tahun kemudian.