3. THE SPECIAL ABILITY

2052 Kata
Erick masuk ke dalam rumah kecilnya dengan gontai seperti tidak ada semangat dalam dirinya. Ia sedang putus asa, kecewa, menyesalkan dirinya sendiri karena telah gagal menyelamatkan nyawa seseorang. Terhitung sudah tiga hari sejak penglihatan tragis itu, selama tiga hari ini juga Erick tak tidur dengan nyenyak, makan pun sulit untuk ditelan. Masih diingatnya dengan segar bagaimana tubuh wanita korban kecelakaan kereta terbagi menjadi tiga bagian, dan kepalanya yang putus tepat jatuh di bawah kakinya. “Aghh…” Erick melempar tas kuliahnya, lalu berjalan menuju toilet untuk mencuci wajahnya. Di toilet terdapat kaca, ia melihat pantulan dirinya sendiri. Tiba-tiba tangannya bergerak menyentuh bagian kelopak matanya sendiri, ia merasakan ada aura yang berbeda. “Mata ini, kenapa tiba-tiba menjadi hal supranatural?” gumamnya dengan diri sendiri. Erik menghela napas pelan, sepertinya ia butuh pergi ke psikiater untuk mengobati dirinya. Jam tangan menunjukkan pukul sebelas siang, ia harus bergegas menuju ke bengkel tempatnya bekerja. Erick mengganti pakaiannya, ia bergegas mengenakan seragam mekaniknya. Setelahnya pergi keluar dan mengunci pintu, lalu mengayuh sepedanya. Jalanan kota terlihat cukup lengang karena ini bukan jam pulang atau pergi bekerja, Erick menikmati perjalanannya dengan santai. Telinganya tersumpal sebuah airpods dan mengalun lagu-lagu eropa klasik, kepalanya refleks mengangguk seiring dengan lagu yang terputar. Tak butuh waktu lama untuk sampai di bengkel tempatnya bekerja, di sana sudah ada Liam yang menangani beberapa mobil. Liam merupakan pekerja tetap di bengkel ini, tidak seperti Erick yang merupakan pekerja paruh waktu karena dirinya disambi kuliah. “Rick,” sapa Liam. “Yaa…” Balas Erick sembari meletakkan tas selempangnya ke sebuah meja kecil. “Bagaimana kabarmu? Aku tidak melihatmu selama beberapa hari ke belakang.” Liam bertanya sambil menarik tuas yang dikerjakannya. Erick berjalan menuju bagian antrian mobil yang belum dibenahi, ia melihat ada sekitar dua mobil bertengger di sana. “Aku memiliki tugas-tugas kuliah yang perlu ku selesaikan,” ujarnya. Erick mulai mengambil peralatan bengkel, satu mobil memiliki kerusakan pada bagian spion yang pecah. Liam menganggukkan kepala pelan. Keduanya bekerja dalam diam, Erick fokus mengerjakan mobil itu, begitu juga dengan Liam. Satu jam berlalu Liam akhirnya menyelesaikan pekerjaan yang digarapnya, pria itu menghela napas lega karena akhirnya bisa beristirahat setelah menyelesaikan satu mobil ini. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku, Liam memilih untuk duduk di kursi sembari menyerutup air mineral. “Syukur lah hari ini tidak terlalu banyak pelanggan, aku merasa lelah dan pegal.” Sedikitnya Liam mengeluh, bagaimana tidak? Tiga hari ini ia mengerjakan semuanya sendiri karena Erick tidak berangkat kerja, badannya terasa remuk redam. “Aku senang untukmu,” balas Erick. Sebagai gantinya, kini Erick harus mengerjakan sisa mobil yang ada, sedangkan Liam akan beristirahat. “Ohh ya, kau mendengar berita kecelakaan kereta?” tanya Liam. Sontak saja Erick menghentikan kegiatannya, tubuhnya menegang. Tang yang ia pegang pun terlepas begitu saja, kepalanya berdenyut ketika mengulang ingatan mengerikan itu. Karena terhalang oleh mobil, Liam tidak tahu bagaimana ekspresi tegangnya Erick saat ini, pria itu masih terus membahasnya. “Aku tidak habis pikir kenapa wanita itu bisa terpeleset ke jalur kereta, bahkan tubuhnya terpotong menjadi tiga bagian.” Liam bergidik ngeri, tapi meskipun begitu ia masih terus mengoceh. “Mengenaskan sekali nasibnya, kasus ini sampai dimuat oleh berita nasional.” Erick memejamkan matanya dengan erat, ia mencoba untuk menetralkan suasana hatinya yang tengah bergemuruh. “Aku butuh kaca spion baru,” tukas Erick yang sengaja memotong perbincangan Liam. “Tinggal kau ambil saja di kardus belakang rak.” Liam membalas. Erick pun berdiri, ia mencari kaca spion baru yang sudah distok oleh bengkel. Sementara itu seorang lelaki baya datang, Liam buru-buru menyambutnya dengan ramah. “Apa mobilku sudah selesai?” tanya pria sekitar usia lima puluh tahun itu. “Sudah, Anda bisa mengeceknya.” Jawab Liam. Pria tua itu melihat mobilnya, ia selalu b**********n di bengkel ini. Meskipun tidak terlalu besar atau memiliki nama popular, akan tetapi bengkel ini memiliki kwalitas pelayanan yang baik. Franc, pria itu menatap puas hasil kerja Liam. “Aku selalu menyukai pekerjaanmu, Liam.” Pujinya. Liam terkekeh sambil mengucapkan terima kasih. Erick selesai mengambil stok kaca spion, saat ia hendak berbalik menuju mobilnya, tiba-tiba saja pandangan matanya bersitatap dengan Franc. Franc tersenyum menyapa Erick, tapi tidak dengan pemuda itu. lagi-lagi tubuh Erick menegang sempurna, degup jantungnya berirama dengan kencang. Pada pantulan mata Franc, Erick melihat kematian pria tua itu. Franc menatap Erick dengan heran, kenapa anak muda itu melotot padanya seolah-olah memusuhi dirinya? Liam melihat Franc dan Erick bergantian, lalu meringis pelan. Erick meletakkan kaca spionnya dengan asal lalu menghampiri pria tua itu, Erick harus memberitahunya. “Tuan Franc, sebaiknya Anda jangan pulang dulu ke rumah.” Erick mencoba memberi tahu Franc dengan halus, ia tak mau secara tiba-tiba memberitahu pria tua itu bahwa bahaya mengancam dirinya. Franc menaikkan sebelah alisnya bingung. “Ada apa?” Erick menatap Liam, rekannya juga bingung dengan dirinya. “Sebaiknya Anda melapor pada polisi, dan suruh mereka untuk menjaga rumah Anda selama beberapa waktu.” Lanjut Erick, yang justru semakin membuat mereka kebingungan. “Rick, ada apa?” kini giliran Liam yang bertanya. “Anak muda, sebenarnya apa yang terjadi?” Franc bertanya sekali lagi. Erick menghela napas panjang, mau tak mau ia harus menjelaskannya secara detail agar Franc mau mempercayai dirinya. “Ada penjahat yang ingin merampok rumahmu dan membunuhmu, Anda bisa tewas ditangan mereka.” Erick mengatakan hal itu dengan satu tarikan napas, ia tak yakin jika Franc akan mempercayai dirinya. “Hahaha…” Franc terkekeh mendengar ucapan Erick. Ia menepuk bahu Erick pelan. “Nak, sepertinya kau perlu waktu untuk tidur.” Benar saja dugaannya, Franc menganggapnya berhalusinasi. “Saya tidak becanda sama sekali.” Ekspresi tegas milik Erick otomatis membuat Franc merasa ikut tegang, apa anak muda didepannya ini benar-benar yakin dengan ucapannya? Liam turut mendengar ucapan keduanya, ia menyimak dengan baik. “Bagaimana kau tahu?” Franc setidaknya memiliki sedikit ketertarikan dengan penjelasan Erick, ia adalah seorang pensiunan guru di salah satu sekolah ternama, uang pensiunannya sangat banyak dan disimpan dalam brankas di rumah. “Dari mata Anda, saya melihat kapan dan bagaimana proses kematian Anda.” Tukas Erick dengan sungguh-sungguh. Franc menajamkan matanya, begitu juga dengan Liam yang agak meragu. “Rick, kau serius?” “Ya, aku tidak pernah sebecanda ini, Liam.” Liam melihat keseriusan di mata rekannya, ia yakin bahwa kali ini Erick bersungguh-sungguh. “Bagaimana bisa hal itu terjadi, dari mataku saja kau bisa melihat kematianku?” “Kemampuan istimewa ini baru saya dapatkan beberapa hari lalu, saya bisa melihat kematian seseorang hanya dengan bersitatap dengannya. Seperti halnya Anda, saya melihat akan ada perampokan di rumah dan Anda dibunuh oleh mereka malam ini.” Erick menjelaskannya cukup panjang, berharap agar dua orang dihadapannya ini memercayai dirinya. Franc menimbang keputusannya, ia tinggal sendirian di rumah, tidak ada pembantu ataupun security, jika terjadi hal-hal berbahaya pada dirinya maka tidak ada orang yang bisa menolong. “Baik, aku tidak akan pulang ke rumah. Meskipun aku meragukanmu, tapi kita lihat bagaimana nantinya.” Erick mengangguk kecil, tidak apa-apa jika dirinya diragukan, yang terpenting sudah berusaha menyelamatkan satu nyawa. --- Malam harinya, benar saja bahwa di rumah Franc ada tiga perampok yang masuk ke kediaman pensiunan itu. Mereka sudah memantau rumah ini dari jauh-jauh hari, Franc hanya lah tinggal sendirian, dan semua uangnya ia letakkan di brankas yang memiliki passwords. “Cepat temukan pria tua itu,” ujar perampok pertama. Salah satu dari mereka mencari-cari ke kamar Franc, tapi nihil. “Franc tidak ada di rumah, mobilnya juga tidak ada.” “Arghh. s****n! Ke mana tua bangka itu berada, kita membutuhkannya untuk membuka brankas ini.” Perampok itu tidak akan bisa membobol password brankas karena memiliki keamanan yang tinggi, serta brankas tersebut telah dibekali teknologi canggih yang bisa mendeteksi siapa yang tengah berusaha membobolnya jika sampai password yang dimasukkan salah. Perampok ke tiga datang, ia mengenakan penutup wajah dengan sempurna. “Franc pergi ke bengkel dan sampai sekarang belum kembali,” ujarnya pada sekawanannya. “s**l!” “Kita bawa saja brankas itu,” “Tidak bisa, brankas ini memiliki gps didalamnya, akan terdeteksi jika dibawa pergi. Kita hanya butuh Franc untuk mendapatkan passwordnya.” “Franc s****n, di mana kau berada?!” teriak perampok itu dengan frustrasi. --- Di kantor polisi, Erick bersama Franc sedang melaporkan kejadian ini. “Kau melaporkan hal ini hanya berdasarkan feeling?” Jasper, tim analisa di kepolisian bertanya dengan nada juteknya. “Ceritanya panjang, tolong percaya padaku karena ini menyangkut keselamatan warga kalian.” Tukas Erick menggebu-gebu. “Jika ceritanya panjang, ceritakan saja sekarang.” balas Jasper. Erick menghela napas kasar, Jasper tidak akan mempercayainya begitu saja karena polisi satu itu benar-benar menjengkelkan. “Ada apa ini?” seorang pria berusia empat puluh tahun datang, ia penasaran dengan keributan kecil di meja Jasper. “Ferdinan, anak muda ini melapor ada perampokan di rumah Tuan Franc, tapi dirinya hanya mengandalkan feeling.” Jelas Jasper pada Ferdinan—si kepala kepolisian. “Anda kepala polisi ‘kan? Saya mohon tangkap pelaku, mereka sedang berada di rumah Tuan Franc.” Tukas Erick dengan wajah memelas, Erick sedikit banyak membaca kisah tentang kepala kepolisian di kotanya ini. Ferdinan merupakan kepala polisi yang baik. “Baik, kita akan memeriksanya ke sana.” Tanpa berpikir lama lagi, Ferdinan langsung menyanggupi. Erick tersenyum lebar, begitu juga dengan Franc. “Ferdinan, apa yang kau lakukan?” Jasper bertanya pada Ferdinan, heran dengan keputusan pria itu. “Sudah seharusnya kita langsung bertindak ketika ada pelaporan, Jasper!” “Tapi, dia hanya—“ “Siapkan mobil dan anggota, kita pergi sekarang.” Ferdinan segera memotong ucapan Jasper, membuat pria itu merengut sebal. Tak membutuhkan waktu lama untuk Ferdinan bergerak cepat, di luar ia sudah menyiapkan mobil patrol untuk menangkap perampok. Erick masuk ke dalam mobil Franc, mereka bergegas menuju rumah pria tua itu. Sengaja polisi tidak membunyikan alarm mobilnya, mereka juga berhenti di jarak yang aman dari rumah Franc. “Gerbang rumahku terbuka, padahal aku selalu menutupnya ketika pergi keluar.” Tukas Franc, hal itu didengar oleh anggota kepolisian. Ferdinan memberi aba-aba pada anak buahnya, mereka menyiapkan s*****a api. Sebanyak empat anggota polisi berserta Ferdinan mulai menelisir ke dalam rumah Franc, sedangkan si empunya rumah beserta Erick menunggu di dalam mobil demi keamanan mereka. Ferdinan melihat bahwa pintu rumah Franc terbuka dan seperti dibobol paksa, instingnya langsung aktif seketika, benar ada yang mencurigakan di dalam rumah ini. “Kita masuk.” Mereka masuk ke rumah, berpencar untuk memeriksanya. Ferdinan mendapati suara bising dari salah satu ruangan, ia segera menempelkan tubuhnya ke dinding. Rupanya perampok itu sedang memperdebatkan sesuatu, Ferdinan memberi intruksi anak buahnya agar mendekat pada dirinya untuk mengepung perampok. “Jasper dan Lix, kalian berjaga di luar jendela kamar ini agar mereka tidak bisa melarikan diri.” “Baik.” Keduanya segera menjalankan perintah. “Josh, sekarang!” Josh mengangguk, mereka langsung menyergap perampok itu dan menodongkan s*****a. “DIAM DI SANA!” Ferdinan berteriak sembari menodongkan pistol. Tiga perampok di sana benar-benar terkejut oleh kedatangan para polisi, brankas yang dipegang pun jatuh begitu saja. Mereka berusaha melarikan diri melalui jendela. Namun, Ferdinan melepaskan satu tembakan dan mengenai salah satu kaki dari mereka. “Aghh, sial.” Teriaknya kesakitan. Dua perampok lainnya berhasil membuka jendela, tapi nasib mereka tidak mujur. Di sana sudah ada Lix dan Jasper yang juga tengah menodongkan senjatanya, Jasper tersenyum mengejek. “Mau ke mana kalian?” “Angkat tangan, menyerah lah!” Seru Lix. Mau tak mau mereka pun menyerah, tidak mau bernasib sama seperti kawan mereka yang tertembak tadi. Mendengar suara tembakan sontak saja membuat Erick dan Franc cemas, tapi kecemasan itu terpatahkan ketika melihat Ferdinan yang teman-temannya berhasil meringkus perampok. Franc segera keluar dari mobilnya, ia terbelalak kaget. Jadi, rumahnya benar-benar kerampokan dan Erick menyelamatkan dirinya. Perampok itu terborgol, lalu dimasukkan ke mobil tahanan. Ferdinan mendekati Franc dan Erick. “Terima kasih atas laporanmu, Erick, kau membantu kami memberantas kejahatan.” Erick lega seketika, akhirnya kemampuannya bisa berguna. “Sama-sama, aku senang bisa menyelamatkan seseorang.” “Kalian ikut lah dengan kami, kesaksian kalian sangat dibutuhkan untuk memberatkan pelaku.” “Baik, kami akan ikut.” Ferdinan pamit kembali ke mobilnya. Franc menatap Erick dengan penuh kekaguman, ia berhutang nyawa pada anak muda ini. “Erick, aku sangat berterima kasih padamu.” “Sama-sama, saya senang bisa membantumu, Tuan Franc.” Erick sangat bersyukur karena kali ini ia berhasil memanfaatkan kemampuan sebaik-baiknya. “Kita pergi ke kantor polisi,” “Baik, mari.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN