Kana tidak menyesali tubuhnya yang gendut serta latar belakang hidupnya yang pas-pasan. Mamanya hanya buruh cuci yang memiliki rumah yang cukup besar hasil pembagian harta gono gini perceraian. Saat masih terikat pernikahan, suaminya, Dedi, bekerja sebagai satpam di rumah sakit pemerintah. Sampai sekarang, Kana tidak tahu persis alasan perceraian keduaorangtuanya. Yang dia ingat, sebulan setelah pertengkaran, Ayah Kana pergi dari rumah tanpa mengucapkan selamat tinggal untuk Kana dan Yuna. Sikap Ayah Kana juga sama dengan mamanya yang tak acuh terhadap dirinya.
Kana pernah mempertanyakan dirinya, apakah dia hanya seorang anak pungut, sehingga keberadaannya begitu tidak disukai di keluarga dan lingkungannya. Kana pun nekad menanyakan bidan yang menangani kelahirannya. Bidan yang baik hati itu tertawa kecil mendengar pertanyaan si kecil Kana. Ternyata Kana Ranjani memang anak kandung dari Asih dan Dedi. Saat mengandung Kana, mamanya mengalami stress berat hingga makan tidak teratur. Stress memikirkan hutang yang menumpuk akibat cicilan barang yang kerap dibeli Dedi. Dedi juga terlibat judi online. Mungkin itu juga berpengaruh dengan pertumbuhan Kana setelah lahir. Setelah lahirpun, pola makan Kana tidak diperhatikan mamanya. Namun tidak itu saja yang membuat Kana bertubuh tambun dan tinggi, ayahnya memiliki tubuh yang sama dengannya. Sayang sekali, bidan yang baik hati itu pindah tugas ke kota Bandung beberapa tahun lalu. Padahal Kana senang dengan sikapnya yang tidak membeda-bedakan.
Kini Kana hanya bisa pasrah dan diam saat diejek atau disindir sana sini. Kana terbiasa dengan kesendirian dan berusaha bersikap baik kepada siapapun. Sepertinya itu memang jalan terbaik. Pernah suatu hari dia mencoba melawan teman-temannya yang mengejek, yang muncul di kemudian hari malah semakin banyak yang membenci dan mengejeknya dengan mengungkit-ngungkit kejelekannya. Anak gajah, anak babon, anak kingkong, sudah menjadi kata-kata yang biasa dia dengar. Belum lagi wajah-wajah sinis dan enggan melihatnya sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi Kana. Hingga pada saat titik di mana Kana merasa heran jika wajah sinis atau kata-kata menyakitkan tidak dia dengar atau dia lihat. Harinya akan terasa sangat aneh. Yah, walaubagaimanapun, kesedihan mendalam tetap saja Kana rasakan. Kana sabar luar biasa.
Melihat kakaknya yang tampak berhati riang, Kana dekati Yuna yang duduk di kursi tamu, sedang memainkan ponsel. Tampak Yuna sedang melihat-lihat foto-foto dan video seorang pria berwajah tampan sedang memamerkan suasana kerja di kota Jakarta.
Kana duduk sambil membawa cemilan kacang rebus.
"Mau kak?" tawar Kana yang duduk sedikit berjarak dari kakaknya.
Yuna lirik semangkuk kacang rebus yang Kana letakkan di atas meja.
"Boleh. Mama lagi masak ya?"
Kana mengangguk.
"Baru selesai."
"Masih ada nggak di dapur?"
Kana mengangguk lagi. "Mau semua?" tanyanya.
"Iya."
"Ambil aja kak." Kana memang suka berbagi.
Kana biarkan Yuna melahap kacang rebusnya yang memang tidak banyak. Kana tidak mempersoalkan seandainya dia kembali ke dapur dan kacang rebus sudah tidak tersisa. Yang penting Kak Yuna senang hati.
"Tadi itu kakak liat calon suami ya?" tanya Kana pelan.
"Iya. Ganteng kan?" balas Yuna dengan mata binarnya.
"Iya. Ganteng."
"Sudah kenalan, Kak?"
"Sudah dong. Tapi ya lewat medsos aja. Dia sibuk ngurus uang pesangon."
"Oh. Mau resign ceritanya?"
"Iya. Katanya puluhan juta. Lumayan buat modal nikah sama kakak."
Kana manggut-manggut. Dia semakin tidak mengerti keadaan calon suami kakaknya. Menikah, lalu berhenti dari pekerjaan dan memulai dagangan di rumahnya? Kaya atau gimana sih? Kana mulai khawatir Mama dan Kak Yuna termakan omongan iming-iming saja dari pihak calon suami Kak Yuna.
"Dia kerja di pabrik ya, Kak?" tanya Kana hati-hati. Uwak Ita sudah menceritakan kepada Kana perihal jati diri calon suami kakaknya. Tapi Kana ingin langsung mendengar dari Yuna.
"Iya. Tapi di bagian administrasi. Jadi gajinya belasan juta," decak Yuna sambil mengibas rambutnya yang hitam lebat dan berkilau. Dia bangga dengan calon suaminya.
"Oh," desah Kana. "Sudah berapa lama dia kerja?" tanyanya ingin tahu.
"Hm, nggak tau persis. Dia bilang selesai SMA dia sudah bekerja di sana. Jadi dia bisa mengumpulkan uang banyak dan beli apartemen dan satu mobil," jawab Yuna lagi.
"Oh...." Kana semakin curiga. Tamat SMA kok bisa langsung digaji dua digit?. "Trus dia pindah ke rumah ini dan buka usaha?"
"Kamu nanya atau cuma mastiin?" Yuna balik nanya. Wajahnya berkerut.
Kana tersenyum simpul melihat wajah cantik kakaknya yang berubah sewot. Yuna memang cantik meskipun marah-marah.
"Dia sudah capek kerja dan kepingin menikah dan buka usaha bareng. Kalo di Jakarta sudah banyak saingan. Di sini warung makan dan warung kelontong masih jarang. Jadi dia mikir kesempatan dapat untung banyak lebih besar dan cepat daripada di Jakarta," jelas Yuna.
Wajah Kana berkerut sekilas. Bukannya buka usaha di Jakarta lebih menjanjikan, daya beli di sana jauh lebih tinggi karena penduduk Jakarta sangat banyak.
Kana amati wajah Yuna yang semangat penuh harap.
"Kakak nggak mau lanjut sekolah gitu?" tanya Kana hati-hati.
Yuna hela napas panjang. Lalu menggeleng.
"Mau nikah aja ah. Liat-liat di IG nikah muda lebih baik. Kebayang nanti punya anak pas gedenya keliatan seumuran gitu. Lucu deh."
"Oh."
"Kamu tau temen aku yang namanya Febri?"
"Ya."
"Dia sudah menikah."
"Oh ya? Kapan?"
"Bulan lalu di kampung mamanya di Cibodas. Nikahnya sama bapak-bapak empat puluh lima. Nggak seganteng calon aku. Kebunnya banyak. Febri kerja bareng ikut suaminya. Sekarang Febri sering liburan ke Malaysia. Asyik deh."
"Oh."
Kana terpana mendengar penjelasan kakaknya mengenai pernikahan. Menurutnya kakaknya pintar tapi naif. Tidak teliti dengan calon suaminya yang katanya ganteng dan berduit banyak. Seharusnya nasib kakaknya seperti Febri yang setelah menikah ikut suami dan bekerja sama lalu bersenang-senang. Ah, Kana tidak mau lagi bertanya-tanya. Bukannya ikut bahagia dengan rencana pernikahan kakaknya, justru Kana merasa khawatir dan yakin hari-harinya akan terganggu. Apalagi nanti dia akan menginap satu kamar dengan Uwak Ita yang bau dan kotor.
***
Hari pernikahan Yuna semakin dekat. Walaupun Yuna tidak meneruskan pendidikannya, dia tetap semangat belajar agar bisa lulus dengan nilai terbaik. Sebaliknya, Kana malah tidak sesemangat sebelumnya. Mamanya sudah memutuskan bahwa dia tidak akan lanjut ke jenjang SMA. Kana sudah didaftarkan mamanya ke penyalur asisten rumah tangga dan bekerja setengah hari di rumah-rumah. Usia Kana belum cukup, karenanya dia didata secara ilegal oleh penyalur.
Kana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia pasrah saja dengan keadaannya. Parahnya, mamanya sudah menghitung-hitung gaji yang akan Kana dapat, dan dia akan mengambil penuh setiap bulannya, dengan dalih memasak dan memenuhi kebutuhan hidup Kana sehari-hari. "Nanti sebagian Mama tabung, untuk pakaian dan modal bekerja kamu juga, supaya penampilan kamu nggak lusuh begini," ujar mamanya dengan nada membujuk. Wajah mamanya manis sekali waktu mengutarakan rencananya di depan Kana. Hingga Kana terbujuk dan senang melihatnya. Kana jadi bertekad akan bekerja keras untuk membahagiakan mamanya. Segala cita-cita dan keinginannya dia tepis. Kana ingin mamanya bahagia.
Bersambung