Hamdan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat begitu selesai ia langsung beranjak dari kursinya ke sofa. Ia rebahkan tubuhnya yang tinggi menjulang itu ke atas sofa. Ia merasa lelah belakangan ini, entah kenapa fikirannya mulai terusik dengan nama Sekar, istri keduanya.
Ia ingat semalam Rahma menyadarkan dirinya tentang perasaan istri keduanya itu. Ternyata Sekar mulai mencintai dirinya dan itu berat untuk Hamdan. Hamdan tahu tak baik bersikap dingin dengan istrinya sendiri, namun, ia tak bisa terlalu dekat dengan Sekar karena ia tak mau membuat sakit hati istri pertamanya. Walau semua ini terjadi karena istri pertamanya sendiri.
Hamdan benar-benar pusing tentang hal ini. Hatinya hanya mencintai Rahma, ia tak mau jika hatinya terbuka untuk Sekar. Karena ia telah berjanji hanya akan mencintai Rahma seorang. Hamdan memejamkan matanya mencoba menghilangkan semua fikiran-fikiran itu.
“Assalammualaikum,” ucap seseorang. Hamdan langsung bangun dan membalas salam. Ternyata sahabatnya Adnan. Adnan melangkah dan duduk di samping Hamdan.
“Kenapa?” tanya Adnan.
“Pusing.”
“Kerjaan?”
“Rumah.” Adnan agak tersentak sedikit pasalnya Hamdan tidak pernah mengeluh masalah rumah tangganya. Kenapa tiba-tiba mengeluh begini.
“Kenapa?” Hamdan melirik Adnan lalu menggeleng dan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya.
“Nggak biasanya kamu seperti ini.” Adnan menaruh berkas yang ia bawa untuk Hamdan. Lalu fokus pada sang sahabat.
“Bingung aja sama rumah tanggaku sekarang ini, bingung mau bersikap bagaimana. Setiap langkah yang aku ambil seakan salah saja. Entahlah ….”
“Apakah ini tentang istrimu?” Hamdan mengangguk.
“Bukankah istrimu itu tidak pernah membuat masalah, kau bilang sendiri bahwa Rahma itu istri yang sangat sempurna?”
“Ini tidak seperti yang kamu pikirkan Adnan. Sudahlah aku sendiri bingung menjelaskannya bagaimana.”
“Jadi intinya?”
“Tidak ada intinya.” Hamdan bangun dan mengambil berkas milik Adnan lalu ia bawa ke mejanya dan mulai memeriksa satu persatu. Adnan menghela nafas, sahabatnya ini sulit sekali terbuka untuk masalah pribadi.
“Aku tahu kamu bisa mengatasi masalahmu, Hamdan. Aku tidak tahu apa, tapi, aku yakin jika kamu melakukannya dengan hatimu maka semua akan berjalan dengan baik. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah tanggamu, yang jelas istrimu itu mudah untuk di atur dan di nasehati. Perlahan saja kamu beritahu jika memang ada yang salah, katakan apa yang mengganjal di hatimu. Mungkin istrimu membuat kesal karena tengah hamil muda.”
Hamdan terdiam dengan ucapan Adnan. Katakan apa yang mengganjal di hatinya?
*****
Hamdan pulang dan melihat kedua istrinya tengah duduk di ruang tamu. “Assalamualaikum?” Rahma dan Sekar lantas menjawab salam. Rahma yang melihat Hamdan langsung bangun dan mencium punggung tangannya. Sekar dengan canggung berdiri dan menghampiri Hamdan. Hamdan menjulurkan tangannya untuk Sekar bersalaman. Sekar pun mencium punggung tangan Hamdan perlahan lalu Rahma memberikan tas dan jas milik Hamdan ke Sekar.
“Taruh di kamar ya.” Sekar mengangguk saat Sekar balik badan Hamdan langsung di dorong oleh Rahma untuk ikut bersama dengan Sekar. Hamdan menoleh hendak protes namun Rahma langsung menyipitkan matanya.
Hamdan pun mau tak mau mengikuti Sekar ke kamar dirinya dan Rahma karena memang semua perlengkapan Hamdan ada di kamar Rahma.
Hamdan melihat Sekar tengah menaruh tas dan jas miliknya dengan rapih di tempatnya, sepertinya Sekar tidak sadar jika Hamdan mengikuti dirinya. Saat ia berbelok hendak keluar kamar Sekar tersentak melihat Hamdan berdiri di belakangnya.
“Mas ….” Hamdan melangkah maju dan memperpendek jarak mereka. Membuat jantung Sekar berdetak kencang.
“Terima kasih sudah menaruh tas dan jas ku.” Hamdan melewati Sekar begitu saja, ia masih tidak bisa berlama-lama bicara dengan Sekar di tambah ia tahu perasaan sang istri keduanya. Sekar pun memilih pergi dari kamar itu meninggalkan Hamdan seorang diri. Hamdan langsung terduduk dengan lemas karena merasa sangat aneh bersikap dingin dengan sahabat sang istri yang kini menjadi istrinya itu.
Hamdan bukan tipe pria dingin sebenarnya, tapi, entah kenapa denga Sekar ia merasa harus bersikap demikian, ia takut jika Rahma akan kecewa padanya dan marah. Walau mungkin itu mustahil karena Rahmalah yang meminta hal ini terjadi.
Hamdan tersentak saat mendengar pintu terbuka dan melihat Rahma masuk dengan wajah kesalnya. Hamdan sudah bisa menebak kenapa istrinya begitu.
“Mas, tidak bisakah ….”
“Tidak bisakah kamu biarkan Mas istirahat dulu?” potong Hamdan cepat. Rahma tersentak ia lalu menunduk karena merasa bersalah namun juga tersinggung dengan Hamdan yang memotong omongannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Rahma keluar dari kamar meninggalkan Hamdan.
Hamdan benar-benar merasa kesal hari ini. Kenapa juga Rahma itu tidak mengerti dirinya bahwa Hamdan itu tidak mau di atur-atur seperti ini. Hamdan tak peduli dengan Rahma yang tengah merajuk, ia memilih untuk tidur saja meredakan emosinya yang semakin naik ke ubun-ubun.
****
Sekar melihat Hamdan dan Rahma saling diam di ruang makan. Mereka makan malam dengan keheningan. Sekar yang menyajikan makanan jadi merasa bingung dengan mereka yang selalu terlihat romantis kenapa sekarang jadi dingin?
Namun, Sekar tak enak untuk bertanya, setiap keluarga pasti memiliki masalah dan Sekar tak mau ikut campur urusan rumah tangga sahabatnya itu. Mereka bertiga pun akhirnya makan malam bersama tanpa suara. Sekar hanya sesekali melirik Hamdan dan juga Rahma yang makan dengan tenang. Hamdan menyelesaikan makan malamnya lebih dulu ia pun lantas berterima kasih pada Sekar dan pergi begitu saja tanpa melirik Rahma.
Seperginya Hamdan Rahma meletakkan sendoknya dan menundukkan kepalanya. Sekar akhirnya tak kuasa lagi menahan rasa penasarannya. Ia pun meletakkan sendoknya dan menatap Rahma yang duduk di depannya.
“Ada yang mau kamu ceritakan padaku?” tanya Sekar. Rahma mengangkat kepalanya perlahan lalu mengangguk. Sekar pun bangun dari duduknya dan mengusap punggung Rahma lalu mereka pun beranjak dari ruang makan ke halaman belakang. Duduk di sofa berayun dan menatap air kolam yang tenang.
“Jadi?” Sekar mencoba membuka percakapan. Rahma mendadak terisak dan memeluk lengan Sekar. Ia tersedu-sedu di lengan Sekar hingga terasa baju yang Sekar kenangan basah. Sekar tak mencoba membujuk Rahma untuk bicara, ia biarkan sahabatnya itu untuk menumpahkan air matanya terlebih dahulu.
Begitu tenang Rahma melepas pelukkannya dan mengusap air matanya. Sekar yang melihat itu ikut membantu sahabatnya untuk menghapus air mata Rahma. Rahma menggigit bibir bawahnya saat melihat Sekar mengusap air matanya.
“Apa aku salah meminta suamiku untuk mencintamu?” Jemari Sekar terhenti lalu perlahan ia tarik dan menatap sahabatnya.
“Salah,” jawab Sekar tegas tanpa keraguan. Rahma tersentak dan menatap tak percaya pada Sekar.
“Apa yang salah? Suami ku adalah suamimu juga, kamu berhak mendapatkan cinta dari mas Hamdan.”
“Rahma, tolong jangan memaksakan dirimu untuk membantu aku mendapatkan cinta suamimu ….”
“Suamimu juga, Sekar!”
“Ya, maaf.” Sekar menarik nafas lalu melanjutkan ucapannya. “Jadi, jangan pernah kamu paksa mas Hamdan untuk mencintaiku, karena cinta itu tidak bisa di paksakan, paham kan akan hal itu, bagaimana jika posisinya di balik sekarang. Bagaimana jika kamu yang ada di posisi mas Hamdan. Apakah kamu mau menikahi sahabat mas Hamdan dan tidur dengannya tanpa cinta? Lalu mas Hamdan membujukmu untuk mencintai sahabatnya, apa perasaanmu?”
Rahma tersentak karena ia tidak akan pernah mau melakukan hal itu. Itu sangat menyakitkan untuknya terlebih karena ia hanya mencintai Hamdan seorang. Tunggu … itu artinya ia telah menyakiti hati suaminya dengan memintanya menikahi Sekar? Apakah Sekar juga merasakan hal yang sama?
“Apa kamu terpaksa menikah dengan suamiku?” Sekar diam. Ia tak tahu harus menjawab apa, ia takut jika Rahma akan tersinggung dengan ucapannya.
“Sekar, apa aku nampak egois?” Rahma terus bertanya. Sekar menyentuh pundak Rahma dan mengusapnya.
“Hanya kamu yang tahu jawabannya. Sekarang, temuilah suamimu, minta maaflah dan berjanji kamu tidak akan pernah ikut campur lagi tentang perasaannya terhadapku. Dengar, aku menikah dengan mas Hamdan karena kamu, kemauanmu, jadi sudah cukup bagi kami untuk mengikuti kemauanmu. Kamu butuh cinta dan kasih sayang yang lebih banyak.
“Kamu tengah mengandung, dan kalian juga saling mencintai satu sama lain jadi untuk apa kamu repot membujuk suamimu untuk mencintaiku. Aku menerima pernikahan ini atas dasar rasa terima kasih ku padamu. Tidak lebih.”
“Tapi, kamu mulai mencintai mas Hamdan kan?”
“Aku wanita yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari laki-laki selama ini, wajar jika aku mulai lunak dengan mas Hamdan. Namun, bukan berarti aku membutuhkan balasan cintanya. Aku cukup senang dengan berada di sini bersama kalian. Mas Hamdan itu hanya untuk kamu, tubuh bahkan hatinya. Rahma, jangan lagi kamu buat kecewa mas Hamdan dengan keinginan mu itu. Aku mohon.”
“Tapi, bagaimana denganmu, kamu kan istrinya juga masa nggak ada niatan untuk bisa dekat dengan suami sendiri?”
“Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Tapi, kamu kan berbeda, kamu yang selama ini mendapatkan kasih sayang dan cintanya. Aku nggak mau merusak itu semua, aku nggak mau mengambil yang bukan hakku. Itu sepenuhnya hakmu, Rahma.”
“Tapi ….”
“Rahma, sudah. Kamu tengah mengandung tidak baik memikirkan hal-hal berat dan tidak penting seperti ini. Bisa kan?”
“Kamu sungguh ikhlas?”
“Aku justru bertanya padamu, apa kamu sungguh ikhlas di poligami?”
“Aku tidak merasa di poligami tuh, karena istri kedua suamiku tidak mau dicintai suaminya,” cibir Rahma yang membuat Sekar tertawa kecil.