"Turunin saya di sini aja, Pak!" pinta Olive saat mobil yang dikendarai Alvin melewati sebuah halte bus. "Saya mau naik angkutan umum aja."
"Kenapa kamu pikir saya mau nurutin permintaan kamu?" tanya Alvin sambil melirik sekilas Olive melalui kaca spion. Ia terus melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya, tidak memperlambat apalagi berhenti meskipun mereka sudah melewati halte yang dimaksud Olive.
"Lho, Pak, kok, terus jalan, sih?" tanya Olive panik. Matanya menatap halte yang semakin jauh tertinggal di belakang. Bahkan ketika halte sudah semakin jauh di belakang, dia memutar tubuh agar dapat masih melihatnya. "Kita udah kelewat, Pak!"
"Emang udah kelewat," sahut Alvin cuek. "Terus?" tanyanya tanpa menatap. Ia memperhatikan jalan raya yang mulai padat.
"Kok, terus, sih?" Olive mengerucutkan bibirnya. Tatapan kesalnya tertuju pada pria yang dia yakin sengaja. "Bapak sengaja, 'kan?" tudingnya sengit.
"Kalo saya sengaja, terus kenapa?" Alvin balas bertanya. "Ini mobil saya, jadi terserah saya lah!"
Olive membuang muka, muak melihat wajah Alvin yang sedatar tripleks.
"Lagian, kamu pacar saya, jadi udah kewajiban saya nganterin kamu sampe rumah."
Dengan cepat Olive memutar lehernya, menatap Alvin dengan mata melebar. Ini kedua kalinya Alvin mengatakan itu, menyebutnya sebagai pacarnya. Astaga, apakah artinya pria dingin ini tidak bercanda?
"Apa?" Alvin menatap Olive sekilas. Di depan mereka, kendaraan sedang banyak-banyaknya melintas, ia tidak bisa mengalihkan pandangan. "Kamu dilarang protes, dilarang nolak, harus mau jadi pacar saya!"
Kalimat itu penuh penekanan. Alvin bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Olive sudah mencuri hatinya sejak mereka bertemu pertama kali. Ia tidak bisa melupakan wajah cantik gadis yang sudah menabraknya.
"Bapak stop bercandanya, ya! Nggak lucu pake banget!" Olive mendelik, kesabarannya sudah mencapai batas. "Bapak mau saya laporin ke polisi dengan tuduhan penculikan?" ancamnya.
Alvin mengabaikan. Ancaman Olive hanya dianggapnya sebagai angin lalu. Meskipun belum mengetahui diri Olive dan latar belakang keluarganya, ia yakin masih dapat mengatasi meskipun gadis yang masih duduk di sampingnya dengan manis ini melaksanakan ancamannya. Wajah mengancam Olive juga tidak membuatnya takut. Daripada seperti itu, ia lebih ingin tertawa. Sumpah demi kucing Siamnya di rumah, wajah itu sangat menggemaskan. Seandainya tidak akan membuatnya menjadi bukan dirinya, sudah dilumatnya bibir yang mengerucut itu.
Baiklah, Alvin mengakui jika dirinya bukanlah pria baik-baik. Bukan berarti ia seorang pelaku tindakan kriminal. Ia hanya suka berganti wanita untuk menghangatkan ranjangnya. Tidak setiap malam, hanya saat ia tidak bisa menahan libidonya saja. Namun, ia tidak pernah melakukannya sebanyak dua kali dengan wanita yang sama. Cukup satu kali dan hubungan mereka berakhir. Lagipula, ia tidak pernah mencintai mereka. Hubungan mereka hanya saling memuaskan saja yang hanya terjadi satu kali.
Berbeda dengan apa yang dirasakannya pada Olive. Alvin sudah mencari tahu arti rasa yang membuatnya selalu teringat pada gadis berambut sepunggung itu. Beberapa hari ini ia menyelidikinya, dan ia menemukannya saat kedua orang tuanya membicarakan ulang tahun pernikahan mereka.
Dari cerita konyol masa muda mereka, ia menyimpulkan jika rasa sakit yang membuatnya selalu ingin bertemu adalah rasa rindu. Lalu, rasa lainnya yang lebih asing, yang membuatnya terkadang seperti orang gila, dan membuatnya seperti bukan dirinya adalah cinta.
Rasanya memang sangat menggelikan karena untuk seorang dewasa sepertinya baru saja merasakan yang namanya jatuh cinta di usia dua puluh enam tahun. Astaga! Ke mana saja ia selama ini? Alvin mengerang dalam hati, menyesali dirinya yang baru saja mengenal rasa itu di saat ada beberapa temannya yang bahkan sudah memiliki anak.
"Nggak ada yang bakalan percaya kalo saja nyulik kamu, Olivia!" Alvin memutar bola mata. "Kamera cctv di depan pet shop aja ngerekam kalo kamu masuk sendiri ke mobil saya tanpa paksaan."
Mata bulat Olive makin melebar. Bagaimana mungkin dia melupakan hal penting seperti itu? Di depan toko ada dua buah kamera cctv yang merekam segala kegiatan di luar toko. Olive cemberut, bibir mungilnya mengerucut. Dia memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang memanas.
Dia memang masuk dengan suka rela ke dalam mobil pria kutub ini, tak ada seorang pun yang memaksa. Hal itu dikarenakan motornya yang mogok, dan dia tidak bisa menghubungi bengkel karena memang tidak mengetahui nomor telepon bengkel tempat dia biasa menyervis motornya. Olive memang seorang yang ceroboh, selain pelupa juga.
Alvin tersenyum penuh kemenangan, di dalam hati. Ada sebuah orkestra yang tengah mengadakan pertunjukan musik di dalam hatinya. Namun, meskipun demikian bahagia, sedapat mungkin ia menyembunyikannya. Wajah tampannya tetap saja datar seolah tak terjadi apa-apa, seolah di dalam hatinya tidak sedang mengadakan pesta.
Mobil berbelok dan berhenti di tempat parkir sebuah restoran mewah. Olive masih belum menyadari keadaan, bahkan setelah Alvin selesai memarkirkan mobilnya. Dia baru sadar setelah mendengar suara pintu mobil dibuka. Dengan cepat Olive memutar lehernya, menatap Alvin yang separuh tubuhnya sudah berada di luar mobil.
"Kita makan malam dulu," ucap Alvin memberi tahu, melihat kebingungan di mata Olive. "Saya lapar, dan kamu harus temani saya makan."
Olive berdecak. Wajah cantiknya semakin menekuk.
"Sebagai pacar yang baik, kamu harus menemani saya." Alvin meneruskan dengan cepat, tak ingin Olive berbicara dan membantahnya. Gadis cantik yang menggemaskan ini sangat suka membantahnya. "Saya juga nggak akan membiarkan kamu kelaparan."
"Nggak mau makan! Nggak laper!" Olive memalingkan muka, melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Masa?" Alvin mengurungkan niat untuk keluar, ia kembali duduk di belakang kemudi. "Makanan di sini enak-enak, lho."
Jujur saja, sebenarnya Olive memang lapar, dia belum sempat makan siang di kampus tadi. Jadwalnya sangat padat. Dia juga lupa untuk membawa bekal, sehingga melewatkan makan siang. Namun, dia gengsi mengakuinya di depan pria menyebalkan ini. Lagipula, dia ingin makan masakan Tante Sophia, bukan makanan yang lain.
"Beneran nggak mau makan?" tanya Alvin lagi. Ia masih berusaha untuk membujuk. Meskipun tidak tahu bagaimana cara untuk merayu seorang perempuan karena tidak pernah melakukannya sebelumnya. Ia hanya menggunakan insting.
Olive masih tidak mau menjawab. Tatapannya masih ke arah jendela mobil yang kacanya tertutup. Kelap-kelip dari lampu yang menggantikan sinar matahari untuk menerangi, terlihat jauh lebih menarik daripada wajah tampan Alvin yang justru terlihat sangat menyebalkan.
"Ya, udah. Kalo gitu motor kamu nggak bakalan saya balikin." Suara Alvin terdengar pasrah. Ia putus asa karena tidak menemukan cara untuk membujuk Olive agar mau makan malam bersamanya. Satu-satunya cara yang terpikirkannya adalah dengan cara mengancamnya.
Dengan cepat Olive menatap pria itu. "Kok, gitu?" tanyanya memprotes. Dia tidak terima jika motor satu-satunya tidak dikembalikan. "Saya beneran bakalan laporin bapak ke polisi kaki nggak ngebalikin motor saya!" ancamnya dengan mata mulai berkaca-kaca. Motor itu adalah satu-satunya miliknya yang berharga. Dia tidak ingin mengecewakan tantenya.
"Bakalan saya balikin kalo kamu mau nemenin saya makan malam."
Ingin rasanya Olive mencakar wajah tampan yang kembali datar dan dingin itu. Alvin sudah kembali pada mode tak ingat dibantah. Jujur saja, Olive masih takut jika Alvin sudah dalam mode seperti itu.
"Ayo!" Alvin melebarkan pintu mobilnya dan keluar. Ia berdiri dalam jarak satu kaki dari mobilnya, menunggu Olive yang masih berada di dalam mobilnya.
Dengan sangat amat terpaksa, Olive menurutinya. Dia keluar mobil dengan malas, menghampiri Alvin, dan berdiri tepat di depannya. Jika motornya tidak dijadikan sebagai sandera, tak akan dia mau menurutinya.