Kepala Suci

1962 Kata
“Gimana keadaannya?” “Bagian kulit kepala luar ada yang terluka, tapi tidak berbahaya dan akan segera sadar secepatnya.” “Oke.” “Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan muda?” “Iya, jangan beritahu siapapun kalau saya datang ke Rumah Sakit.” Karena ini adalah Rumah Sakit milik keluarga Bratadiama. “Oke?” “Baik, Tuan. Saya permisi dulu.” Jarvis menyilangkan tangannya didada. Dia sudah selesai membersihkan darah di tangannya, dan pakaiannya masih kotor. Sampai sang dokter kembali masuk menemui Jarvis. “Tuan Muda, ini pakaian baru dan bersih yang saya punya. Silahkan ganti pakaian anda.” Jarvis hanya meliriknya sekilas. “Terima kasih.” Kenyataannya, dia enggan memakainya karena itu bukan pakaian bermerk. Dari tampilannya saja, Jarvis sudah tahu itu adalah kaos biasa. Namun ada yang membuat Jarvis aneh, kenapa dirinya tidak merasa gatal setelah menggendong Meida. Dia juga alergi pada perempuan, dekat dengan mereka membuatnya sesak. “Atau mungkin ini karena lagi urgent aja ya?” gumam Jarvis bertanya-tanya. Karena penasaran, dia mendekat pada Meida yang masih tidak sadarkan diri. “Kamu…. dulunya gak miskin-miskin amat kan?” tanya Jarvis dengan wajah datarnya. Telunjuknya menekan hidung Meida. “Ini pasti pake cream abal-abal ‘kan? tapi belum ada reaksi,” gumamnya bingung. “Oke.” Jarvis akan mengambil resiko dengan memegang pakaian Meida dengan menekan kedua telapak tangannya. Namun reaksinya adalah…. “Pak! apa yang bapak lakukan?!” teriak Aldi datang dan menarik tangan Jarvis. Langsung merah-merah. “Itu pakaian murahan.” “Ck! Mana baju saya?” “Ini, Pak.” Jarvis segera mengambilnya dan berganti di kamar mandi. Aldi menghela napasnya dalam, kenapa Jarvis sampai senekad itu? “Bapak pulang lebih dulu. saya sudah menyiapkan supir di bawah, biar saya menyuruh orang menjaga anak ini.” “Saya mau makan masakan india besok. Dan dia harus udah ada di apartemen.” “Iya, Pak. saya usahakan.” Gatal-gatal Jarvis sudah membaik. Reaksinya memang hanya sebentar jika ditangani dengan cepat. Tapi Jarvis sensitive sekali, dia bahkan menaiki lift khusus petinggi. “Apa?” tanya Jarvis. “Eh tidak, saya kaget kirain orang lain. Ternyata Bratadiama. Salam kenal, Pak. saya kepala Lab yang baru.” “Salam kenal. Kalau mau menjilat, jangan ke saya, tapi ke adik saya. Saya gak ada niatan ngurusin Rumah Sakit,” ucapnya pulang kembali ke apartemen. Sungguh hari yang melelahkan untuk Jarvis. Untungnya saat dia pulang ke apartemen, Jarvis sudah melihat semua kekacauan beres. Dia menidurkan dirinya di atas ranjang, sambil memikirkan perempuan yang dia tiduri malam itu. Ada kecurigaan kalau itu dari perusahaan lain karena gedung itu bukan hanya milik perusahaan tempat kerja Wendy saja. Jarvis sudah menghapus kecurigaannya pada Wendy, pasti bukan perempuan itu karena dia tidak terlihat mencurigakan. “Siapa ya?” gumamnya pusing sendiri. Karena reaksi aneh yang diterimanya, makannya Jarvis menginginkan perempuan ini. “Karena gue gak gatal-gatal abis malem itu. Pasti dia dapetin perawatan yang bagus.” Spekulasinya dan sang ajudan seperti itu. Makannya, mereka memfokuskan mencari sosok muda, kaya dan juga bertubuh bagus. Tapi di gedung perusahaan itu…. tidak mencapai rata-rata orang kaya. Jarvis jadi bingung, bagaimana kalau itu ternyata orang asing yang lewat? Jarvis pusing sampai dia terlelap dengan sendirinya. Setidaknya ada yang membuat Jarvis senang, yaitu masakan buatan Meida yang cukup enak. Untungnya, Meida juga sudah bangun. Seorang pelayan menemaninya. “Saya pelayan dari rumah singgah Kakek Buyutnya Tuan Jarvis, saya diminta ajudannya nemenin mbak. Mari saya antar ke bawah, supirnya udah nunggu.” Meida jadi canggung. Astaga, sekaya apa Jarvis ini? “Makasih ya, Bu.” “Ini roti yang saya buat, jangan lupa dimakan ya. Dan… terima kasih sudah hadir di kehidupan Tuan Jarvis,” ucapnya sambil berkaca-kaca. “Tapi… tapi saya pelayannya, Bu. Bukan kekasihnya.” Mana mau Meida dengan orang aneh seperti Jarvis. “Hehehehe, saya dengar kalau Mbak dibawa Tuan kesini dengan tangannya sendiri. Jadi saya yakin kalian ada apa-apa. Biasanya Tuan liat kucing sekarat aja milih hubungi dokter daripada dia sendiri yang gendong.” Dengan pernyataan itu, Meida hanya tertawa hambar. Dia menaiki mobil Civic dimana sang supir sudah menunggu. Dia serasa menjadi Nyonya sekarang. “Makasih, Bu.” Bahkan di dalam mobilnya pun terasa sangat bau antiseptic. “Mba? Kerja di gedung yang dekat pertigaan itu kan?” “Iya, Pak. kenapa?” “Barangkali tahu perempuan muda, cantik sama kaya yang kerja disana? Pak Jarvis sedang nyari orang yang bersamanya waktu itu.” “Oh… gak kenal.” Kemudian Meida bergumam, “Lagian gue gak kaya.” *** Meskipun Meida kesal pada Jarvis, tapi dia berterima kasih juga karena pria itu sudah peduli. Namun, Meida tetap merasa kalau Jarvis ini aneh. Setidak mau itu dia menyentuh barang yang tidak bermerk? Demi sang majikan, Meida membuat kari ayam ala india sekarang. Kepalanya sudah diperban, dan hari ini Meida tidak akan masuk ke kantor. Setiap teman kantor bertanya, Meida akan mengatakan kalau dirinya memiliki pekerjaan khusus dari Jarvis sebagai mahasiswa beasiswa. “Selamat pagi, Pak. saya sudah siapkan makanan yang bapak inginkan. Makanan India.” Jarvis tidak terlihat kagum sama sekali, dia mencicipinya kemudian mengangguk. “Kamu pantes buka warteg.” “Jangan warteg atuh, Pak. restaurant kek, muka saya warteg amat emang?” “Biar orang miskin bisa rasain makanan enak buatan kamu.” “Saya gak paham itu pujian atau apa, tapi terima kasih.” “Buat semalem juga?” tanya Jarvis. “Iya, terima kasih untuk semalam, Pak.” “Tapi semalam kamu hampir buat saya sekarat. Baju kamu itu….. sangat gak bermerk.” Meida yang sedang mengupas buah itu sampai terdiam. “Bukan salah saya lahir miskin, Pak.” “Tapi salah kamu gak mau berusaha keluar dari kemiskinan.” Jarvis memberi isyarat pada Meida untuk membuka pintu saat bel berbunyi. Mata Meida membulat ketika melihat sang pelayan membawakan puluhan Papperbag. “Pak? Bapak habis belanja?” “Bawa ke sini semuanya.” Dengan Jarvis yang makan, Meida menyimpan semua papperbag di bawah kaki Jarvis supaya mudah. “Buka.” “Ini semua pakaian perempuan? Buat pacar bapak?” “Buat kamu. Pas gak?” “Buat…. Saya?” tanya Meida kaget. Ini semua pakaian bermerk! “Ini semua buat saya, Pak? Pakaian bermerk ini?” “Saya tahu saya terlalu baik hati, tapi saya gak bisa lihat kamu berkeliaran pake baju murah. Jangan terpesona kayak gitu.” “Siapa juga yang terpesona. Amit-amit,” gumam Meida pelan. “Tapi ini kebanyakan, Pak. Lagipula saya bakalan jaga jarak sama bapak kalau lagi pake baju punya saya.” “Kamu mau ditambah nanti kerja ke saya jadi 20 tahun?” Meida langsung diam. “Yaudah, makasih banyak.” Rekasi Meida yang seperti itu membuat Jarvis tidak suka. “Coba lebih bersyukur, kamu belum pernah kan pake baju kayak gitu?” mengomeli Meida yang ada di dekat kakinya sambil mengunyah makanan. Jarvis kesal karena diabaikan hingga dia terus bicara dan tanpa sadar air liurnya menetes tepat di kepala Meida. “Ihhh! Bapak ngiler ya?!” Meida langsung memegang kepalanya. “Ihhh! Mana kari lagi! Huekkk!” langsung berlari ke kamar mandi belakang. Jarvis membulatkan mata dan langsung menyeka bibirnya. Tidak menyangka dirinya melakukan tindakan memalukan dan rendahan miskin seperti itu. “Ihhh! Susah bersihinnya malah kena luka!” Meida mencoba membersihkan dengan tissue basah di kamar mandi. “Ihhh inimah harus keramas! Bapak kenapa malah netesin liur di kepala saya sih?” “Saya lagi makan, salah kamu juga malah diem di deket saya,” ucap Jarvis menyilangkan tangan di d**a dan berdiri di ambang pintu. “Lagian saya sikat gigi pake pasta gigi termahal. Kari nya dibuat dengan bahan premium juga.” “Iler mah tetep aja iler, gak bakalan jadi iler ningrat,” ucap Meida kesal. “Itu salah kamu, bukan salah saya.” Melihat Meida yang kesulitan memberesihkan rambut, Jarvis mendekat. Kasihan juga kalau sampai kena luka yang masih diperban. Tapi melihat rambut Meida yang berminyak, Jarvis jadi mundur. “Saya gak mau bantu kamu.” Meida menatap geram pada pria itu. astaga! Sifatnya sangat arogan dan semena-mena. Mentang-mentang kaya! “Jangan buat kari lagi,” ucap Jarvis sebelum berangkat ke kantor. *** Meida juga berkomunikasi dengan Aldi untuk kepentingan Jarvis, dia diperingati Aldi untuk tahu batasan dan mengikuti apa yang Jarvis katakan. Tapi Meida tidak membuang pakaian lamanya, dia menyimpannya dengan apik. “Meskipun tidak di rumah, kamu pakai baju yang bagus supaya jika bertemu Pak Jarvis tidak terlihat miskin.” Jadilah Meida memakai baju Chanel ke kampus. Dengan baret untuk menutupi kepalanya. Jika melihat tampilannya sendiri, Meida sampai tercengang. “Ini gue kaya anak orang kaya banget,” gumamnya sambil terkekeh. Saat di loby, Meida bertemu dengan Aldi. Sepertinya pria itu habis melakukan perintah pribadi dari Jarvis, karena Aldi bicara dengan pengurus apartemen ini. “Selamat pagi, Pak.” “Pak Jarvis bilang kamu gak usah ke kantor dulu.” “Saya mau ke kampus, Pak. Manfaatkan waktu buat bimbingan skripsi.” “Ayo saya antar kamu.” “Gak perlu, Pak, saya bisa sendiri kok. Duduk di angkot juga pake alas, jadi nanti bajunya tetep bersih.” “Majikan saya juga lagi di kampus. Ada pertemuan sama petinggi disana terkait beasiswa.” Yahhh, Meida bakalan bertemu dengan Jarvis lagi? tapi tidak apalah. Toh Jarvis pasti ada di Rektorat, bukan di prodi. Meida ikut saja pada Aldi, sambil bertanya, “Pak, kemarin malam saya dianterin Pak supir. Katanya Pak Jarvis lagi nyari perempuan yang dia gak inget?” “Iya, dia gak inget perempuan yang habisin waktu sama dia. Kamu tahu siapa aja yang cantik di gedung perusahaan itu? dan sedikit kaya?” Meida terkekeh. “Gak tau, kalau tau nantinya bakalan gimana, Pak?” “Pak Jarvis mau ngomong sama orang itu. ada kepentingan.” “Kepentingan apa, Pak?” “Bukan urusan kamu.” Meida mendengus kesal. dia tidak mau memperburuk keadaan, takutnya Jarvis alergi orang yang dia tiduri. Nanti bisa beasiswa dan ibunya bisa bahaya. “Makasih banyak, Pak.” Ketika turun di prodi. Seharian ini, Meida menghabiskan waktu di perpustakaan dan melakukan bimbingan. Masih berada di tangan pembimbing satu, tapi Meida sudah bisa mendaftar ujian komprehesif. Dia datang ke prodi dan malah melihat sosok yang sangat ingin dia hindari. “Itu dia Meida,” ucap ketua prodi. Wendy menoleh. “Oh… kamu disini ternyata, gak magang?” “Saya punya tugas dari Pak Jarvis, Bu. Makannya ada disini, beliau minta saya buat focus ke skripsi dulu buat beberapa hari ini.” Ketua prodi langsung konek. “Iya, Wen. Dia kan udah dibawah orang yang ngasih dia beasiswa. Jadi kamu gak bisa usul juga.” Wendy tersenyum kemudian mengangguk. “Sini, saya mau ngomong dulu sama kamu.” menarik meida ke parkiran, tempat yang sepi untuk diajaknya bicara. “Kamu itu udah buat kesalahan sama Pak Jarvis, jangan mimpi diperlakukan special.” “Diperlakukan special apanya? Ibu ini ngomongnya ke arah mana?” Wendy menatap Meida dari atas ke bawah. “Kamu pake baju siapa ini? dari mana?” “Harus ya, Bu? Saya jawab?” “Meskipun sekarang perusahaan ada dibawah Bratadiama, kamu masih tanggung jawab saya. Saya gak suka gaya pakaian kamu yang kaya gini,” ucapnya menarik baret Meida. “Eh, kepala kamu luka? Pantesan aja pake yang ginian.” “Balikin, Bu. Ibu ini kenapa sih?” “Sebelum Pak Jarvis, saya dulu yang nilai kamu. Kalau attitude kamu nol, saya bisa bikin kamu gak punya nilai,” ucapnya sambil menoyor kepala Meida. Sampai tangan Wendy tiba-tiba ditahan oleh seseorang. Ketika Wendy menoleh, ternyata itu seorang satpam. “Apa yang harus saya lakukan, Pak? Saya lupa harus ngomong apa?” tanya sang satpam pada pria dibelakangnya. Jarvis menghela napasnya dalam. Wendy kaget melihat pria itu sedang menyilangkan tangan dibelakang sana. “Saya gak pernah perlakukan karyawan saya seperti itu. Dan kamu berani?” “Pak Jarvis… bukan itu maksud saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN