Mata cokelat Olive mengerjap beberapa kali. Dia mencubit lengannya yang disembunyikan di belakang tubuh, juga menggigit pipi dalamnya, untuk memastikan jika ini bukanlah mimpi. Seorang pria yang kata Kak Nina tak ubahnya seperti bongkahan salju di kutub Utara, sekarang malah menyapanya. Jika ini mimpi, dia tak ingin dibangunkan. Kejadian langka ini seharusnya disimpan di dalam memori ingatannya. Seandainya saja bisa, dia ingin mengabadikannya dalam sebuah foto. Sayangnya, itu pasti tidak mungkin karena pria es di depannya ini sepertinya bukanlah orang yang suka difoto.
"Motor kamu mogok?" Alvin bertanya sekali lagi, memastikan keadaan gadis di depannya. Gadis yang dalam dua kali pertemuan mereka selalu mengikat rambutnya dengan gaya pony tail, seolah sengaja memperlihatkan lehernya yang jenjang.
Sejak tabrakan tubuh mereka beberapa hari yang lalu, ia tidak bisa berhenti memikirkan gadis ini. Ekspresi wajahnya yang lucu selalu terbayang, membuat kedua sudut bibirnya yang biasanya datar menjadi terangkat. Meskipun hanya sedikit, itu pun sudah merupakan sebuah kemajuan yang sangat signifikan bagi seorang Alvin Adelard Bastian yang tidak pernah tersenyum. Dua hari ia tidak mengunjungi toko ini karena kesibukan yang tidak dapat ditinggalkan. Selama itu ia mencoba mencari tahu semua tentang gadis bermata bulat di depannya, yang tengah menatapnya dengan mata mengerjap. Ekspresinya tak hanya lucu, tapi juga menggemakan.
"Nggak mogok, Pak, cuman nggak bisa dihidupkan?" Olive meringis. Ayolah, mogok dan tidak bisa dihidupkan adalah kata yang memiliki dua arti yang berbeda. Mogok, itu artinya kendaraan yang sedang mereka kendarai tiba-tiba berhenti dengan sendirinya, dan tanpa alasan yang jelas. Tidak bisa dihidupkan, adalah kondisi di mana kendaraan belum dijalankan, dan tidak bisa dinyalakan mesinnya.. Memang sangat sulit dijelaskan, tapi setiap orang harus tahu apa arti dua hal itu.
Tentu saja Olive tidak mengatakannya. Deretan kata itu hanya tersusun di dalam hatinya saja, penjelasannya tadi hanya akan disimpan di dalam kepalanya saja.
"Apa bedanya?" tanya Alvin dengan sebelah alis terangkat. Mulutnya berdecak, tatapan lurus pada mata cokelat gadis itu.
"Bedanya?" Olive balas bertanya. Dua mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. "Bedanya ada, tapi terlalu panjang buat saya jelasin."
Sekali lagi Alvin berdecak Menurutnya gadis ini hanya mengulur waktu saja. "Kalo motor kamu mogok, saya bersedia ngasih kamu tumpangan. Sopir saya bakalan nganterin kamu sampai rumah," katanya.
Tawaran yang sangat menggiurkan. Hanya saja dia tidak boleh menunjukkan ketertarikannya secepat ini. Dia harus mengulur sedikit waktu untuk melihat apakah pria ini benar-benar ingin menolongnya atau hanya bercanda saja. Kebiasaan orang kaya aneh-aneh, 'kan? Bisa saja Tuan Kutub ini hanya ingin mempermainkannya saja.
"Terus, motor aku gimana, Pak?" tanya Olive memiringkan kepala. "Masa ditinggal di sini? Ini toko jualan hewan peliharaan, lho, Pak, bukan jasa penitipan kendaraan."
Alvin menaikkan sebelah alisnya menatap gadis di depannya yang menatapnya dengan cara yang menggemaskan. Ia memalingkan muka, tak ingin terus terpesona. Sungguh, perasaan ini baru sekali dirasakannya, ingin mengenal lebih dekat dengan seorang makhluk yang sejak dulu selalu disebutnya sebagai yang paling berisik.
"Berarti kamu nggak mau?" Alvin bertanya sekedar untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak semakin jatuh pada pesona seorang gadis yang bahkan ia belum mengenal namanya. "Ya, udah, saya juga nggak maksa!"
Alvin memutar tubuh seratus delapan puluh derajat. Olive yang melihatnya mencebikkan bibir. Benar, bukan, apa yang dipikirkannya jika Tuan Kutub ini tidak serius? Untung saja dia tidak langsung mengiyakan, jika tidak mau ditaruh di mana wajah cantiknya ini nanti.
Olive juga berbalik, menatap kendaraan roda duanya dengan tatapan memelas. Bagaimana dia bisa pulang jika motornya tidak bisa dinyalakan? Tak mungkin dia menumpang pulang dengan Kak Nina karena Kak Nina juga dijemput kekasihnya. Olive mengembuskan napas kasar melalui mulut, berjongkok, menopang dagunya dengan kedua tangan. Tatapannya lurus ke arah kendaraan kesayangan.
Motor ini dibelikan Om Arnold dan Tante Phia karena dia berhasil menjadi juara saat kelulusan SMA, setahun yang lalu. Dia tak ingin kenapa-kenapa dengan motornya karena hanya ini kendaraan satu-satunya yang dia miliki. Tak ingin juga rusak karena ini pemberian paling mahal dan berharga dari Tante Phia, dia tak ingin tantenya kecewa karena dia tak dapat merawat hadiah yang diberikannya.
Suara klakson yang terdengar dekat dari arah belakangnya membuat Olive memutar leher sembilan puluh derajat untuk melihat siapa yang lewat. Ternyata mobil milik Tuan Kutub, Cepat Olive memalingkan muka, tak ingat n menatap wajah tampan itu lebih lama. Dia tak ingin tergoda yang hanya akan membuat pria itu semakin besar kepala. Namun, tak disangka Olive ternyata Alvin tak hanya menurunkan kaca jendela mobilnya saja, tetapi pria itu keluar dari mobil dan ikut berjongkok di sampingnya.
Berapa lama pun kamu pandangin, motor kamu nggak akan bisa nyala sendiri kecuali kamu bawa ke bengkel."
Olive mendelik tajam. Kenapa.proanini masih di sini dan justru berjongkok di sampingnya? Olive cepat berdiri sambil mengentakkan kaki. Bibir mungilnya mengerucut dengan pipi menggembung. "Terserah aku, ya, Pak, 'kan, ini motor aku! Bapak ngapain masih di sini? Pulang sana!" Dengan berani Olive mendorong lengan Alvin yang juga sudah berdiri di depannya. Meskipun tubuh itu tak bergerak dari tempatnya, dia tetap melakukannya.
Alvin menaikkan sebelah alisnya. Ia ingin tertawa, tapi ditahannya mati-matian karena itu sangat bukan Alvin Adelard Bastian sekali. Seorang Alvin todak pernah tersenyum apalagi tertawa. Namun, gadis ini membuatnya menjadi seperti orang lain saja. "Ngapain kamu larang-larang saya di sini?" tanyanya menahan senyum geli. "Emangnya kamu yang punya toko? Bukan, 'kan? Jadi, kamu nggak berhak ngelarang saya mau di sini sampai kapan juga!"
Olive mengentakkan kaki. "Saya emang bukan pemilik toko ini, tapi Bapak ngapain dekat-dekat saya?" tanyanya dengan bibir mengerucut.
"Emangnya ada gitu larangan buat dekat-dekat kamu?" balas Alvin tak mau kalah. Sungguh, ini adalah waktu terpanjang ia berbicara dengan seseorang, kalimat terpanjang yang pernah ia lontarkan, tapi ia menyukainya. Sensasinya terasa berbeda saat berinteraksi dengan gadis ini. "Saya nggak liat ada papan atau spanduk yang ngelrang saya buat dekat sama kamu."
Eh, apa katanya? Deket sama kamu?
Olive mendengkus, dalam hati memaki dirinya sendiri yang bisa-bisanya terpengaruh dengan perkataan pedas pria menyebalkan ini. "Emang nggak ada!" ketusnya," Tapi ngapain juga Anda dekat saya, Pak Alvin Yang Terhormat." Olive menekan empat kata terakhir di kalimatnya. Kedua tangan di pinggang, mendongak, menatap Alvin dengan sebelah alis terangkat.
"Kamu tau nama saya?" tanya Alvin dengan kening berkerut. Mati-matian berusaha menyembunyikan senyum yang sangat ingin terbit di wajahnya. "Kamu nyari tau tentang saya?"
"Isshh, ngapain?" Olive menggeliat. "Nggak ada gunanya juga." Dia kembali membuang muka, mengalihkan tatapan dari Alvin yang menatapnya dengan mata memicing, penuh selidik.
"Lalu kamu tau nama saya dari mana?" tanya Alvin mendesak. Ia sangat penasaran kenap gadis ini bisa tahu namanya, sedangkan dirinya tidak tahu namanya. Sangat tidak adil, bukan?
Olive memutar bola mata jengah. Seorang Alvin Adelard Bastian yang katanya dinginnya mengalahkan kutub Utara ternyata aslinya sangat cerewet, seperti nenek-nenek saja. "Saya tau nama Bapak karena Kak Nina yang ngasih tau, bukan saya yang nyari tau!" Bibirnya meruncing saat mengatakan itu.
"Yang bener?" tanya Alvin setengah tak percaya. Selama ini, banyak kaum hawa yang mengejarnya sehingga ia tidak penasaran lagi dari mana mereka mengetahui namanya. Namun sekarang kasusnya berbeda. Entah kenapa ia sangat ingin mendengar gadis ini menjawab jika dia memang mencari tahu sendiri karena tertarik padanya.
Olive berdecak. "Ngapain saya nyari tau soal Bapak? Kenal aja nggak!" Dia melipat tangan di depan d**a.
"Ya, kali aja, 'kan?"
"Bapak nggak usah kepedean, ya!" potong Olive cepat. "Cowok persis kulkas berjalan modelan Bapak bukan tipe saya!" ketusnya dengan dagu terangkat angkuh.
Sebelah alis tebal Alvin terangkat mendengarnya. Egonya merasa telah direndahkan, tapi hatinya merasa tertantang dengan perkataan itu. "Yang bener kamu nggak tertarik sama saya?" tanyanya dengan kepercayaan diri tingkat tinggi. "Ntar kamu nyesel, lho, udah nolak saya."
Mata bulat Olive mendelik tajam. "Nolak Bapak, kapan?" tanyanya dengan sepasang alis berkerut. "Bapak nggak ada nembak saya, tuh! Yang ada malah gangguin aja dari tadi!"
Senyum miring menghiasi bibir sexy Alvin. "Kalo saya nembak kamu, emang kamu mau nerima?" tanyanya dengan nada intimidasi.
Olive melebarkan mata, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tangannya terangkat mengusap tengkuk, menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dadanya berdebar dengan denyut jantung dua kali lebih cepat. Napasnya juga tiba-tiba terasa sesak, seolah udara di sekitarnya menipis. Perutnya mual, rasanya diaduk dari dalam. Mungkin asam lambungnya naik, padahal dia tidak memiliki riwayat sakit lambung.
Alvin tersenyum menang dalam hati melihatnya. Jika biasanya ia akan jijik melihat perempuan salah tingkah di depannya seperti ini, tapi sekarang tidak demikian. Rasanya sangat menyenangkan membuatnya berdebar, dan ia menikmatinya. Tanpa menunggu Olive menjawab lagi, Alvin langsung menarik tangannya, membawanya masuk ke dalam mobil, duduk di bangku penumpang.
Tentu saja Olive kelabakan. Dia berniat untuk membuka pintu mobil, tapi Alvin lebih cepat menguncinya. Pria itu juga memasangkan sabuk pengaman di tubuhnya. Jarak mereka yang sangat dekat membuatnya harus menahan napas selama beberapa detik padahal Alvin sangat wangi, aromanya khas aroma pria dewasa.
"Bapak ngapain, sih? Mau nyulik saya, ya?" tanya Olive panik. Apalagi dilihatnya sopir yang tadi berada di belakang kemudi sudah tak ada lagi Posisinya digantikan oleh Alvin yang kini menatapnya dengan tatapan dingin. Tanpa sadar Olive menggigil melihatnya. Ditambah aura intimidasi yang menguar dari tubuh Alvin membuat nyalinya semakin menciut. Dia tak lagi berani bersuara meskipun sopir Alvin mendekati motornya.
"Ngapain saya nyulik kamu? Nggak ada gunanya!" Alvin menjawab pertanyaan olive dengan menirukan kalimat yang tadi diucapkan gadis itu padanya. Ia tersenyum puas melihat olive cemberut dengan bibir yang mengerucut.
"Terus Bapak ngapain ngurung saya di dalam mobil Bapak?" tanya Olive lirih. Dia tak lagi berani bersikap ketus dan berbicara dengan nada yang tinggi. Posisinya saat ini tidak menguntungkan, dia berada di dalam mobil bersama seorang pria yang sangat menyebalkan. Meskipun mobil ini lebih mewah dan mahal dari mobil Om Arnold, tetap saja dia merasa terancam.
"Yang ngurung kamu siapa?" Alvin balas bertanya. Ia mulai menyalakan mesin mobil. Tangannya mendorong tuas, kaki menginjak pedal gas, membawa mobil menjauh dari pelataran parkir toko hewan peliharaan. "Saya cuman mau nganterin kamu pulang."
Olive tidak menanggapi, Dia menoleh ke belakang, memekik panik melihat motonya yang dibawa oleh sopir Alvin. Salahnya kenapa tadi tidak melepas kunci kontak motor setalah beberapa kali mencoba menyalakan. "Itu motor saya mau diapain, Pak?" tanyanya panik. Suaranya serak, dia hampir menangis. Jika motornya raib, apa yang harus dikatakannya pada pada Tante Phia dan Om Arnold? Mereka pasti akan memarahinya karena tidak bisa menjaga hadiah dari mereka.
Alvin berdecak, memutar bola matanya melihat kehebohan Olive yang sangat takut terjadi apa-apa pada motornya. "Kamu bisa diam nggak, sih?" tanyanya dengan nada suara naik satu oktaf. "Berisik banget!"
Olive menatap Alvin cepat mendengar pria itu membentaknya. Keberaniannya kembali, persetan dengan apa yang terjadi padanya yang penting motornya selamat. "Heh Bapak Alvin Yang Terhormat. Saya berisik juga karena Anda yang dengan tanpa alsan menyeret saya ke dalam mobil Anda. Terus juga itu sipir Anda, mau bawa ke mana motor saya?" tanyanya setengah berteriak. Dia kembali panik karena mobil sidah bergerak semakin jauh meninggalkan toko hewan peliharaan. Motornya tak lagi terlihat.
Alvin menarik napas dalam, mengembuskannya pelan melewati rongga hidung. "Dengar, ya, Nona Berisik yang saya nggak tau namanya. Saya itu cuman mau nganterin kamu pulang. Kamu nggak denger, ya, saya tadi bilang kayak gitu?" tanyanya tanpa menatap. Ia fokus pada jalanan di depannya. Mereka sudah memasuki jalan raya yang mulai padat. Matahari yang baru saja tenggelam membuat penerangan digantikan oleh lampu. "Untung saya suka sama kamu makanya saya teka nahan keberisikan kamu." Kalimat terakhir itu tentu saja diucapkan Alvin dengan berbisik. Bisa gawat jika gadis bar-bar ini mendengarnya.
Olive melongo. Mulutnya terbuka dengan tidak elitnya. Kapan Alvin mengatakan seperti itu? Dia tidak mendengarnya.
Olive menggelengkan kepalanya. "Kapan Bapak ngomong kayak gitu?" tanyanya dengan bibir mengerucut. "Kok, saya nggak dengar?"
Alvin memutar bola mata. "Kamu sibuk teriak makanya nggak dengar!" jawabnya asal. "Itu motor kamu lagi dibawa ke bengkel sama sopir saya. Kamu nggak perlu takut motor kamu hilang."
Mata bulat Olive mengerjap beberapa kali. Benarkah seperti itu? Jika memang benar berarti Alvin tidak seburuk yang dia kira. "Kenapa Bapak baik sama saya?" tanyanya lirih. Sepasang alisnya bertaut, dia penasaran.
Sekali lagi Alvin berdecak. "Kenapa kmu masih nanya?" tanyanya melirik gadis di sampingnya sekilas. "Kamu, 'kan, pacar saya makanya saya anterin kamu pulang. Masa itu aja kamu nggak tau?"
"Hah?"
Seandainya rahangnya bisa terlepas, pasti sudah akan terjatuh. Apa maksud Alvin berkata seperti itu? Sejak kapan mereka pacaran? Seingatnya Alvin tidak pernah mengatakan apa pun padanya, langsung membawanya masuk ke dalam mobil tanpa berbicara apa-apa.