6| Berharap Tidak Nyata

1373 Kata
"KANKER paru-paru Ibu Sonya sudah memasuki stadium akhir, lebih baik kamu kembali membujuk beliau agar mau dirawat dirumah sakit." Perkataan dari Doker Fajar yang sempat berpapasan dengannya tepat di depan pintu masuk rumahnya itu, berhasil terngiang-ngiang di telinganya. Terlihat melamun dengan otak yang berputar mengingat penyakit yang di derita Sonya- Mamanya, sudah memasuki stadium paling mematikan. Tidak pernah membayangkan kalau hidup kelamnya akan semakin berubah kelam kala dirinya dilemparkan sebuah kenyataan pahit itu. Membayangkan hari-hari gelapnya tanpa kasih sayang dari sang Mama, nyatanya masih enggan Derren pikirkan. Karna yang ia akan lakukan saat ini adalah berusaha semaksimal mungkin untuk memperlambat penyebaran sel kanker yang nyatanya sudah semakin melemaskan tubuh Sonya. "Kamu disini?" Lamunan yang sempat terputar di otaknya, seketika buyar kala suara lemah disertai usapan lembut yang mengarah pada punggung tangannya menyapa. Segera mengalihkan perhatian cowok tampan itu ke arah wajah pucat Sonya, berusaha untuk mengganti ekspresi sedihnya menjadi manis dengan tambahan senyuman yang tersirat. "Mama udah bangun? Gimana badannya? Masih sakit?" Serbuan pertanyaan yang segera Sonya balas dengan sebuah gelengan lemah disertai batuk yang sesekali terdengar, "Mama gak apa-apa." Sungguh sebuah kobohongan yang luar biasa kalau Sonya mengatakan hal menenangkan itu saat Dokter Fajar baru saja memvonis hal mengerikan. "Aku denger kondisi Mama memburuk sehabis dari rumah tante Amanda?" memilih untuk tak berbasa-basi, inti dari penyebab hal buruk inipun Derren utarakan. Menunggu jawaban dengan tenang sebelum gelengan kedua kembali datang, "Mama gak apa-apa." "Ma, aku udah bilangkan kalo sekarang aku itu udah bisa relain Dilla. Jadi Mama gak perlu lagi ngelakuin itu." Kali ini, gantian Sonya yang merasa putra tunggalnya itu tengah mengatakan sebuah kebohongan besar. Sudah jelas kalau anak itu masih sangat mencintai Dilla. Jadi, dari pada harus berpura-pura mengiyakan kebohongan putra satu-satunya, Sonya terlihat menampilkan senyuman penuh arti dengan tangan yang nampak mengusap lembut wajah tampan putranya. "Kamu belum bisa melupakan Dilla, dan Mama tahu itu." Namun sekali lagi, Derren memilih untuk tak menyetujui pemikirian Sonya, "Aku sibuk belajar, mana ada waktu untuk mikirin masa lalu?" "Banyak Universitas bagus diluar negeri yang menerima kamu, menurut kamu kenapa kamu memilih tinggal di Indonesia?" "Karna aku mau tetep deket sama sahabat-sahabat aku," respon Derren sebisa mungkin, "Toh kuliah diluar negeri belum menjamin akan sukses, kan?" "Tapi itu adalah kesempatan sayang, dan kamu memilih untuk melewatkan kesempatan itu demi bisa selalu dekat dengan Dilla, kan?" "Ma-" sudah tidak kuat mendengar nama indah itu disebut, Derren memilih untuk mengakhiri perbincangan menyakitkan ini, "Aku sama dia udah gak ada apa-apa semenjak dia milih untuk khianatin aku," Ditatapnya kedua manik sendu itu lekat, menyampaikan kesungguhan disetiap kata yang terucap, "Aku tau Mama sayang sama dia dan aku, tapi semuanya udah selesai karna dia juga udah pergi," "Jadi Derren minta, supaya Mama bisa lupain masa lalu itu dan fokus sama pengobatan Mama. Oke?" Seakan tidak diperbolehkan untuk memberikan penolakan, mau tak mau, hanya anggukan kepala ragu saja yang dapat Sonya keluarkan. Sudah mulai menyadari mata memerah putranya ketika memori kelam itu kembali dibahas, tidak menginginkan adanya air mata dalam perbincangan kali ini. "Tadi aku ketemu Dokter Fajar, dan dia minta aku untuk bujuk Mama supaya mau dirawat dirumah sakit." memilih untuk mengganti topik pembicaraan, Derren kembali memulai. "Kamu tahu Mama tidak suka dirawat di tempat itu," Sonya menyuarakan penolakan, "Lagi pula dirawat dirumah Mama rasa sudah cukup." "Tapi perlengkapan dan pengawasannya akan jauh lebih baik ketimbang dirumah, Ma." Sekali lagi, Sonya menggeleng, "Mama tidak bisa bernapas kalau terlalu lama tinggal disana, kamu tahu itukan?" Mulai detik ini, Derren barulah menyadari satu hal, kalau sifat keras kepala yang dirinya miliki itu, bawaan dari Sonya, Mamanya sendiri. Jadi memilih untuk kembali mengalah adalah hal yang cowok itu lakukan. Hanya dapat membuang napasnya panjang, berdoa dalam hati agar Tuhan membuang sifat keras kepala yang Mamanya miliki itu. •••• "Scotch Whisky-nya satu lagi, Mas." Tidak perduli dengan kepalanya yang semakin berputar hebat akibat hantaman dari beberapa minuman keras yang sudah merayap masuk ke dalam tenggorokannya, Nasya yang malam ini tengah menggilapun memilih kembali memesan apa yang dirinya inginkan. Dentuman musik bergenre EDM yang berhasil semakin memabukkannya, terdengar mengalun sempurna diseluruh penjuru club malam ini. Dengan kepala yang sesekali bergerak mengikuti irama, gadis yang saat ini tengah mengenakan sebuah dress ketat berwarna merah merona itupun seakan menikmati setiap rasa sakit yang menyerang kepalanya. Berniat untuk kembali meneguk ganas gelas ke-empatnya sebelum sebuah colekan terasa mengenai bahunya. Dengan alis menaut, gadis itu terlihat memutar kepalanya malas, mendapati sosok asing yang tak pernah dirinya jumpai sebelumnya. "Iya?" disela-sela rasa mabuk yang semakin kuat menguasai otaknya, Nasya bertanya manis. Mendapati respon senyuman ketika suara gadis itu terdengar menggoda, "Anda selebriti?" Pertanyaan yang entah mengapa Nasya anggap lucu itu, berhasil memecahkan tawanya sebelum gelengan cepat terlihat. "Of course not." "Oh, ya? Anda terlalu cantik untuk ukuran wanita biasa," gombalan dari arah laki-laki berambut pirang itu kembali menghadirkan tawa geli dari arah Nasya. "Bisa saya meminta foto?" "Dengan saya?" di dalam lautan musik itu, Nasya berhasil mengeluarkan suaranya. "Iya, boleh?" Tentu saja tidak ada kata tidak yang akan Nasya keluarkan, disamping efek alkohol yang sungguh kuat, menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi seorang 'selebriti'pun Nasya rasa sangat amat disayangkan. Jadi, sesudah berusaha untuk menstabilkan dirinya agar tidak terjatuh akibat hantaman rasa pusing yang luar biasa, dibantu dengan sosok asing itu, Nasya berhasil bangkit dari posisi duduknya. Berdiri tepat disamping cowok berambut pirang itu sebelum mulai mengarahkan perhatiannya ke arah kamera. Berhasil mengambil satu buah potret kembali menghadirkan cekikikan geli dari arah Nasya. Merasa hal ini sangatlah asing di dalam hidupnya. Pasalnya, ia biasa pergi menuju club malam dengan ketiga sahabatnya. Namun entah apa yang terjadi hingga malam hari ini dirinya berakhir pergi menuju tempat berbahaya itu seorang diri. Karna sudah tak kuat untuk menahan pusing, gadis itupun terlihat kembali mendaratkan dirinya diatas kursi bar. Diikuti dengan orang asing yang sama disebelahnya, ikut meminum sebuah alkohol yang disediakan oleh seorang bartender. Kembali meneguk habis gelas ke-empatnya, tidak memperhatikan tatapan memburu yang kini datang ke arahnya. "Kalo boleh tahu, nama Anda siapa?" dengan sedikit mendekatkan bibirnya pada telinga gadis disampingnya, laki-laki asing itu bertanya. "Nama?" beo Nasya disela-sela rasa mabuknya, "Agna." Tidak memberitahu nama panggilan aslinya adalah hal yang selalu Nasya lakukan jika ada seseorang yang mengajaknya berkenalan. Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi Nasya untuk memperkenalkan dirinya sebagai 'Agna'. "Salam kenal, saya Zizan." Hanya mampu merespon perkenalan itu dengan sebuah anggukan kepala, sudah tidak memiliki tenaga untuk menjawabnya. Melihat kondisi gadis berparas cantik itu sudah semakin mabuk, lelaki asing bernama Zizan itu nampak dengan tenangnya meletakkan gelas kecil berisi Whisky tepat dihadapan Nasya. "Masih kuat untuk One shot?" tanya cowok itu ketika Nasya meliriknya dengan mata sedikit terpejam. Merasa tertantang, jelas saja Nasya menganggukan kepalanya sebelum meraih gelas pemberian cowok asing itu. Terlihat menghabisinya dalam sekali teguk, berhasil mengembangkan senyum dari arah penghuni disampingnya. Entahlah, gelas ke-enam yang baru saja dirinya habiskan, berhasil merabunkan penglihatannya. Ia seperti akan jatuh ke lantai sekarang juga jika lelaki asing itu tidak segera menangkapnya. Terlihat lemas dalam rangkulan Zizan dengan mata yang sudah terkatup hampir sempurna. Sudah tidak bisa berkutik saat dirinya terasa dibopoh untuk beranjak dari keramaian. Hanya dapat mengikuti rangkulan itu dengan kepala yang sudah terasa sangat berat. Tidak mampu menyuarakan penolakan saat dirasa sebuah tangan mulai menyentuh bagian pinggangnya. Terlalu pusing dan lemas membuat Nasya hanya dapat menolak ajakan itu sebisanya. "Gue--" dengan napas tersenggal-senggal, gadis itu berusaha untuk menghentikan tarikan, "Gue mau balik." "Iya, ini kita mau pulang." meski samar, Nasya masih dapat mendengarnya dengan jelas. Namun sebisa mungkin, gadis itu menggeleng, "Sendiri aja." Jelas tidak membiarkan hal itu terjadi, lelaki asing itu nampak enggan melepaskan rangkulannya. "Saya antar." Karna merasa gagal menolak paksaan itu, hanya rintihan kecil yang menjadi tanda bahwa ia tidak menyukai ide ini. Sebisa mungkin berusaha untuk melepaskan rangkulan pada pinggangnya walau yang terlihat hanyalah Nasya yang kini nampak menggeliat lemah. "Lepasin." pinta gadis itu yang benar-benar merasa akan pingsan sebentar lagi. "Saya anter." "Lepas-" Belum sempat menyelesaikan kalimat penolakan itu, sebuah pukulan telak berhasil menjatuhkan sosok disampingnya. Menghadirkan tubuh terhuyung Nasya karna dirinya yang dibiarkan berdiri seorang diri tanpa adanya sanggahan dikala mabuknya. Hampir kembali terjatuh kalau saja seseorang tidak segera menangkapnya ke dalam pelukan. Dalam mata yang sudah memburam dan pikiran yang kacau, sosok berkacamata yang kini tengah berada satu jengkal dari posisi itu masih dapat Nasya tangkap dengan jelas. Sosok yang baru saja melayangkan pukulan atas laki-laki kurang ajar yang hampir membawanya pergi dari dalam club malam ini. "Hm?" dengan rasa pusing yang semakin kuat, gadis itu bergeming, berusaha untuk menjelaskan indra penglihatannya meski diakhir, semua itu tetap tidak berhasil. Karna sebelum mengetahui siapa sosok yang sudah menolongnya itu, pandangannya berubah menjadi hitam. Tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, karna Nasya sudah terlebih dahulu pergi ke dalam dunia mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN