KATANYA, 'cinta' bisa menyembuhkan luka.
Pertanyaanku, cinta seperti apa yang mampu menyembuhkan luka yang bahkan tidak terukur ini?
Aku mengaduk Mocha Float tanpa minat. Sepulang dari rumah Tante Ira, Amel membawa kami ke sini. Restoran cepat saji yang berada di dekat komplek rumahku. Katanya, di sini adalah Jagonya Ayam. Tetapi aku bahkan belum pernah merasakan Ayam Jago selama makan makanan dari sini. "Kalau gue berhenti sekolah, gimana?"
Mata mereka seakan dipandu untuk mendelik. Aku ingin tertawa melihat ekspresi Marsya. Tuhan, mereka ini sungguh makhluk ajaib yang pernah ada. Aku masih tidak percaya, kalau mereka ini Kau ciptakan untukku. Apa aku harus berterima kasih?
"Jangan ngaco. Nggak lucu." Amel mengunyah kentang goreng yang tersisa beberapa biji.
Marsya mengangguk, menyetujui ucapan Amel. "Kata nyokap gue, sih, ada api berarti ada air buat madamin. Gitu juga sama masalah. Pasti ada solusinya, Mik." Dia nyengir. "Gue udah mirip Merry Riyana belum?"
Aku tertawa, lalu mendekap mulutku agar suaranya tidak menggema. "Efek kaus lo, deh, kayaknya, Sya."
"Najis emang nih anak. Heran gue, kenapa mau temenan sama dia." Amel bersungut dan meraih minumanku.
"Sensitif banget sih, Si Ibu akhir-akhir ini.... Berapa bulan, Bu?"
"Anjir! Gue nggak hamil!"
Aku semakin tertawa. Lihatlah mereka, tanpa skenario, tetapi mampu membangun panggung komedi untuk menghiburku.
"Kerja aja kali, ya, Mik?"
Aku menatap Amel. Tatapannya kali ini mulai serius. "Kerja?"
Dia mengangguk lemah. "Tapi apa, ya? Buat sekolah full kayak kita gini pasti susah."
Hening.
Aku tidak pernah menyangka, di usiaku yang ke-17 ini, aku akan mengalami drama kehidupan yang pelik. Bahkan, sebagai pemeran utama, aku pun merasa bingung dengan alur hidupku. Akan berakhir dimana, seperti apa, dan bagaimana semuanya terjelaskan. Aku tidak tahu.
"Guys! Firman keluar dari ekskul FG! Ihh aing."
Aku menatap Marsya horor. Kemudian beralih menatap Amel, yang ternyata tengah menatapku juga.
"Tahu darimana lo?" tanya Amel penasaran.
Marsya nyengir. Menggaruk tengkuknya. Oh, apa lagi yang dia sembunyikan? "Franda. Model baru mereka. He-he."
Aku baru akan membuka mulut, tetapi Amel menyela terlebih dahulu.
"Kok lo bisa kenal?!"
"Ya ngapa, sih, emang? Nggak boleh? Kan, gue cuma mau memastikan. Siapa pun model Radian, gue mesti tahu. Kali aja ketemu cabe kayak gue."
"Goblok." Amel menoyor kepala Marsya.
Marsya ini punya nyali besar ternyata. Dia pikir dia siapa sampai harus mengetahui segala sesuatu tentang Radian? "Yang motret, kan, Galang bukan Radian." Tiba-tiba aku berucap, tanpa kurencanakan.
Kali ini, gantian mereka berdua yang menatapku horor. Membuat diriku gelapan. Aku paham tatapan itu. Tatapan menuntut yang sebentar lagi akan berubah menjadi ejekan menyebalkan.
"Cieeeeee. Si Eneng udah mulai bela-bela Galang. Asoyyyyy..."
Marsya sialan. Aku sudah bisa menebak reaksinya, tetapi tetap saja wajahku memanas.
"Lo naksir Galang, Mik?" Kali ini Amel bertanya serius.
"Gue-"
"Menurut lo?!" Marsya lebih dulu memotong. Mereka berdua senang sekali memotong ucapanku. Benar-benar tidak sopan.
Aku suka Galang?
Pikiranku teralihkan oleh bunyi ponselku sendiri. Ada satu pesan masuk.
Mamah.
Mamah: Halo, Mika.. Maaf banget baru bisa ngabarin. Mamah sibuk ngurus ini dan itu. Kamu udah makan?
Mamah: Mamah boleh nelpon?
Aku mengetikkan balasan di saat Amel dan Marsya tengah asyik membandingkan Radian dan Romi. Yang kudengar Marsya mengatakan kalau Radian jauh lebih jago mencium dibanding Romi.
Aku ingin meledeknya, tetapi aku berusaha fokus untuk menjawab pesan Mamah.
Me: Ini lagi makan. Mika butuh ua|
Aku segera menghapus kata terakhir.
Me: Ini lagi makan diluar. Nanti aja kalau Mika udah di rumah.
Mamah: Ohyaudah nggak papa. Udah datang ke Tante Ira?
Mamah: Dia pasti ssneng banget kamu mau datang apalagi tinggal di sana.
Dapat kesimpulan darimana Mamah? Tante Ira senang akan kehadiranku? Aku tidak bodoh untuk mengerti penolakan tersiratnya. Dia bahkan tidak basa-basi menahanku untuk tetap tinggal saat aku berpamitan.
Yang kutahu satu, dalam sudut pandang uang, hubungan darah tidak akan terlihat kentalnya.
Me: Iya.
Me: Mika lagi di jalan. Besok harus berangkat pagi buat upacara.
Aku berbohong.
Mamah: Ohiya. Mamah lupa besok hari senin. Yaudah. Nelponnya lain kali aja.
Mamah: Selamat malam, Sayang. Nanti Mamah kirimin uangnya lagi kalau keadaan di sini udah mendingan.
Mamah: Mamah sayang Mika. Selalu.
Me: Iya.
.
.
.
.
AKU menatap diriku di depan cermin, duduk di meja rias.
Setelah mengantarku sampai rumah, Marsya dan Amel pamit pulang. Marsya memang disuruh Ibunya karena adik semata wayang menangis mencarinya. Sedangkan Amel, dia sudah berjanji akan menemani Abangnya nonton Band temannya manggung perdana di kafe di Jakarta.
Aku melirik jam di dinding. Pukul 20.02. Biasanya, di jam seperti ini, kami bertiga akan menghabiskan waktu untuk menonton film di kosan Amel atau pergi ke club dan berakhir dengan Amel tidak masuk di Senin pagi.
Aku selesai mengolesi krim pada benjolan kecil di pipiku. Sejak Galang mengetahui keberadaan'nya', aku jadi mulai memikirkan keadaan wajahku. Takut, kalau jerawat itu akan bertambah banyak.
Bunyi lirih dari ponsel terdengar. Aku berdiri dan berjalan ke arah kasur. Tengkurap dan mulai membuka kunci layarnya.
Galang: *send pict
Galang: Dulu, tawamu seceria ini.
Galang: *send pict
Galang: Dulu, tingkah konyolmu seperti ini. Tapi beberapa bulan belakangan, aku nggak pernah lihat semua itu lagi.
Galang: Selamat Malam, Putri.
Aku termangu. Tidak bisa bereaksi secara normal. Dua gambar yang ia kirim adalah fotoku saat berada di sekolah, lengkap dengan seragam abu-abu. Yang pertama, aku sedang tertawa lebar di bawah tiang basket, sembari memegang perut. Yang kedua, aku sedang terisak, dengan tangan yang mengusap wajah. Rambut sebahu berantakan. Aku lupa, kapan ekspresi itu tercipta di wajahku. Mika yang ceria, Mika yang manja bersama Marsya dan Amel.
Aku lupa.
Dan, Galang mendapatkan foto ini darimana?
Me: So beautiful :p
Galang: Tentu. Kamu tahu dia siapa?
Dia membalas secepat kilat. Aku tersenyum kecil. Galang memang selalu mengejutkan.
Me: Idk. Tell me, please :(
Galang: She's my world. My pain. My darkness. My weakness. My everything.
Galang: How pathetic, right?
Aku bergetar. Refleks, air mataku tanpa tahu malu keluar begitu saja. Aku bahkan harus mengigit bibir bawah untuk menahan isakan. Sebenarnya tidak perlu, toh tidak akan ada yang melihat.
Bolehkah aku mengatakan, aku ingin memeluk Galang saat ini?
Me: Really? Berapa cewek yang dikirim pesan kayak gitu?
Aku tertawa kecil sembari terus terisak. Aku memang aneh.
Galang: Satu aja gagal terus :(
Aku memilih untuk tidak membalasnya lagi...
Jangan, Mika. Jangan terlalu jatuh, kamu akan sulit berdiri.
Baru akan meletakkan ponsel, ada panggilan masuk dari Tante Mega. Tentanggaku.
"Halo, Tante."
"Kamu udah tidur, Mik?"
"Belum. Kenapa, Tante?"
"Itu. Si Cinta ada di depan. Tadi Tante suruh nganterin bubur. Bukain pintunya, ya... Kasihan."
Setelah telepon ditutup, aku segera berlari membuka pintu depan. Untung saja, kami memiliki pintu penghubung, jadi Cinta tidak perlu menunggu di depan gerbang.
"Kak Mika udah tidur, ya?" Bocah kelas tiga SD ini berdiri di depanku, membawa sebuah mangkuk.
"Belum." Aku tersenyum, mengusap kepalanya. "Itu apa?"
"Bubur kacang Ijo." Dia menyodorkan mangkuk itu ke hadapanku. "Kata Bunda, Cinta suruh nginep sini karena Kak Mika sendirian. Om sama Tante lagi pergi, ya, Kak?"
Aku mengusap mataku cepat. Sebelum air mata itu benar-benar jatuh.
Bahkan, orang lain pun memberikan cintanya untuk lukaku....
Ini bukan kali pertama Cinta menginap di sini. Dulu, saat semuanya masih baik-baik saja, dia memang sering menginap. Dia juga sangat manja dengan Papah dan Mamah. Aku bahkan sudah menganggapnya seperti Adikku sendiri. Dan Tante Mega adalah Tante yang pantas dibandingkan dengan Tante Ira.
Ya. Sekarang aku membandingkannya.
Cinta menatapku polos, saat aku mengunyah bubur suapan demi suapan. Bubur buatan Bundanya memang patut diberi nilai 100. Delicious.
"Kak, emang Tante Oliv pergi kemana, sih?"
Aku terdiam sejenak, "Kerja, kan?" Justru pertanyaan balik yang kuberikan. Bodoh.
"Malam-malam? Terus nginep? Biasanya nggak pernah."
Aku tersenyum. "Udah selesai. Yeay!" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. "Kak Mika cuci mangkuknya dulu, terus kita tidur, ya... Besok upacara, kan?"
Dia mengangguk.
Kalau aku boleh menambahkan satu asumsi dalam teori kekeluargaan, maka ini: Hubungan darah tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga. Terima kasih.
Sebelum tidur, aku mengidupkan alarm dari ponsel, dan mendapati chat baru.
Galang: Selamat tidur, Putri.
Galang: Besok aku tunggu jam 06.30. Jangan telat.
Aku mengernyit. Apa maksud lelaki ini memerintahku?