“Bukannya saya sudah bilang kalau anak ini punya tugasnya sendiri?” Jarvis mendekat menatap tajam Wendy. “Gak pantas kamu noyor kepala orang kayak gitu. Ibunya juga bukan, kamu Cuma orang lain yang dikasih tugas ngawasin dia, bukan bertindak tidak sopan.”
“Pak…, saya refleks karena kesal. Meida udah bikin bapak rugi di hari pertama akusisi.”
“Saya yang rugi kenapa kamu yang ribet? Kamu kasih saya peringatan secara lisan. Kalau perlakukan lagi karyawan seperti itu, saya bisa ambil tindakan. Tidak boleh ada orang yang tidak sopan di perusahaan saya.”
“Pak, dengerin saya dulu,” ucap Wendy mendekat yang refleks membuat Jarvis mundur. Meida dengan siaga menarik bahunya.
“Ibu jangan deket-deket sama Bapak. Beliau gak suka kalau gak ada jarak.”
Wendy menatap kesal pada Meida, untungnya Jarvis segera mengatakan, “Ayo, Tut. Saya mau pulang.”
Tut? Tuti? Kentut? Meida kesal, tapi senang juga ditolong oleh Jarvis. Makannya dia mengikuti pria itu dan mengabaikan Wendy yang masih menatapnya kesal. “Pak, saya harus ke prodi dulu. mau ajuin buat sidang kompre. Bapak masih ada kerjaan ‘kan? duluan saja, saya pulang nanti.”
“Gak, saya mau makan siang.”
“Ngajak saya makan siang? Saya masih kenyang, Pak. tadi makan roti.”
“Kamu bikin lah. Gak guna banget udah cover biaya hidup kamu juga.”
Meida langsung memasang wajah malas. Pantas saja dia memaksa pulang bersama, ternyata Meida harus memasak. “Yasudah, Bapak tunggu dulu. saya mau ke prodi. Atau mau ikut ke dalam?”
“Gak, ruangan disana sempit,” ucapnya melihat di area loby fakultas ekonomi. Ada sofa, tapi Jarvis enggan duduk. Meida juga tidak mungkin meninggalkan pria itu untuk terus berdiri.
“Mau dialasi pakai tissue, Pak?”
“Mana?”
Meida meminta tissue pada bagian informasi untuk meminta tissue. “Itu tissue yang 50.000 dapet 15 ya? gak mau saya, nanti malah nempel.”
“Yasudah bapak tunggu di mobil.”
“Saya mau tunggu disini. Kalau kamu lama, tinggal disusul.”
“Pakai baret saya mau? Ini kan dari Chanel.”
Jarvis menyipitkan mata kemudian mengerutkan kening melihat rambut Meida yang berantakan. Untungnya sang Dekan keluar dari ruangannya. “Pak Jarvis, sedang apa disini?”
“Menunggu mahasiswa, dia magang di perusahaan saya.”
“Bagaimana kalau menunggu di ruangan saya? Sembari ada yang ingin saya sampaikan.”
“Tentu.”
Meida bisa lega ketika Jarvis pergi. Sungguh pusing mengurus pria yang tidak terbiasa dengan kemiskinan dan juga kuman. Saat memasuki mobil, Meida duduk di bangku belakang. “Kamu pikir saya supir? Pindah ke depan.”
“Maaf, Pak, saya khawatir bapak gak nyaman kalau saya disamping,” ucapnya segera pindah.
Jarvis memainkan music klasik di dalam mobil, hanya ada keheningan pula sepanjang perjalanan. Meida tidak paham bagaimana pria itu bisa hidup dengan kondisi seperti itu. Tapi sebenarnya, keberadaan mereka berdua di dalam mobil tiba-tiba saja mengingatkan Meida pada adegan pemerkosaan.
Pusing dan rasa sakitnya seolah kembali dirasa.
“Saya mau makan siang pake ikan. Olahan bumbunya jangan terlalu kental, saya harus kembali kerja. Denger saya?” tanya Jarvis begitu sampai di basement. “Kamu kenapa?”
Meida menunduk dengan tangan yang memegang perutnnya sendiri. rambutnya menghalangi hingga Jarvis tidak bisa melihat wajahnya. Jarvis keluar lebih dulu dan membukakan pintu mobil. “Cepat, gak usah drama.”
Meida tetap menunduk. Jarvis dibuat kesal, dia menarik tangan perempuan itu dan disambut dengan…. “Hoekkkkk!”
Jarvis melotot melihat muntahan yang mengenai tangannya. Ditambah lagi Meida yang tidak sadarkan diri secara tiba-tiba. “Astaga.” Jarvis menghela napasnya dalam. Menahan aroma bau, dia mengangkat Meida dan dibawa ke apartemen. Untungnya, tidak ada rasa gatal yang dia rasakan.
***
“Kalau dilihat, anak itu merepotkan bapak. Lebih baik melepaskannya saja, dia akan membayar semua tagihan itu dengan memperpanjang masa kerja di Bratadiama nantinya.”
Jarvis yang sedang duduk santai di sofa itu hanya diam.
“Pak?”
“Saya lapar.”
“Mau saya panggilkan koki kesini? Atau memesan dari hotel yang anda inginkan?”
“Masih ada sisa masakan dia kayaknya.” Jarvis membuka kulkas. Dia menghangatkan makanan di microwave. “Makanan yang dia buat itu mirip dengan milik mediang Nenek Buyut.” Yang Jarvis maksud adalah Nenek dari Mommynya yang sudah meninggal. “Ini sangat lezat.”
“Saya bisa mengaturnya, dia bisa datang kesini jika anda ingin makanan yang seperti itu.”
“Ada hal yang membuat saya curiga kepada dia.”
“Apa?”
“Nanti menunggu dokter sama pelayan keluar.”
Karena butuh bantuan mereka untuk mengganti pakaian Meida dan memeriksanya. Sang dokter meyakinkan Jarvis lagi kalau Meida baik-baik saja. “Tidak ada penyakit menular ‘kan?”
“Tidak, Tuan. Sepertinya dia sedang ada dalam tekanan hingga bisa muntah seperti itu.”
Setelah kepergian pelayan dan dokter, Jarvis masuk ke dalam kamar Meida diikuti Aldi. “Liat ini. Kamu tahu gimana saya ngerasa gak nyaman kalau deket sama perempuan, apalagi skinship dengan bayangan kemiskinan. Tapi sama dia enggak.”
Jarvis menempelkan telapak tangannya di kening Meida. “Lihat, gak ada rasa takut sama sekali. Kan?”
“Mungkin karena dia memakai pakaian bermerk yang anda belikan, Pak.”
“Nggak, perasaan itu tidak seburuk biasanya.” Jarvis memindahkan tangan dengan menyentuh kaki Meida. “Masih ada rasa takut kuman, tapi tidak separah itu. Juga tidak gatal.”
“Iyaa?” jadi Aldi bingung, pria itu mau apa?
“Pas dia pakai baju yang murah, masih ada reaksi. Tapi sentuh kulitnya langsung, ini bauk-baik aja. Gak ada reaksi alergi.”
“Hmmmm?”
“Jadi kamu cari tahu dimana anak itu saat malam itu. saya curiga dia.”
“Meida?”
“Iya, karena harusnya setelah malam itu, saya jadi gatal-gatal kan?”
“Mungkin perempuan waktu itu memakai baju yang mahal.”
“Tapi reaksi skinship sama dia gak separah itu. Jadi meskipun dia pakai baju jelek, gak terlalu berpengaruh karena kita bersentuhan badan. Bukan baju.”
Akhirnya Aldi mengangguk. “Saya akan mencaritahunya, Pak. ada apa yang bisa saya bantu lagi?”
Baru juga Aldi selesai bicara, Meida mulai membuka matanya. Jarvis membungkuk melihat jelas ke arah perempuan itu. “Bapak jangan seperti ini, nanti dia pukul bapak. Silahkan duduk.” Dibawakan kursi belajar.
Jarvis duduk sambil menyilangkan tangan di d**a. “Aku dimana?” tanya Meida.
“Jangan drama, udah jelas ini di apartemen saya, bukan Rumah Sakit.”
Meida langsung menoleh dan menatap kesal pada Jarvis. Sampai dia sadar apa yang terjadi. “Pak, saya minta maaf. Tadi saya kurang enak badan sampai muntah mengenai bapak. Apa bapak tidak apa-apa?”
“Gatal, tentu saja. tapi sekarang sudah lebih baik.”
“Maaf, Pak.” Meida sampai menunduk. Tidak mau melihat Jarvis dulu karena teringat kejadian sebelumnya. Tapi sadar juga kalau dirinya harus tetap berada di sisi pria itu demi sang Ibu.
Jarvis yang hendak marah juga jadi kasihan. “Istirahat saja. Malam ini gak perlu bikin makanan, kamu demam dan saya gak mau ketularan.”
“Terima kasih, Pak. sekali lagi saya minta maaf.”
Tidak mengatakan apapun lagi, Jarvis berdiri dari duduknya diikuti oleh sang ajudan dibelakang. “Kamu udah jual mobil itu?”
“Belum terjual, Pak. Tapi saya sudah dapatkan yang baru.”
“Saya gak mau mobil bekas muntahan.”
Aldi kini semakin sadar dan harus menyelidiki Meida. Karena tangan Jarvis saja kena muntahan, tapi dia tidak mengingatnya selama 24 jam seperti saat jatuh di atas tanah.
***
“Terima kasih, Sus. Nanti hubungi lagi kalau ada hal berkaitan sama Ibu saya. Titip juga beliau ya. saya belum bisa kesana buat seminggu terakhir ini.” Meida bisa tenang ketika mendapatkan kabar kalau pengobatan Ibunya sudah dimulai.
Itu yang membuatnya bertahan bersama dengan Jarvis. Tok! Tok! “Mei?”
“Iya, Pak?” Meida menjawab, tapi pria itu tidak masuk. Makannya Meida keluar dan melihat Jarvis yang menyodorkan papper bag dengan tangan memakai sarung tangan lateks? “Ini apa?”
“Jangan sampai mati disini. Nanti harga apartemen saya turun. Makan.”
“Makasih, Pak.” menatap heran pada pria yang kini membuka sarung tangannya kemudian mencuci tangan berulang kali. Meida mengerutkan keningnya, pria itu aneh.
“Besok pagi semua shampoo dan sabun kamu akan diganti. Saya lama-lama gak tahan sama bau kemiskinan.”
Dan arogan juga! “Iya baik, Bapak.” Langsung saja menutup pintu dengan kencang.
Faktanya memang seperti itu. Jarvis bisa tahan disekitar Meida dan bersentuhan dengan kulitnya. Tapi tetap ada beberapa hal yang harus dia perhatikan juga, akan lebih nyaman jika dia memakai sabun yang mewah.
“Hhhh…. Dimana itu perempuan yang gue tidurin?” gumamnya ketika berbaring.
Teringat kalimat dari Kakek buyutnya, “Kakak, nikah secepatnya. Kakek mau mati tenang. Kalau enggak, nanti Kakek gentayangan terus bakalan duduk di pundak kamu sepanjang hari.”
Mengerikan juga membayangkannya. Dan dalam lelapnya itu, Jarvis kembali memimpikan dimana dirinya bisa menyentuh seorang wanita, bahkan menidurinya. Jarvis begitu menikmatinya, dia mengerang dan keluar berkali-kali. Memegang pinggang sang perempuan, kemudian menciumi lehernya yang berkeringat tanpa rasa jijik. Siapa?!
Jarvis sampai membuka matanya, otaknya tiba-tiba mengingat aroma yang dikeluarkan perempuan itu. Dengan cepat, Jarvis melangkah turun dan pergi ke kamar Meida.
Perempuan itu sudah tidur, Jarvis melangkah mendekat untuk memastikan.
Dia naik ke atas ranjang dan mengukung tubuh Meida. Tatapannya tajam, dia mengelus pinggang Meida, mengukurnya dan terasa pas. Kemudian Jarvis menunduk mencium leher perempuan itu. “Bau murahan ini…..” langsung teringat, semua memori itu jadi jelas. “Kamu orangnya.”