Vance POV
Sekali lagi, Yue membuatku kesal hanya dengan bertatapan dengannya. Bola mata hitam sipit itu selalu saja seperti meremehkanku, ditambah dengan bibir busuk yang selalu mengucapkan kata-kata sok bersimpati padaku.
"Pergi sana! Ke rumah si jalang, kau ini pengasuh tak berguna! Hanya bikin kesal saja," ketusku, melemparinya dengan setumpuk kertas-kertas laporan kecurian dana dalam organisasiku.
Yue tak pergi, malah seenaknya memonopoli peralatan melukisku, menggunakan ruang kerjaku seenaknya.
"Aku hanya dibayar bekerja di rumahmu," balasnya dingin, mengingatkan hal yang sudah kuketahui.
Benar-benar bikin makin kesal. "Kalau begitu pergi jalan-jalan, belanja atau apa pun! Jangan melukis di sini, kau mengangguku bekerja." Kuusir saja k*****t cantik itu.
Yue langsung meninggalkan kursi di depan kanvasku, berjalan mendekatiku. Ia menunjuk dadaku dengan ujung jarinya. "Dengar ya, Tuan, jalan-jalan dan belanja itu butuh uang, dan aku tak punya uang. Makanya aku diam di rumah, menggunakan apa pun yang ada di sini tanpa harus mengeluarkan sepeser pun secara sia-sia," tegasnya.
Kudorong dia hingga terbaring di atas meja kerjaku, "Tak tahu diri! Kau pikir rumahku ini tempat beramal apa!? Seenaknya memakai peralatan melukisku! Lagi pula tak punya uang kau bilang," mencengkeram kerah bajunya dan mendekatkan pandangan kami.
"AKU MEMBELIMU DENGAN UANG YANG CUKUP UNTUK MEMBELI SEBUAH RUMAH, BELUM LAGI BAYARAN TAMBAHAN DAN BAYARAN DARI SI JALANG! BILANG SAJA KAU MEMANG PELIT!" Aku memakinya sejadi-jadinya, tak habis pikir bagaimana bisa ada manusia sepelit ini.
Dia membalas dengan mendorongku hingga aku terduduk di kursi empukku, membenarkan kerahnya dengan ekspresi wajah datar. "Ya, aku memang pelit dan matre," mengucapkan sebuah pengakuan dengan santai dan kembali menjajah peralatan melukisku.
Kemudian, entah bagaimana bisa, kami berakhir saling diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Ralat, hanya dia yang sibuk. Menikmati kegiatannya seolah-olah puas berhasil membuatku kehilangan kata-kata untuk memakinya. Sial! Aku bahkan tak bisa konsentrasi bekerja lagi karenanya.
Aku harus memikirkan cara untuk menyingkirkannya, atau lama-lama rumahku pun akan ia jajah seenaknya.
"Yue!" panggilku.
Yue diam, masih asik memainkan kuas pada permukaan kanvas, ia bahkan tak mau repot-repot menjawab atau sekadar menoleh menatap padaku.
Kuputuskan untuk memancingnya saja, melambaikan selembar uang kertas. "Aku haus, buatkan kopi."
"Segera Tuan," jawab Yue, mengambilkan uang itu dan segera berlari ke dapur.
Meninggalkanku yang terpaku, tak mengerti bagaimana bisa ia mengambil uang itu dari tanganku secepat itu? Padahal aku sangat yakin kalau matanya menatap lurus pada kanvas dan posisiku jelas-jelas berada di belakang punggungnya.
Apa dia punya antena khusus di belakang kepalanya?
Sudahlah, aku malas memikirkan kemampuan khusus seorang manusia matre sepertinya. Kuputuskan untuk melihat apa yang sedang ia lukisan dari tadi, ternyata ia melukis tumpukan koin emas di antara tumpukan tengkorak dan dan senjata tua yang sudah rusak.
Indah, penuh kekejaman dan kejayaan. Aku tak tahu dia bisa melukis seindah ini, mungkin sebaiknya aku tetap mempertahankan Yue di rumahku.
"Tuan sedang apa? Kalau sampai lukisanku lecet, kau harus membayar ganti rugi," sinisnya, muncul di belakangku seperti setan tanpa suara.
Aku kesal, kutendang saja lukisan itu dan mengumpat padanya, "Tutup mulutmu b***k sialan! Ganti rugi atas barang-barangku sendiri? Kau pikir aku sudi!" dia harus belajar untuk menghormatiku.
"Kau harus!" Yue mendadak marah, melemparkan secangkir kopi yang ia bawa ke arahku. Reflek aku menghindar, membuat kopi panas itu tumpah mengenai kanvas yang tergeletak di lantai setelah kutendang tadi.
"KAU MAU MENYIRAM KOPI PANAS KE MUKA TUANMU HAH!?"
"Memang, malah aku ingin sekali membunuhmu, Vance. Tak ada yang boleh merusak karya seniku yang berharga."
Aku kaget tentu saja, Yue mendadak berubah semakin dingin dan mengambil pedang pajanganku sendiri untuk menyerangku. Tatapan matanya amat marah, terlihat berkali-kali lipat lebih cantik.
Walaupun serangannya yang payah itu berakhir sia-sia, tapi aku menyukai usahanya. Aku suka saat menjatuhkannya, menikmati wajah muaknya saat pedang itu kurebut dengan mudah.
"Cih, kau pikir tangan kurus ini bisa mengenggam pedangku dengan baik?" ejekku, menghimpitnya ke dinding.
Yue diam saat tatapan mata kami beradu, dia hanya menutup matanya tanpa berkata apa pun. Bahkan ia sama sekali tak meronta saat kucengkeram kedua tangannya.
Sial! Reaksi seperti apa ini? Kenapa ia tak marah saja seperti tadi? "CIH! KAU SUNGGUH MENYEBALKAN! AKU MINTA MAAF OKE, JANGAN NGAMBEK SEPERTI ITU!" bentakku sebal, melepaskannya saking tak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi manusia aneh sepertinya.
"Aku tak butuh kata maafmu," balasnya singkat. Pergi begitu saja tanpa mau menatapku dan anehnya, ada rasa tak puas yang kurasakan. Aku tak tahu apa itu, yang jelas aku tak suka melihatnya pergi seperti itu.
"ARGGGH!!" pekik kesal.
Menendang peralatan lukisku hingga hancur, melampiaskan segala emosi tak pernah kurasakan.
"Dasar bocah tak peka, kalau suka ya kejar. Kalau tak suka ya dibunuh, itu cara kerjamu bukan? Kenapa saat menghadapi Yue kau malah jadi menyedihkan seperti ini," komentar Jimmy, muncul dari pintu ruangannya yang terhubung dengan ruang kerjaku.
Seenaknya ia mengambil kanvas yang sudah tertumpah oleh kopi, menyodorkannya padaku. "Perbaiki Vance, kau bisakah. Kupikir kau menghargai sebuah lukisan, kenapa malah merusaknya hanya karena gengsi dan kemarahan sesaat."
"Diam. Dasar asisten sok tukang ceramah! Bereskan itu!" bentakku, mengambil lukisan Yue dan membawanya ke kamarku.
Aku punya peralatan cadangan di sana dan akan lebih mudah memperbaikinya di tempat yang tenang. Tapi jangan salah paham, aku melakukan ini karena aku menyukai gambarnya, bukan untuk menyenangkan si cebol dengan wajah cantik itu.
∞
Kepalaku sakit, stres mendengar teriakan Rin yang marah karena Yue menghilang. Bocah nakal itu terus saja menjerit menyalahkanku sambil menendang kakiku.
"Cepat cari Mommy! Daddy jahat!" pekiknya untuk kesekian kalinya, mulai memanjat ke bahuku hanya untuk menjambak rambutku brutal. "Huaaaaa! Lin tak mau tahu! Pokoknya Mommy Yue harus pulang!"
"CUKUP RIN! KAU SARAPAN DI RUMAHMU SAJA SANA! JANGAN TERIAK-TERIAK SEPAGI INI," bentakku kesal, menariknya turun dari bahuku.
Anak si jalang tak pulang, dia malah membongkar kulkasku dan mulai melemparkan semua isinya ke arahku.
"Lin tak mau! Pokoknya kalau Mommy tidak pulang, Lin tak mau makan!! Salah Daddy Pen yang melukai hati Mommy Lin!" jeritnya lagi, melemparkan selusin telur mentah ke kakiku.
Aku berhasil mengelak, mendengus padanya. "Terserah! Masa bodoh mau ke mana Yue, teriak saja sampai kau capek, aku tak mau mencarinya." Kemudian berbalik, berniat ke ruang kerja.
Tapi dari arah berlawanan, melesat beberapa buah pisau ke arahku. Lengkap dengan suara penuh kemarahan yang lain, "Kamu apakan uke unyu aku? Cari!" siapa lagi kalau bukan si jalang?
Ugh. Sialan! "Mana aku tahu! Dia sendiri yang kabur tak bilang-bilang," balasku sinis, mencabut sebuah pisau yang berhasil menancap di pahaku.
Saudara macam apa yang bersungguh-sungguh ingin membunuhku cuma demi orang asing? Dasar jalang gila!
"Bohong! Pasti Daddy jahatin Mommy!" Rin juga, sejak kapan dia lebih peduli pada Yue daripada aku?
Bukan salahku kalau Yue mendadak menghilang begitu saja begitu. Yang aku tahu dia sudah tak ada saat Rin menjerit-jerit minta makan seperti biasanya.
"Aku tak berbuat apa pun, Rin, berhenti menyalahkanku!"
"Bohong!! Bohong!! Daddy, kan jahat! Pasti Daddy Pen yang salah!"
Cih! Aku acuhkan saja pukulan lengan kecil itu, lebih memilih merawat luka akibat pisau ibunya yang jalang itu.
Tapi sialnya, si jalang malah ikut-ikutan seperti anaknya, memukuliku dari belakang. "Cari Yue sana! Seme denial bodoh! Bawa pulang adik kesayangan aku!"
Aku berbalik, mencengkeram tangannya. "SEJAK KAPAN DIA JADI ADIK KESAYANGANMU! AKU TAK SUDI PUNYA SAUDARA SEPERTINYA." Aku marah, persetan dengan kemarahan mereka.
Sudah cukup pengertianku, mereka terlalu seenaknya pada hidupku, terlalu seenaknya memasukkan orang asing ke rumahku dan sekarang mereka lebih peduli pada Yue yang baru mereka kenal sebulan daripada aku.
Aku pun berjalan pergi meninggalkan dapur, setelah selesai memasang perban tanpa mau menatap pada mereka. Biar mereka sadar diri, kalau sikap mereka itu salah!
"SIAPA BILANG YUE JADI SAUDARA KAMU! AKU MAUNYA YUE JADI ISTRI KAMU!"
"TAK APA DADDY TAK CUDI JADIIN MOMMY ADIK, TAPI DADDY JADIIN MOMMY ISTLI YAH!!"
Cih! Ternyata mereka tak sadar diri, merasa bersalah sedikit pun tidak. "CUKUP! DIAM KALIAN! BICARA SEPERTI ITU SEKALI LAGI, AKU AKAN MENCARI YUE, TAPI UNTUK KUBUNUH DI DEPAN KALIAN!" balasku, mengambilkan guci hias di samping pintu dan melemparkannya hingga pecah.
Aku benar-benar muak pada mereka, benci pada orang asing yang seenaknya mengambil tempat khusus di hati mereka menggantikan posisiku.
Mereka diam, kehilangan kata-kata dan menatapku penuh rasa bersalah. Aku abaikan, pergi ke mana pun di mana aku bisa bersantai. Jauh dari perempuan-perempuan gila gay itu, tapi ternyata dunia sungguh memuakkan, bahkan di pinggiran kota yang sepi pun, ada Yue dengan tatapan datarnya di hadapanku.
"Tuan sedang main serong ya? Makanya ada di tempat sepi seperti ini," tanyanya, lebih ke berkomentar daripada bertanya. Matanya melirik penuh arti ke seorang wanita yang tengah kupeluk, salah satu pacarku.
Aku mendengus, melemparinya dengan sekaleng air soda yang sedang kugenggam. "Cih! Bukan urusanmu! Bukannya kau sudah kabur dari rumah, jangan sok memanggilku tuan lagi!" Balas dendam karena dia, aku mengalami pagi yang amat buruk.
"Kabur? Siapa bilang? Aku sedang ikut seminar seni di sekitar sini. Tepat di ujung jalan, ada universitas khusus seni dan musik. Gaji yang kau berikan terlalu sulit untuk ditolak, Tuan Vance, lagi pula aku sudah meninggalkan pesan dengan secarik kertas di atas meja kamarmu," jawab Yue datar, mengelak dari lemparanku.
Yang benar saja? Jadi keributan yang menghancurkan dapurku itu hanya karena dia pergi ke seminar!?
"TINGGALKAN PESAN LEWAT PONSEL BODOH! MANA ADA ORANG BARU BANGUN TIDUR YANG MELIHAT MEJANYA!"
"Kau yang bodoh! Aku tak punya ponsel, mana bisa meninggalkan pesan. Lagi pula ponsel itu selain mahal, juga harus bayar tagihan pemakaian."
Dasar pelit! Mana ada manusia zaman sekarang yang tak punya ponsel! Bahkan Rin saja punya!
"Pakai punyaku dan kau pulang sekarang! Bereskan dapur! Pergi ke rumah Rin dan beri dia makan! Gara-gara kau anak itu ngambek!" ketusku, malas berdebat dengannya.
Yue langsung menadahkan tangannya, kode meminta bayaran. Refleks aku mengeluarkan dompet dan memberikannya beberapa uang lembar, kebiasaan saking seringnya dia meminta uang untuk perintah-perintah sepele dariku.
"Baiklah," ucapnya, berbalik ke arah halte bus. Namun, ketika aku berniat mencium pacarku, dia berbalik tiba-tiba, "Oh ya, Tuan, aku akan rahasiakan perbuatan serongmu dengan istri orang. Tenang saja, kali ini gratis. Anggap saja ucapan terima kasih karena kau sudah memperbaiki lukisanku," mengucapkan kata-kata sensitif seperti itu dengan santainya.
Pacarku langsung membuang muka, tersinggung dengan perkataan Yue. Sedangkan aku melemparinya dengan pistolku, satu-satunya barang yang tersisa selain dompet dan kunci mobil.
"TUTUP MULUTMU b***k SIALAN! AKU TAK SEDANG MAIN SERONG! BERHENTI BERPIKIRAN BURUK TENTANGKU!"
Yue dengan santainya menangkap pistolku dan menyimpannya ke dalam saku mantelnya, "Kau yang berhenti menipu Tuan, bermesraan dengan wanita setengah baya yang mengenakan cincin kawin di tepian kota seperti ini, kalau bukan sedang berselingkuh apa lagi?" membalas bentakanku dengan tatapan meredahkan.
Kemudian berbalik pergi dan masuk ke dalam bus yang kebetulan baru saja tiba, tanpa memberiku kesempatan untuk membantah. Sialan! Aku tak sedang main serong!
"Sebaiknya aku pulang saja, Vance. Orang-orang jadi memperhatikan kita, aku takut ada kenalan suami atau anakku di antara mereka. Sampai jumpa," pamit pacarku.
Dengan terburu-buru ia mengambil tasnya, memasuki mobilnya sendiri dan meninggalkan aku begitu saja. "Cih! Kalau kau pergi, kau bukan pacarku lagi!" Aku marah, segera mengejarnya dan menahan pintu mobil yang hampir tertutup.
"Terserah. Pernikahanku lebih penting darimu, Vance. Salahkan anak buahmu yang seenaknya membuat keributan seperti itu."
"Yue bukan anak buahku! Dasar b***h!" makiku, membanting pintu mobilnya hingga tertutup.
Tak lama, jendela mobil terbuka. Wanita itu memasang senyuman sinis mengejek padaku."Oh ya, aku lupa. Kau, kan anak pasangan gay, jadi pastinya dia salah satu pacarmu. Lumayan cantik, walaupun sama sekali berbeda dengan tipemu."
"SIALAN! AKAN KUHANCURKAN PERNIKAHANMU! LIHAT APAKAH SUAMI DAN ANAKMU MASIH BISA MENERIMAMU SETELAH TAHU PERBUATAN JALANGMU ITU!"
"Marah saja sesukamu, sejak awal aku hanya tertarik pada uangmu dan aku yakin pria itu juga sama. Kasihan sekali kau, dengan sifatmu itu, aku yakin tak ada orang yang akan menerima dan mencintaimu dengan tulus."
Setelah mengucapkan itu, dia pergi begitu saja. Tertawa seolah-olah berhasil menyerangku tepat mengenai sasaran dan bodohnya aku, aku malah tak bisa membalasnya sama sekali. Karena aku sadar benar kalau apa yang ia ucapkan adalah benar. Tak seorang pun manusia di sekelilingku yang tulus peduli padaku, kecuali keluargaku.