Yue POV
Vance makin aneh, dengan santainya tanpa rasa gengsi seperti biasanya. Ia malah menempel padaku, mengganggu aku yang sedang asik baca buku di depan perapian.
"Daddy di mana?" tanyanya baik-baik, tanpa ada tambahan sinis, terkesan amat manja dan menjijikkan. Dia bahkan berbaring di depanku, seenaknya menggunakan kakiku sebagai tempat berbaring.
Menyebalkan!
"Bayar dulu kalau mau menjadikanku bantalmu!" balasku jutek, menadahkan tangan.
"Nih, jadi Mommy dan Daddy di mana?" ulangnya, tapi kali ini aku menjawab dengan ramah dan penuh perhatian. "Dean sedang mengunjungi si jalang, katanya, tapi aku tak tahu siapa itu, mulut kaliankan sama-sama busuk. Kalau Tyler sedang di dapur, memasak bubur untukmu." Aku bahkan tak protes saat Vance mengambil buku yang sedang k****a dan menggantinya dengan lembaran 50 Euro.
"Hem," balasnya tak niat, masih terlihat seperti orang penyakitan.
Padahal sebenarnya sakitnya tak parah, cuma demam sedikit dan sedikit perubahan pada suaranya yang cempreng menjadi lebih berat, tapi begitu ada orang tuanya dia mendadak jadi baik dan manja, padahal sebelumnya pasti sok kuat. Mulut j*****m itu pun pensiun sesaat, kalau kata Vella sih itu cuma akting anak baik-baik menjijikkan yang biasanya Vance lakukan sejak kecil.
Ckckckck... benar-benar manusia merepotkan, sama keluarga sendiri saja pakai bersandiwara segala.
Merasa bosan, aku kepang saja rambutnya kecil-kecil, pakai ikat rambut Feyrin yang ketinggalan tadi. Mumpung Vance tak bisa teriak-teriak dan dia lagi hanyut sendiri ke buku di hadapannya. Buku aneh pemberian anaknya yang nakal, pokoknya jangan tanya apa judulnya.
"Dapat dari mana buku ini? Tak mungkin kau beli bukan, kaukan pelit," tanya Vance mendadak, refleks aku menjauhkan tanganku dari rambutnya.
Segera memasang wajah datar, menghela napas diam-diam. Lega tidak ketahuan menjahili rambutnya, bisa-bisa aku tak dibayar kalau dia menyadari rambut kepang itu.
"Dikasih Rin tadi," jawabku singkat, tak mau membahas lebih banyak lagi pembicaraan mengerikan bocah umur lima tahun itu.
"Dan kau mau baca!? Cih!" Sinisnya kambuh, melemparkan buku itu ke dalam perapian.
Untung saja gratis, kalau tidak aku pasti sudah emosi. "Memangnya kenapa? Itu bacaan ringan, daripada aku membaca koleksi bukumu yang isinya kode dan rumus itu? Otakku tak sepintar otakmu, Tuan."
"RINGAN APANYA t***l! MANA ADA LAKI-LAKI MAU BACA BUKU BERJUDUL 'FAKTA MPREG'!" Sekarang jiwa emosionalnya yang kambuh.
Kubalas dengan mengangkat bahu cuek, lagi pula itu pemikiran gila anaknya. Bukan aku yang tertarik membaca buku aneh seperti itu, meski jujur saja aku ada sedikit rasa penasaran dengan riwayat kelahiran Vance.
Salahkan Dean dan Tyler yang membuatku penasaran dari mana lahirnya Vance!
"Akukan penasaran, Dean atau Tyler yang melahirkanmu. Yah, kalau apa yang ditulis buku itu benar," balasku santai, mengambil sebuah cookies yang tersedia dan mengunyahnya.
"DASAR t***l! TENTU SAJA AKU ANAK ADOPSI! MANA BISA LAKI-LAKI HAMIL, KURASA OTAKMU SUDAH TERLALU PENUH DENGAN UANG SAMPAI TAK BISA BERPIKIR LOGIS LAGI!" bentaknya emosi jiwa, lalu terbatuk-batuk sendiri.
"Makanya jangan teriak-teriak kalau sakit tenggorokan, dasar merepotkan," sinisku, memberikan segelas air yang kubawa tadi untuk teman makan cookies. Sebenarnya itu air bekas minumku, tapikan Vance tak tahu.
"Cih!" ia berdecak kesal, menghabiskan airku dan kembali berbaring. Kali ini menjajah perutku untuk dijadikan bantal, mentang-mentang aku sedang baring-baring santai.
"Menyingkir kau!" usirku sebal, tak suka ditempeli oleh Vance yang aneh, tapi begitu selembar 50 Euro mendarat cantik di tanganku, aku langsung tersenyum. "Silakan tidur kembali, Tuan Vance."
Oh ya, tadi dia bilang dia anak adopsi? Jadi karena itu Vance sampai harus berpura-pura jadi anak baik demi menyenangkan orang tuanya? Kalau begitu aku bisa mengerti, tapi masa iya Tyler tipe orang tua yang banyak menuntut?
"Dasar matre!" cibirnya, kesal melihat perubahan sikapku padanya sebelum dan sesudah dibayar.
"Daripada kau seperti bocah, umur berapa? Masih manja-manjaan sama orang tua." Aku balas mencibirnya.
Mengejeknya dengan hati riang, rasanya suka saja melihat wajah kesalnya, tapi tak bisa membalas kata-kataku. Sengaja mengungkit-ungkit suara cempreng ala anak-anak yang biasanya terdengar dari mulut b***t itu.
Dan sepertinya ada orang lain yang sepemikiran denganku, dia pulang sambil menyungging sebuah cengiran mengejek.
"Memang bocah, sudah manja, siscom lagi. Buahahaha!! Kau tahu Yue, anak ini sampai sekarang masih menyimpan boneka kembarannya untuk teman tidur lho!" Orang itu Dean, ayah Vance sendiri.
Ups! Aku tak tahan untuk tidak tertawa, "Hahaha, serius Dean?" merespons Dean dengan antusias. Siapa tahu dia bersedia memberitahu aku aib Vance yang lain, kan bisa kugunakan untuk memerasnya nanti.
"Khehehe... tentu saja."
"CUKUP KALIAN BERDUA! SEJAK KAPAN KAU JADI SEKUTU MOMMY, YUE! DASAR b***k PENGHIANAT!"
Vance pun murka, melemparkan apa pun yang bisa ia raih ke arah kami dan tentu saja kami bisa menghindar. Membuatnya makin mengumpat dan kami tertawa makin keras, rasanya menyenangkan sekali.
"Sejak Yue jadi anakku. Bukan begitu?" balas Dean, merangkulku.
"Iya, Ayah." Aku balas melakukan hal yang sama, meski aku tahu Dean tak serius. Dia hanya ingin membuat Vance emosi saja dan aku juga menginginkan hal yang sama.
"MENJAUH DARI MOMMY! KAU MAU KUPECAT HAH! TAK ADA TEMPAT TINGGAL GRATIS DAN BAYARAN MAHAL," tapi begitu mendengar ancaman itu, mendadak aku mau jadi b***k Vance lagi. meninggalkan Dean dan berpindah ke belakang Vance.
"Maafkan aku Dean, aku butuh tempat tinggal dan uang," ujarku, menyesal.
Vance langsung tersenyum sinis, meledek ke Dean dan Dean berhenti tertawa, berganti dengan pekikan mengumpat. Benar-benar sifat yang sama. Sama-sama licik, sinis dan busuknya.
"Aku akan membayarmu dua kali lipat Yue, kemari." Perintah Dean kemudian, refleks kakiku berjalan mendekatinya.
"DASAR PENGHIANAT! KAU TAK BOLEH PERGI!" tapi Vance malah menarikku ke pelukannya.
Aku tahu ini hanya karena gengsinya, tak mau kalah beradu mulut dari Dean, tapi kenapa aku malah menyukai keadaan seperti ini? Apa aku mulai tertarik padanya?
Otakku bahkan tak bisa diajak memikirkan keuntungan lagi, begitu juga dengan suara cacian mereka yang makin kasar.
Beruntung, Tyler datang mendamaikan mereka, membuatku terbebas dari Vance.
"Kalian bertengkar lagi?" Hanya dengan satu pertanyaan sederhana pula, mereka berdua bisa langsung berpelukan akrab.
"Tidak kok, Daddy!"
"Sama sekali tidak, Tyler!"
Menjawab dengan serempak juga.
Hem... Sekarang aku mengerti, Tylerlah kelemahan mereka. Aku harus mengambil hatinya kalau mau mendapatkan lebih banyak uang dari mereka.
"Jadi, kenapa dengan ruangan ini?" Lihat, mereka sampai kelabakan begitu saat ditanya penuh kecurigaan oleh Tyler.
Dan sudah kuduga, mereka akan menggunakan aku sebagai kambing hitam. Lihat saja uang kertas yang mereka lambaikan di balik punggungnya.
"Kerjaan Yue! Dia ceroboh sekali waktu beres-beres." Tentu saja aku dengan senang hati disalahkan.
"Maaf, lain kali aku akan lebih berhati-hati," ucapku sok menyesal, berjalan mendekati mereka dan mengambil uang itu.
Kupikir Tyler akan marah, mengingat mereka berdua begitu takut padanya, tapi ternyata tidak. "Tidak apa-apa Yue, biarkan pelayan yang membereskan. Ayo makan bersama dengan kami." Dia malah tersenyum maklum dan mengajakku makan bersama dengan mereka.
Jadi kenapa kedua manusia b***t itu sampai takut padanya!? Yang salah Tyler atau mereka?
∞
Usai makan siang, Vance dijaga Dean alias mereka saling menyerang di dalam kamar. Sedangkan Tyler yang tak tahu apa-apa malah mengajakku jogging dengannya.
Aku sih setuju saja, soalnya Vance sudah membayarku tiga jam ke depan untuk menemani ayahnya.
Kami jogging di taman dekat rumah Vance, mengitari beberapa putaran dan beristirahat di sebuah kedai teh. Tentunya Tyler yang menawarkan diri membayar setelah aku pura-pura tak bawa uang.
Dia pun tersenyum ramah dan menyapa beberapa orang lansia yang kebetulan lewat, tipe manusia baik hati yang suka bersosialisasi, herannya entah kenapa bisa menikah dengan Dean yang picik itu. Apalagi anaknya yang sesat itu, padahal harusnya Tyler bisa mendidik anak dengan baik.
Setelah teh pesanan kami disajikan, Tyler menatapku penuh niat, dan lagi-lagi tersenyum tulus. Senyuman yang membuatku sedikit merasa bersalah menipunya demi teh gratis.
"Yue, boleh aku bertanya?" ucapnya sopan, menyerap tehnya dengan gerakan yang elegan.
"Tentu," balasku, tak berniat meminta bayaran seperti biasanya. Soalnya aku tak mau menambah rasa bersalah lagi, memeras laki-laki sebaik dirinya. Kalau anaknya sih aku tak peduli. Vance, kan jauh lebih jahat dariku, jadi tak masalah memerasnya.
"Apa yang kau sukai dari anakku?"
"Uhuk!" pertanyaan apa itu!? Bahkan baru pertanyaan pertama saja aku sudah tersedak.
"Eh, um... sifat pekerja kerasnya, sama tekatnya yang kuat." Aku tergagap, berusaha berkata jujur.
"Jadi bukan karena wajahnya? Syukurlah."
"Kenapa bersyukur untuk hal seperti itu?" aku pun berbalik bertanya, ikut berminat pada obrolan tak jelas ini.
"Karena wajah Vance itu tampan, jadi sejak kecil banyak yang mendekatinya karena wajahnya dan harta Dean. Awalnya Vance tidak peduli, dia berpikir hubungan simbiosis mutualisme itu normal, tapi lama-lama dia jadi tak bisa mempercayai siapa pun. Dari dulu aku selalu mengkhawatirkan kehidupan Vance yang tertutup, tak pernah bermanja atau bergantung pada siapa pun," jelas Tyler panjang lebar.
Aku terkejut, ternyata Tyler juga menyadari sisi lemah yang coba Vance sembunyikan. Jika begitu, bukannya ia begitu peduli pada Vance? Lalu kenapa Vance masih harus berpura-pura di hadapannya?
"Tapi bukannya Vance amat manja sama kalian?"
"Memang terlihat seperti itu, tapi saat menghadapi masalah serius dia selalu menyembunyikannya dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Vance itu mandiri, dia menolak bersekolah sejak kecil dan mulai bekerja diam-diam sejak umur lima tahun."
"Dan itu yang membuatmu mengkhawatirkannya?" tebakku, menimpali penjelasannya.
Sekali lagi Tyler tersenyum, walaupun matanya menerawang ke luar jendela. Memperlihatkan sebuah perasaan asing yang berhasil menyentuh hatiku.
"Iya, maka dari itu, saat melihat Vance bermanja padamu kemarin dan tadi di depan perapian. Aku merasa kalau kau bisa mengubahnya, memberikan kehidupan yang lebih baik padanya." Serius dia berpikir demikian!? Apa Tyler masih akan berpikir seperti itu kalau tahu aku memeras anaknya!?
"Hem, tapi kami sungguh tak punya hubungan apa pun dan kami sama-sama normal, Tyler. Kurasa Vella dan Feyrin menipumu dengan mengatakan kalau kami berpacaran." Yah sudah, aku jelaskan saja kebenarannya, tak mau Tyler semakin salah paham.
"Kurasa kalian hanya belum menyadarinya, aku tahu apa yang kukatakan, Yue. Sejak awal aku sudah tahu semua tipuan Vance, Vella dan Dean." Oh, ternyata ia sudah tahu.
"Lalu kenapa kau pura-pura tak tahu?" Lihat, aku bahkan jadi begitu penasaran padanya sekarang.
"Karena aku suka mengikuti permainan mereka, lagi pula mereka tak benar-benar menipuku untuk masalah penting. Hanya tipuan untuk tujuan persaingan ego mereka, atau sekadar mencoba menyembunyikan perasaan mereka sesungguhnya. Mereka bertiga terlalu egois, denial dan angkuh untuk sakedar mengatakan kalau mereka sayang dan peduli. Jadi tak masalah kalau aku pura-pura tak menyadari tipuan itu."
Hem... jadi begitu, sekarang aku mengerti. Tapi masih ada yang mengganjal pikiranku.
"Kalau begitu harusnya kau tahu aku hanya tertarik pada uang anakmu saja, yakin masih ingin menitipkan Vance padaku?" tantangku, mencoba mengali jalan pikirannya.
"Aku tahu, tapi itu menurutmu. Di mataku, kalian tampak saling tertarik satu sama lainnya, saling terbuka dan memahami. Suatu saat kau akan bisa memahaminya Yue dan aku ingin kau tahu kalau aku dan Dean selalu ada dipihakmu."
Aku terdiam, menundukkan kepala saat mendengar kata-kata tulus seperti itu, kata-kata penuh kepercayaan pertama yang kuterima sejak lahir.
Tangannya yang mengusap rambutku terasa begitu hangat, mencairkan kekakuan di dalam diriku. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa bahagia, mulai berharap benar-benar bisa menjadi anak mereka.
"Kenapa menangis, Yue?" Tyler kembali bertanya dengan cemas, mengangkat daguku agar tatapan kami beradu.
"Aku tak tahu, kupikir aku tak punya air mata dan emosi." Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku menangis, kapan terakhir kali aku memikirkan hal lain selain uang dan seni, serta kapan terakhir kali aku menginginkan sebuah ikatan dengan orang lain.
"Kau pasti berpikir kalau aku ini laki-laki yang lemah kan?"
"Tidak, menangis itu wajar, Yue. Bersedih dan meneteskan air mata saat terluka itu manusiawi, justru orang yang tak bisa menangislah orang yang sesungguhnya berhati lemah. Karena ia tak bisa mengakui, merelakan dan meninggalkan masa lalu."
"Seperti Vance?" eh, apa yang kukatakan!? Kenapa aku malah tiba-tiba teringat pada pria angkuh sesat itu.
"Ya," dan kenapa Tyler malah langsung mengakuinya? Aku sungguh takjub atas sikap terlalu pengertiannya. Padahal orang tua pada umumnya pasti akan marah anaknya dicela seperti itu.
"Karena itu, maukah kau menolong Vance? Tak perlu melindunginya, kau hanya perlu memberikan tempat beristirahat saat ia lelah." Malahan Tyler meminta sesuatu seberat itu dengan nada memohon padaku.
"Aku tak bisa."
"Kau bisa, bahkan sebenarnya saat ini Vance telah menempatkanmu dalam salah satu ruang di hatinya."
"Aku serius Tyler, aku hanya pengasuh Rin, b***k yang bisa Vance suruh-suruh."
"Vance, kan denial, jadinya dia tak bisa jujur. Kalau kau cuma sebatas itu baginya, sudah lama kau dibunuh oleh Vance karena mencuri perhatian Vella dan Feyrin. Aku tahu benar seberapa gila anak yang kubesarkan, Yue."
Deg. Menakutkan....
Setelah itu, tak ada lagi pembicaraan apa pun, ekspresi wajah sangat yakin Tyler saat mengucapkan kalimat terakhir itu benar-benar telah membuat nyaliku ciut.
Bagaimana bisa dia mengucapkan hal sesadis itu dengan ekspresi wajah serius dan senyuman yang terlihat amat tulus? Sekarang aku mengerti kenapa Vance dan Dean sangat takut padanya.