Kehidupan Rahma dan Hamdan sangatlah bahagia. Hari-hari Rahma ia isi dengan merawat tanaman di rumahnya. Hamdan begitu menyayangi Rahma hingga Rahma tak boleh bekerja dan tak boleh mengurus urusan rumah tangga. Bagi Hamdan mengurus dirinya saja sudah cukup. Apalagi masalah ranjang, itu adalah hal yang paling Hamdan sukai.
Rahma adalah istri yang sholehah dan baik hati, ramah dan murah senyum. Hatinya benar-benar seputih salju dan membuat siapa pun nyaman di dekatnya. Namun, bila sudah urusan ranjang Rahma mampu menjelma bagai ular yang agresif. Itulah kenapa Hamdan sangat di mabuk cinta oleh sang istri.
Pernikahan mereka telah berjalan selama satu tahun, namun, tidak pernah ada yang namanya pertengkaran di dalamnya. Selelah apa pun Hamdan bila sudah sampai rumah maka ia akan kembali ceria dan semangat. Melihat wajah sang istri yang selalu cantik mempesona, dengan balutan gaun malam yang menggairahkan membuat dirinya lagi-lagi b*******h dan melupakan rasa lelah karena pekerjaan.
Itulah kenapa Hamdan selalu bersyukur dan berusaha membahagiakan Rahma bagaimana pun caranya. Dan herannya, Rahma yang memiliki suami kaya raya tidak lantas membuatnya menjadi wanita yang serakah atau hobby belanja. Rahma tetap sederhana, sesederhana cara berfikirnya.
Pakaian mahalnya adalah gaun-gaun malam untuk menyenangkan hati sang suami. Dan itu hanya di tunjukan pada sang suami. Rahma benar-benar paham adab berpakaian di depan sang suami.
Seperti malam ini. Hamdan pulang telat dan ia sangat kelelahan. Hamdan mengetuk pintu dan langsung di sambut oleh Rahma dengan senyum indah dan wajah cantiknya dengan make-up tipis yang membuat wajahnya cerah.
Hamdan tersenyum dan menjulurkan tangannya yang langsung di kecup dua kali oleh Rahma. Rahma memakai gaun malam dengan balutan kain luar yang lebih tebal. Sehingga lekuk tubuhnya tidak terekspos.
“Capek ya sayang?” tanya Rahma sembari meraih tas dan jas Hamdan. Hamdan mengangguk dan mengikuti Rahma ke kamar. Rahma nampak menaruh jas dan tas lalu menghampiri sang suami kembali. Hamdan menengadahkan kepalanya ke atas karena Rahma hendak membuka dasinya.
“Kamu selalu cantik sayang,” puji Hamdan di sela-sela Rahma melepas dasi lalu membuka kancing kemeja satu persatu. Rahma tak menjawab ia hanya tersipu malu walau sudah ratusan kali bahkan ribuan kali Hamdan mengatakan hal itu tetap saja Rahma merasa malu. Hamdan meraih kedua pipi Rahma hingga ia menatap sang suami yang tinggi.
“Apa kata dokter tadi?” tanya Hamdan sembari melirik perut rata sang istri yang tertutup gaun malam. Rahma menunduk lesu membuat Hamdan menjadi salah tingkah.
“Ehm … sayang, kalau tidak juga tidak apa-apa kok, jangan di fikirkan ya, kita kan masih muda, masih banyak kesempatan.” Hamdan mencoba menghibur sang istri. Rahma berlalu dari hadapan Hamdan membuat Hamdan semakin merasa bersalah.
Rahma nampak menarik laci dan mengambil sesuatu di dalamnya. Dengan kepala tertunduk dan wajah muram, ia berikan sebuah amplop coklat pada Hamdan.
“Apa ini sayang?” tanya Hamdan ragu-ragu.
“Bacalah.” Rahma menjauh lagi. “Aku siapkan air panas dulu untuk mandi.” Hamdan merasa sangat tidak enak hati. Harusnya ia sabar bertanya perihal kehamilan sang istri. Hamdan memang mendamba buah hati dari satu tahun lalu, namun, ia tidak bermaksud untuk membuat sang istri merasa tak nyaman.
Hamdan mendekat ke ranjang dan duduk di sana. Menarik nafas lebih dahulu barulah ia membuka amplop coklat itu. Dadanya berdebar tak karuan, ada rasa takut namun juga ada harapan. Tapi, melihat wajah muram sang istri seperti akan negatif kembali.
Setelah membaca bismillah ia pun membuka dan mengeluarkan kertas di dalam amplop sekaligus test pack. Test pack yang jatuh terbalik membuat Hamdan harus mengambilnya dan membaliknya.
“Apa ini?” Hamdan mencoba memperhatikan secara seksama. Ia terus memperhatikan garis merah yang ada di alat test pack tersebut. Seketika matanya melotot dan buru-buru membaca secarik kertas yang ia pegang. Tangannya gemetar dan bibirnya berkali-kali mengucap syukur. Hamdan menaruh kertas dan test pack di ranjang, ia langsung lari ke kamar mandi di mana sang istri tercinta tengah menyiapkan air mandi untuknya.
Dengan cepat Hamdan memeluk Rahma membuat Rahma tersentak kaget.
“Mas???” pekiknya.
“Mas sayang kamu, Mas cinta kamu, Mas sangat berterima kasih sama kamu, sayang.” Hamdan terus memeluk tubuh Rahma dan mengecupi punggungnya. Rahma tersenyum senang karena suaminya sesenang ini mendengar kehamilannya.
“Mas senang?”
“Sangat, Mas sangat senang. Terima kasih, terima kasih banyak istriku.” Tanpa sadar air mata Rahma menetes karena ketulusan sang suami yang begitu mencintai dan menyayanginya. Ia bahkan sangat emosional ketika mendengar kabar kehamilan dirinya. Rahma begitu beruntung.
****
Keberuntungan Rahma ternyata tidak menular pada sang sahabat Sekar. Karena Sekar justru tengah terbaring sakit akibat stres yang melanda dirinya. Hidup sendiri, tak memiliki lawan untuk bicara membuatnya semakin terpuruk. Sekar tak pernah berani untuk menelpon Rahma. Ia tak mau sahabatnya itu terusik ketenangannya karena dirinya yang payah ini.
Ia tak mau menjadi beban orang lain. Andai ia harus mati saat ini ia ingin mati dalam ketenangan. Sang kakak yang dulu sering memberi kabar pun sudah tak pernah lagi datang menjenguk atau menelpon. Sekar benar-benar mencari uang sendiri di kampung dengan modal menjahitnya yang semakin hari semakin berkurang karena kondisi fisiknya.
Wajah ayunya perlahan hilang di ganti dengan wajah yang kusam dan tak bercahaya. Hari-harinya ia habiskan untuk tiduran dan berzikir karena ia takut bila sewaktu-waktu nyawanya di renggut olehnya.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Saat ia benar-benar dalam kondisi sekarat Rahma datang dengan suaminya, Hamdan. Betapa terkejutnya Rahma ketika mendapati sahabat tercintanya yang selalu mengatakan baik-baik saja tengah tergolek tak berdaya di pembaringannya yang lapuk. Rumah peninggalan orang tuanya semakin ke sini semakin rapuh dan reyot saja. Rahma tak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya semenderita ini dan ia tak tahu. Ia bahkan bisa tertawa dan meneguk kebahagiaan di kota seorang diri. Ia merasa sangat bersalah dengan sang sahabat.
Tanpa persetujuan Sekar, di bawanya Sekar ke rumah sakit dan di rawat di sana hingga Sekar merasa lebih baik. Air matanya menetes karena lagi-lagi ia harus menyusahkan sahabatnya yang telah bahagia dengan sang suami di kota.
Rahma yang melihat itu langsung mendekat dan memeluk Sekar. Hamdan yang baru datang membeli makanan terharu melihat kedekatan dua wanita itu. Hamdan berdehem dan menaruh makanan di meja. Rahma melepas pelukkannya dan mengusap air mata Sekar.
“Makan dulu, kamu pasti lapar.” Hamdan menarik lengan Rahma dan menyuruhnya duduk lalu ia berikan berbagai macam makanan sampai Rahma cemberut. Sekar yang melihat itu tersenyum kecil. Hamdan melirik Sekar dan mendekat ke arahnya lalu ia pun memberikan bubur kacang hijau pada Sekar.
“Makanlah, kamu juga butuh makan agar tubuhmu bertenaga.” Sekar melirik Hamdan seperkian detik lalu mengangguk. Ia raih mangkuk bubur itu dengan tangan gemetar. Hamdan yang tahu itu langsung meraih kembali mangkuknya. Niatnya ia ingin meminta sang istri untuk menyuapi Sekar, namun melihat Rahma tengah asik makan ia tak tega.
“Rahma,”panggil Hamdan. Rahma langsung menoleh.
“Ya?”
“Bolehkah aku menyuapi sahabatmu?” Baik Rahma mau pun Sekar sama-sama tersentak. Sekar merasa sangat tidak enak karena Hamdan berani berkata begitu pada Rahma. Sekar tidak mau sahabatnya salah paham.
“Mas Hamdan, aku ….”
“Tentu saja sayang, Sekar pasti tidak bisa memegang mangkuknya sendiri.” Sekar tersentak dengan ketulusan hati Rahma yang dengan mudahnya mengijinkan suaminya untuk menyuapi Sekar. Bagaimana pun Sekar adalah orang asing.
“Tidak usah, terima kasih, biar saya sendiri saja,” tolak Sekar secara halus.
“Sekar, jangan bandel, kalau kamu makan sendiri nanti malah bikin repot semua pihak rumah sakit, karena buburnya tumpah di mana-mana. Udah nurut aja.” Sekar diam mendengar penjelasan Rahma. Hamdan pun tersenyum kecil dan menarik kursi untuk ia duduk.
Hamdan mulai mengaduk bubur kacang hijau di tangannya dan menyendoknya sedikit. Lalu dengan lugas menyuapi Sekar. Tatapan mata Hamdan benar-benar tulus. Setulus seorang sahabat.
“Terima kasih.” Hamdan hanya tersenyum dan menaruh mangkuk bubur yang tinggal setengah di meja. Ia pun mendekat ke arah Rahma dan duduk di sana.
“Udah makannya?” tanya Rahma. Hamdan mengangguk dan melihat jam tangannya.
“Sayang, ini sudah masuk waktu sholat, aku ke masjid ya.”
“Jum’atan ya?”
“Ya.”
“Tahu di mana masjidnya?”
“Gampang tidak ikuti orang-orang saja nanti.” Rahma tertawa kecil dan meraih jemari Hamdan lalu mengecupnya. Hamdan pun mengusap kepala Rahma.
“Aku pergi dulu ya.”
“Ya.” Hamdan tersenyum ke arah Sekar yang memperhatikan mereka berdua sedari tadi hingga tersentak saat melihat senyum Hamdan yang di tujukan padanya tanda pamit.
****
Keadaan sekar jauh lebih baik sekarang. Dan sudah lima hari Hamdan dan Rahma tinggal di rumah Sekar. Dan Sekar pun baru mengetahui perihal kehamilan Rahma yang sudah memasuki usia 3 bulan. Sekar senang bukan main karena ia akan mendapatkan ponakan lucu dari sang sahabat.
“Sekar,” panggil Rahma sembari mendekat dan duduk di samping Sekar.
“Ya?”
“Sekar, hari ini aku dan Mas Hamdan harus pulang ke kota.” Sekar tersenyum.
“Ya, tak apa, Rahma. Jangan khawatirkan aku ya, aku baik-baik saja di sini.”
“Baik-baik saja bagaimana? Kamu hampir mati kemarin itu, kalau aku tidak datang bagaimana nasibmu?” Rahma menaikan satu oktaf suaranya. Sekar menyenderkan kepalanya di bahu sang sahabat.
“Aku sudah terbiasa sendiri, Rahma. Tenang saja ya.”
“Aku tidak bisa tenang, Sekar, kamu itu bukan lagi sahabat bagiku melainkan adik perempuanku tahu.”
“Iya, aku tau kok. Kamu kan memang kakak ku yang paling baik.”
“Nah, karena kita kakak dan adik, kamu harus tinggal denganku di kota.” Sekar tersentak dan menegakkan duduknya.
“Kamu bicara apa?”
“Aku serius tahu.”
“Tidak bisalah, kamu jangan aneh-aneh.”
Rahma meraih jemari Sekar, ia genggam dengan eratnya. Ia tatap manik mata Sekar dengan dalam.
“Ikut aku, aku tidak mau kamu sendirian di sini, sudah waktunya kamu berubah Sekar, jangan terus mengurung diri seperti ini. Kamu bisa mati kesepian di sini.”
“Lebih baik begitu, Rahma. Aku tidak mungkin bisa tinggal denganmu di kota. Apa kata orang nanti jika aku tinggal bersamamu yang sudah bersuami.”
“Kamu khawatir akan hal itu?” Rahma mengangguk yakin.
“Mas Hamdan!” seru Rahma. Sekar tersentak saat Hamdan muncul dengan raut wajah bingung karena Rahma berseru memanggilnya.
“Mas.” Rahma merangkak dan meraih jemari suaminya. “Mas Hamdan, tolong nikahi sahabatku Sekar, agar ia bisa tinggal bersama kita.”
Baik Hamdan dan Sekar bagai tersambar petir mendengar permintaan yang tidak masuk akal dari seorang Rahma. Istri yang memiliki suami sempurna dan tengah mengandung pula.