Kana diam berpikir. Sayang kalau kak Yuna langsung menikah setelah selesai sekolah. Kana lebih setuju jika Yuna meneruskan kuliah dan bekerja di tempat yang lebih baik. Ganteng? Kerja di perusahaan makanan? Punya apartemen dan akan disewakan, lalu buka usaha kecil-kecilan di rumah ini? Kana menyayangkan semuanya.
Kak Yuna bisa mendapatkan lebih dari laki-laki itu, seorang pegawai pemerintahan misalnya, yang Job securitynya lebih menjanjikan dan hidup kak Yuna lebih terjamin, karena akan banyak beragam tunjangan. Itu yang Kana pikirkan. Seperti Ryan, teman sekelasnya, misalnya, yang keduaorangtuanya bekerja di kantor pemerintahan kabupaten. Rumah Ryan lumayan bagus dan besar serta ada dua mobil dan tiga sepeda motor.
"Kak Yuna sudah mau?" tanya Kana. Meskipun Yuna bersikap cuek kepadanya, Kana tetap memikirkan hal-hal baik untuk kakaknya itu.
Uwak Ita tertawa sinis sambil mengamati Kana.
"Kenapa emangnya? Cemburu kakakmu sudah dipinang?" decaknya sambil mengurut-urut dua kakinya.
"Bukan begitu, Wak. Aku kan cuma nanya. Menurutku lebih baik Kak Yuna sekolah lagi," tanggap Kana bijak.
"Duitnya dari mana? Kamu ngomong kayak orang punya aja," rutuk Uwak.
"Yah. Sekarang kan banyak tawaran beasiswa," ujar Kana. Dia sudah selesai makan siangnya.
Kana mulai membereskan meja makan dan membersihkannya. Kana juga mencuci piring-piring yang sudah menumpuk. Uwak Ita malas membantu pekerjaan rumah di rumahnya. Apalagi jika Kana sudah pulang ke rumah. Jika Uwak Ita duduk-duduk selonjoran di dekat pintu dapur, itu artinya dia hanya ingin bermalas-malasan. Padahal usianya masih tergolong muda dan sebenarnya masih sanggup bekerja.
"Alah. Kuliah nggak penting-penting amat sekarang. Banyak yang kuliah banyak juga yang nganggur. Tuh anak Mak Endah yang punya warung, kuliah jauh-jauh di kota Jakarta, ujung-ujungnya cuma bantu mamanya jualan," gerutu Uwak Ita.
Kana tertawa sinis. Itu yang Uwak Ita lihat dari permukaan. Padahal Kana sangat tahu akan kehidupan Mak Endah sejak anak tertuanya lulus kuliah. Dagangan semakin laris dan warung yang tertata lebih rapi dari sebelumnya. Dagangan Mak Endah juga dijajakan secara online, sehingga keuntungan berlipat karena bertambahnya pelanggan. Dengar-dengar anaknya akan buka cabang di kantor lurah. Uwak Ita kurang peka dengan keadaan sekitar. Dia hanya termakan isu-isu liar seputar tetangga yang iri saja dengan Mak Endah. Kana menyesalkan keputusan mamanya seandainya Kak Yuna benar-benar menikah setelah menyelesaikan sekolahnya.
Dapur sudah rapi dan bersih. Saatnya mandi dan istirahat. Kana sempat pula melirik pintu kamar Kak Yuna yang tertutup. Kana mengira kakaknya dan Mama sedang pergi ke suatu tempat dan dia tidak tahu ke mana, karena pintu kamar mamanya juga tertutup. Mamanya memang sangat suka jalan-jalan bersama Kak Yuna ke pasar. Apalagi sekarang masih awal bulan.
Kana tersenyum tipis, berharap malam ini dia makan enak.
***
Malam itu Kana memang makan enak. Mamanya membelikannya sebungkus sate ayam Madura kesukaannya. Tapi ya begitulah, jika mama, Kak Yuna atau Uwak Ita makan di depan meja makan di dapur, Kana tidak 'disarankan' untuk duduk makan bersama. Sedari kecil Kana cukup tahu diri bahwa kehadirannya di ruang makan mengurangi selera makan anggota keluarganya.
Sejak Yuna berdecak sebal saat makan bersamanya beberapa tahun lalu, Kana tidak mau lagi makan di ruang makan. Kak Yuna bercerita ke mamanya bahwa selera makannya berkurang, jika melihat Kana makan bersamanya. Saat-saat makan berikutnya, mamanya ikut sebal melihat Kana. Sampai sekarang, Kana sendiri yang memutuskan untuk makan terpisah dari mereka. Kana makan di sisi dinding ruang tamu sambil menyender. Kecuali jika mereka tidak ada di depan meja makan, barulah Kana di sana sendirian.
Malam ini Kana makan sangat lahap dan perasaan senang. Senang mendengar gelak tawa canda yang berasal dari dapur. Asih dan Yuna bercerita ke Uwak Ita bahwa Raka, anak Mulyani langsung menyatakan kesediaannya menikah dengan Yuna setelah Yuna tamat SMA. Terdengar Kak Yuna merengek manja ke mamanya bahwa dia sangat siap diajak menikah. Dia menjerit senang karena gagahnya sang calon suami, bak artis India. Uwak Ita mengutarakan ketidaksabarannya karena dia ternyata diajak ikut berdagang di depan rumah nantinya setelah Raka dan Yuna menikah.
"Uwak nanti kalo ikut jaga warung, ya digaji," ucap Asih sambil meraih piring bekas makan Yuna dan menumpukkannya di atas piringnya yang sudah kosong dari makanan.
"Wah. Kira-kira berapa gajiku ya," decak Uwak Ita dengan wajah berbinar-binar. Dia sudah membayangkan akan memegang uang di setiap bulannya dan mengumpulkannya untuk membeli perhiasan.
"Mungkin lebih besar daripada penjaga warung Mak Endah," ujar Yuna sok tahu. Dia menilai Raka berduit banyak karena sudah memiliki sebuah apartemen di Jakarta. Yang Yuna tahu, apartemen di Jakarta besar-besar dan berperabotan mahal dan mewah. Dia pernah melihat penampakan sebuah apartemen di iklan-iklan yang ada di layar televisi.
"Emangnya gaji penjaga warung Mak Endah berapa, sih?" tanya Uwak Ita ke Asih yang bangga dengan kecantikan Yuna sehingga dengan mudah mendapat jodoh dan dia bisa hidup tenang. Asih membayangkan hidupnya yang akan lebih mudah karena dia tidak perlu bekerja keras. Yuna dan Raka akan berusaha dan menghasilkan uang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam kehidupannya.
"Wah. Kurang tau. Delapan ratus ribu kali? Tapi makan dan rokok sudah ditanggung Mak Endah," gumam Asih.
"Kalo begitu aku digaji sejuta lumayanlah," ujar Uwat Ita seraya menatap Yuna dengan penuh harap.
"Duh, Wak. Belum juga nikah sama Raka," ujar Yuna malu-malu.
"Yah. Mengkhayal dapat gaji sejuta sebulan nggak salah kan. Semoga saja kamu jadi menikah dengan Raka," ujar Uwak Ita.
Kana tersenyum menggeleng mendengar celoteh keluarganya di dapur. Dia saja mulai khawatir dengan rencana pernikahan yang sangat tiba-tiba dan cepat. Kak Yuna belum mengenal Raka siapa dan bagaimana latar belakangnya. Kak Yuna semestinya berhati-hati dan jangan langsung mengiyakan atau menuruti kata-kata Mama.
Kana sudah menghabiskan sate Maduranya. Dia lipat kertas bekas makannya dan memasukkannya ke dalam plastik hitam. Kana bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar rumah. Kana buang sampah makanannya ke dalam tong sampah yang ada di depan pekarangan rumahnya.
Kana bersendawa. Dia sangat kenyang.
Dia kembali masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di posisi yang sama di sisi dinding. Dia teguk segelas air hangat hingga habis. Perasaan hangat menerpa dalam diri Kana. Kana mengkhayal bisa tidur nyenyak dengan perut besarnya yang kenyang.
Baru saja dia hendak masuk kamarnya, mamanya memanggilnya.
"Ya, Ma?"
"Sudah makan?"
"Iya."
Asih duduk bersila di atas tikar plastik yang terbentang di tengah ruang tamu.
"Jangan langsung tidur habis makan. Makanya badan kamu melar nggak karu-karuan. Pijet punggung Mama dulu," suruh Asih dengan wajah bersungut.
Kana duduk di belakang punggung mamanya.
"Ambil minyak dulu di kamar Mama, Kana," suruh Asih lagi.
"Lho. Biasanya nggak mau pake minyak pijet," gerutu Kana.
"Mama capek malam ini. Tadi habis kerja langsung jalan ke pasar sama Kak Yunamu."
Kana bangkit lagi dari duduknya. Sedikit merasa sebal dengan suruhan mamanya. Kenapa Mama tidak langsung saja memintanya mengambil minyak pijat sebelum dia duduk. Ini kesekian kalinya mamanya seperti sengaja melakukannya, biar amarah Kana terpancing dan Mama bisa seenaknya menghina dan mencaci Kana. Kana pernah mengalaminya. Itu sangat menyakitkan perasaannya.
Bersambung