Rahma membantu Hamdan memakai kemeja putihnya. Dengan senyum mengembang ia melihat sang suami yang nampak gagah dan selalu gagah. Ia usap d**a sang suami dan ia kecup lembut. Tubuh Hamdan menegang mendapat perlakuan intim seperti itu.
“Mas, setelah ijab kabul, ijinkan Sekar menyentuh tubuhmu.” Hamdan tersentak hingga mundur satu langkah. Rahma menunduk tak menunjukkan raut wajahnya.
“Haruskah aku juga menidurinya dan mencumbunya setiap saat?” Rahma tersentak. Hamdan tersenyum sinis dan keluar dari kamar. Rahma menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ya, Mas, itu yang aku harapkan.
Rahma ikut keluar setelah mengusap air matanya dan berusaha untuk tersenyum. Ia masuk ke dalam kamar Sekar yang telah selesai di make-up. Rahma terkejut karena Sekar nampak berbeda. kecantikan Sekar yang sempat hilang seakan kembali di hari pernikahannya. Rahma terharu sekali melihat sang sahabat begitu cantik dengan kebaya yang dulu ia pakai untuk ijab kabul. Dan kini, ia bisa melihat kebaya itu lagi di pakai oleh sahabatnya untuk menikah dengan sang suami.
“Kamu cantik sekali, Sekar,” puji Rahma tulus. Ia sendiri tidak berdandan karena ia tak mau menampilkan kecantikkanya di depan banyak orang. Walau sebenarnya tak banyak karena hanya pihak terntu saja yang di undang sebagai saksi nikah. Tidak ada resepsi karena sang suami melarang.
Rahma menuntun Sekar yang berjalan dengan pincang menuju tempat ijab kabul yang di siapkan di ruang tamu. Sekitar 20 orang sudah duduk rapih di atas karpet dan ada satu meja kecil dengan tumpukan surat nikah yang harus di tanda tangani. Hamdan juga sudah duduk di sana, di depan penghulu dan di samping Putra sang kakak dari Sekar. Sekar tak sangka kakaknya akan hadir di pernikahannya ini. ia kira Putra akan marah dan murka dengan pernikahan yang di lakukan sang adik karena akan menjadi istri ke dua dari sahabatnya sendiri.
Namun sepertinya Putra tak peduli tentang itu. Ia hanya datang untuk menjadi wali bagi Sekar. Setelahnya ia akan langsung pergi karena tugasnya telah selesai. Jujur saja ia malas dan malu datang ke pernikahan sang adik yang akan jadi istri kedua. Adiknya itu memang tidak pernah bisa di andalkan semenjak orang tuanya tidak ada.
Untung saja ia memiliki sahabat yang bodoh karena merelakan suami yang sempurna untuk di bagi pada gadis cacat macam adiknya itu. Jika tidak, mungkin saja adiknya akan menjadi perawan tua hingga akhir hayatnya. Sudah tak ada lagi rasa peduli di hati Putra semenjak ia kenal dengan sang istri yang baru saja ia nikahi itu.
Ia menikah pun tidak di ketahui oleh Sekar karena ia malu memiliki adik yang cacat dan jelek. Namun, saat ia melihat Sekar dengan pakaian kebayanya membuatnya seakan terlempar ke masa lalu. Di mana sang adik yang cantik dan ceria selalu menempel padanya.
Betapa manjanya Sekar dulu mendadak terbayang di otaknya, rasa haru lantas menyelimuti hatinya. Hati nya bergetar melihat sang adik duduk di samping Hamdan sang calon suami. Hatinya mendadak pedih melihat sang adik akhirnya menikah dan akan memiliki keluarga baru.
Bagaimana rasanya Sekar yang menikah tanpa ada orang tua di sampingnya. Mungkin sama seperti yang ia rasakan dulu saat menikahi sang istri. Sendiri tanpa ada sanak saudara yang menemani hanya sebagian sahabat dan bos dari tempat kerjanya yang membantunya untuk menikahi gadis impiannya.
Putra mengusap air matanya karena tak sangka akan tetap menangis di hari pernikahan sang adik yang ia kira hanya akan membuat dirinya malu ini. melihat semua orang tak merasakan apa pun karena ini adalah pernikahan kedua membuatnya malu sendiri telah menuduh adiknya yang bukan-bukan.
Rahma sang sahabat pun duduk di belakangnya sembari mengusap punggung Sekar untuk menguatkan. Bagaimana bisa adiknya memiliki orang-orang yang begitu baik dan sayang padanya. Padahal ia sebagai kakak kandungnya merasa telah membuangnya dan tak mengakui keberadaanya lagi.
Putra mendadak malu. Ia tak sanggup menatap sang adik yang terus menunduk.
****
Hamdan mengucap ijab kabul dengan kesalahan dua kali karena selalu menyebut nama sang istri. Ia merasa sangat tidak nyaman berada di sini. Kenapa juga ia harus mengikuti permintaan sang istri yang tidak masuk akal ini. Hamdan melirik Rahma yang menyentuh punggungnya. Rahma tersenyum dan memberikan dukungannya.
Hingga ijab kabul terucap dengan sempurna.
Satu ruangan mengucap serentak kata ‘SAH’ dan terdengar gumaman alhamdulillah.
Setelah proses ijab kabul dan tanda tangan surat nikah siri. Beberapa orang nampak pulang ada juga yang makan. Orang tua Hamdan dan Rahma mendekat ke arah pengantin baru. Sampai Putra sendiri harus mundur untuk memberi tempat.
“Ayah masih bingung dengan keputusan ini, tapi, ayah tetap merestui kalian. Demi kamu Rahma dan calon cucu ayah. Ayah harap kamu tidak menyesali perbuatan mu ini.”
“Tidak ayah, insyaAllah aku tidak akan pernah menyesal membuat bahagia sahabatku.”
Hamdan masih geleng-geleng kepala karena istrinya benar-benar berjiwa besar. Kedua orang tua itu pun mendoakan pasangan baru itu agar bahagia dengan rumah tangganya. Orang tua Rahma sendiri entah kenapa tidak merasa marah dengan Sekar karena ia tahu sikap anak dari sahabatnya itu.
Sekar adalah gadis yang baik dan pendiam. Beda dengan Rahma yang ceria dan banyak teman. Justru kedua orang tua Rahma merasa bangga dengan anaknya yang bisa ikhlas merelakan suaminya untuk berpoligami.
Setelah orang tua Hamdan dan Rahma pamit pulang. Tinggalah Putra yang masih di sana. Entah kenapa ia seperti enggan untuk pulang lebih dulu. Ia mendekat ke arah Sekar dan berdiri dengan canggung.
“Sekar.”
“Terima kasih, Kak, sudah mau menjadi waliku,” ucap Sekar.
“Dek, Kakak minta maaf, karena telah menelantarkan kamu di kampung. Kakak ….”
“Kak Putra, Sekar baru bahagia sekarang, tolong, jangan buat ia ingat lagi tentang masa lalunya yang menyedihkan itu. Bisa kan kak?” Putra melihat ke arah Rahma yang memeluk lengan Sekar.
“Rahma, terima kasih ya, kamu mau membantu adikku.”
“Ya, tentu saja karena Rahma tidak tega melihat Sekar menderita sendirian di kampung.” Putra bagai tertusuk pisau di dadanya. Kata-kata Rahma adalah tusukkan yang pas untuknya.
“Saya minta maaf, Rahma.”
“Udah kak, udah di maafin kok, karena kakak udah mau datang sebagai wali Sekar, artinya kakak masih menganggap Sekar adalah adiknya.” Rahma nampak berusaha untuk mempercepat pertemuan Sekar dan Putra. Karena Rahma merasa Putra tak tulus mendekati sang adik.
Putra pun akhirnya pamit pada mereka semua.
****
Malam pun datang, di mana untuk pasangan pengantin adalah malam yang di tunggu-tunggu. Namun, tidak bagi Hamdan mau pun Sekar. Mereka memang ada di dalam kamar yang sama namun terlihat sangat canggung dan tak nyaman.
Hamdan masuk ke dalam kamar Sekar karena desakkan sang istri. Rahma merasa bahwa Hamdan harus memenuhi kewajibannya dan mengambil haknya. Namun Hamdan tak merasa harus seperti itu. Ia tak akan menyentuh Sekar walau Sekar meminta sekali pun. Ia menikahi Sekar karena bujukkan sang istri bukan kemaun dari dirinya sendiri. Ia tak mau menyakiti hati istrinya lebih dari ini.
“Mas Hamdan,” panggil Sekar dengan susah payah. Hamdan menoleh dengan malas. “Jika, jika Mas Hamdan tidak merasa nyaman tidur di kamar ini. saya-saya bisa tidur di luar jika Mas Hamdan mau.” Hamdan menarik nafas lalu bangun dari duduknya.
“Saya saja yang keluar.” Hamdan langsung keluar kamar tanpa mendengar jawaban Sekar lagi.
Rahma mondar-mandir di dalam kamar, entah kenapa rasa cemburu itu sekarang meruak di dadanya. Padahal ia yang meminta kenapa sekarang malah cemburu? Rahma selalu berfikir apakah mereka sekarang sedang bermesraan? Atau sedang b******u? Ah … fikiran itu terus saja mengganggu dirinya.
Rahma terus beristighfar agar hatinya tenang hingga pintu kamarnya terbuka dan masuklah Hamdan dengan cueknya dan melepas kemejanya asal. Ia seakan tak melihat Rahma. Setelah melepas kemeja dan celana panjangnya Hamdan langsung tidur di ranjang tanpa bicara apa pun.
Rahma bingung karena seharusnya suaminya di kamar sebelah, kenapa malah di kamarnya? Apakah terjadi sesuatu dengan mereka di kamar sebelah tadi?
Rahma mendekat dan mengusap lengan Hamdan.
“Mas ….”
“Aku lelah, tolong jangan ganggu aku.” Rahma tersentak dan diam. Ia tak boleh lagi memaksa suaminya jika memang suaminya tak ingin. Menuruti permintaan Rahma untuk menikahi Sekar saja itu sudah berat bagi Hamdan. Maka kini Rahma harus lebih mengerti mau sang suami. Ia harusnya bersyukur memiliki suami seperti Hamdan.
Laki-laki yang sangat baik dan mencintai dirinya. Ia bahkan rela menikahi sahabat Rahma agar Rahma tak bunuh diri. Suami mana yang rela melakukan hal itu semua?
Rahma menangis dan memeluk tubuh sang suami.
“Maaf kan aku, Mas, maaf.” Hamdan diam, dalam hati ia pun menangis karena telah melakukan poligami walau bukan atas kehendaknya. Namun, ia tahu jika hati istrinya pastilah lebih sakit dari pada hatinya. Walau apa yang di lakukan sang istri untuk kebaikan. Namun, tetap saja ini berat untuk mereka berdua.
Hamdan membalas pelukkan sang istri dan mengecup keningnya.
“Jangan paksa aku lagi untuk bersikap baik pada Sekar. Bila ia bersikap baik aku pasti akan berbuat baik padanya. Aku sudah memenuhi janjiku padamu, jadi aku mohon, jangan lagi kamu paksa aku untuk tidur dengannya. Kamu mengerti kan?” Rahma mengangguk.
“Aku hanya mencintaimu sayang,” bisik Hamdan.