sepuluh

1503 Kata
AMEL dan Marsya sedang duduk menatapku dalam diam, di atas kasur. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bermula, tetapi, kemarin sejak Papah benar-benar pergi, tiba-tiba aku mengetikkan sesuatu untuk mereka, dan mengatakan kalau aku ingin menangis! Aku nyaris tidak percaya. Yang kuingat, beberapa jam kemudian, mereka datang dengan ransel di punggung masing-masing dan bilang akan menginap di sini. Menemaniku semalaman menangis. Anehnya, mereka justru senang, katanya dengan menangis, itu berarti aku sudah kembali normal. Apa sebenarnya maksud mereka? "Lo masih punya Tante Ira, kan?" Marsya bertanya. Aku melirik Amel, dari tatapannya, kurasa dia juga ingin menanyakan Hal yang sama. "Iya." "Nah! Kita ke sana aja.... Nggak mungkin dia nggak nerima lo, secara lo satu-satunya keponakannya. Yuk?" Marsya menarik tanganku dramatis. Amel dengan cepat menepis tangan Marsya, "Mandi dulu kaliiiii. Kebiasaan jorok lo jangan ditularin ke temen." Membuat Marsya mendengus kesal. Aku hanya tertawa. Tante Ira.... Dia adalah satu-satunya 'keluarga' yang kumiliki sekarang, di kota ini. Dia adik Papah satu-satunya. Menikah dengan seorang Polisi dan mempunyai dua orang anak. Pertama, Dirga, sekarang sedang menyelesaikan gelar sarjana di kampus swasta. Kemudian yang kedua adalah Melinda, duduk di bangku SMP. Aku tidak terlalu dekat dengan mereka semua, karena kami memang jarang sekali bertemu. Sejak hubungan Mamah dan Papah masih baik-baik saja, aku pun hanya tahu kalau dia adalah Tanteku. Tidak lebih. Sesekali, mereka main ke rumahku. Di hari raya atau pun Papah sedang menginginkan kehadiran mereka. Dan, sekarang aku akan datang ke rumahnya? Aku tidak mengerti, untuk apa aku harus datang ke sana. Tetapi Amel bilang; "Gimana pun, kita masih tujuh belas tahun. Butuh bimbingan orang tua, Mik. Dan sekarang yang tersisa tinggal Tante Ira, jadi kita harus kesana." Bimbingan orang untuk apa? Memperbaiki mentalku? . . . Marsya sudah keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Bau Vanilla dari sabun yang ia pakai menyeruak ke dalam hidungku. Aku suka Vanilla. "Cepetan lo mandi, Cabe.... Nyuruh orang pinter banget, sendirinya nggak nerapin." Marsya melengos saat melihat Amel tak menggubris ucapannya. "Lo aja duluan, Mik. Orang ini masih kurang ML-nya sama si Romi." "Apasih lo! Bacot bener." Amel berdiri dari sofa dan melesat ke kamar mandi. Mataku terus memerhatikan Marsya yang sedang membuka ransel, memilih pakaian, sampai ia mengenakannya. Dia adalah yang tercantik di antara kami. Aku berani bertaruh untuk itu. Rambutnya lembut tampa perawatan rutin, panjang dan bewarna hitam. Tetapi jika terkena sinar, akan terlihat cahaya kebiruan di sana. Dia bilang, itu namanya 'Kecantikan yang Tersembunyi'. Entahlah, jalan pikiran temanku satu ini memang terkadang ajaib. Aku juga suka hidungnya, mungil dan menggemaskan. Dia bahkan tidak perlu berdandan untuk mendapatkan wajah yang cantik. Effortless beauty. Kecuali saat di club, dia suka sekali memakai lipstik merah p*****r. "Lo ditinggalin duit berapa, Mik?" Dia membuka suara. "Nggak tahu. Nggak gue cek." Dia melotot. "Jiiirrr. Jadi lo main ambil aja?" Aku mengangguk. "Lo, kan, boros! Apa-apa dibeli. Semua pedagang lewat dibeli." "Look who's talking," sindirku sinis. Dia nyengir. Marsya ini mempunyai kebiasaan yang sangat baik menurutku. Kalian boleh mengecapnya 'nakal', tetapi sebenarnya hatinya sangat baik. Dia akan selalu membeli apa pun yang dijual oleh pedagang di jalanan, di depan sekolah, dan di manapun yang memungkinkan dia untuk membelinya. Jika ditanya kenapa, dia hanya menjawab; "Kata nyokap, duit gue sebenernya duit mereka juga." See? Dia anak yang baik. Amel keluar dari kamar mandi. Dan tanpa menunggu lama, aku segera melesat menggantikannya. Membersihkan tubuh secepat mungkin. Lalu mengenakan pakaian. Aku memilih kaus putih polos yang kupadu dengan flanel biru, dan jeans hitam. Marsya sudah berdiri cantik dengan rok putih mengembang selutut, ada motif bunga bewarna merah dan garis hitam. Kemudian atasannya, dia memilih kaus polos hitam bertuliskan Lol u're not Radian Gerhana. Saat pertama kali aku melihat kaus itu beberapa bulan yang lalu, reaksi pertamaku adalah terbahak di depan wajahnya. Begitu pun dengan Amel. Dia bahkan secara terang-terangan menilai Marsya sudah gila dan berniat untuk memoto Marsya yang sedang mengenakan kaus itu. Jelas saja, Marsya mengamuk tetapi setelahnya memohon agar Amel tidak memoto kausnya. Kuberitahu, dia hanya memakai kaus yang ia beli dari onlineshop itu saat dia merasa tidak akan bertemu dengan Radian. Luar biasa. Mataku bergeser menatap Amel. Dia ini memang pada dasarnya gadis yang manis. Rambut cokelat sebahunya sama sepertiku. Dia kali ini mengenakan jeans biru ketat, yang ia padu dengan kaus panjang bergaris vertikal berwarna merah bata. Kami keluar kamar beriringan, menuruni tangga satu persatu. Sesekali Marsya menyeletuk tentang hubungan keluarganya kelak bersama Radian dan anak-anak mereka. Kurasa dia sudah mulai gila. Amel hanya akan menoyor kepala Marsya setiap anak itu bersuara. "Mampir Indomaret aja dulu. Ngecek saldo Mika." Marsya kembali bersuara saat kami sudah berada di dalam mobil Amel. Ya. Sejak pertanyaan Marsya tadi, aku jadi memikirkan bagaimana kelangsungan hidupku ke depannya. Mamah bukan pengusaha yang akan membanjiriku dengan uang. Dan Papah sudah tidak bisa diharapkan lagi. Aku juga harus memikirkan biaya sekolahku, apalagi menjelang UN. Harus mengikuti les tambahan, membeli buku latihan untuk menjawab soal UN. Dan kebutuan lainnya. Untuk bekerja paruh waktu, aku tidak sanggup membayangkannya. Amel menghentikan mobilnya di halaman sebuah minimarket. Aku turun dari mobil dan berjalan masuk. Setelah memasukkan pin dan melihat saldo, aku berjalan ke deretan minuman dingin. Mengambil dua botol air mineral dan satu freshtea rasa madu untuk Marsya. Anak princess itu harus minum minuman berasa. Supaya kekecean dia tidak hilang katanya. Menyerahkan uang sesuai nominal yang disebutkan oleh kasir, aku segera keluar dan kembali memasuki mobil. Menyodorkan minuman itu untuk mereka. "Thanks." Amel bersuara. Aku mengangguk. "Makasih, Cantik. Ohya, ada berapa saldonya?" Kini giliran Marsya yang mencondongkan tubuhnya dari belakang. Aku meneguk air mineralku, "Sembilan juta empat ratus berapa gituu.." "Yaaahhh. Dikit banget. Buat bayar les tambahan aja kurang." Benar. Aku berusaha tersenyum, menyembunyikan perasaan takutku dari mereka. "Nggak usah dipikirin. Gue yakin Tante lo bisa bantu, kok." Amel menggenggam tanganku seraya tersenyum. Aku tidak nemikirkannya. Untuk saat ini. . . . . AMEL bertanya sekali lagi saat aku menyuruhnya berhenti di depan sebuah rumah berwarna kuning gading. Aku mengingatnya sebagai rumah Tante Ira. Untuk urusan mengingat jalan dan letak rumah, aku memang sedikit diragukan. Sedikit. Kami keluar dari mobil, berusaha memanggil pemilik rumah dengan membunyikan kunci gerbang. Seorang satpam datang dengan wajah datarnya. "Cari siapa, Mbak?" Oh dia tidak mengenalku. "Saya Mika. Keponakannya Tante Ira." "Oh. Mari silakan masuk. Ibu Ira sedang di dalam. Baru saja mengantar Non Melinda belajar ngaji." Aku tidak bertanya. Halaman rumah ini tidak banyak berubah. Ada kolam kecil di sudut kanan, di kelilingi beberapa tanaman. Yang kuingat, Dirga memang menyukai Ikan. Tante Ira sempat terkejut begitu melihatku. Kemudian, dia mengukir senyum dan mempersilakan kami masuk. "Kamu apa kabar? Sekolahnya gimana, Mika?" Seharusnya dia tidak perlu menanyakan kabarku. "Baik, Tante. Sebentar lagi akan mengikuti les tambahan menjelang UN." Dan aku butuh uang, Tante. Dia tersenyum lebar. "Wow. Bentar lagi udah dewasa, dong, ya? Udah bisa ngurus diri sendiri." Apa maksudnya? Aku tersenyum kikuk. "Um, Tante, bisa kita ngomong berdua?" Tante Ira tidak langsung menjawab pertanyaanku. Tetapi setelahnya ia menatap Marsya dan Amel bergantian. "Sebentar. Tante ambilkan temanmu minuman dulu, ya." Dia berjalan ke arah yang kuketahui sebagai dapurnya. Mungkin dia benar-benar sedang sendirian di rumah. Om Ikhsan bekerja sebagai Polisi yang memang sedikit sibuk. Sedang Tante Ira, dia memiliki butik pakaian muslim tidak jauh dari rumahnya. Masih di daerah Grogol. Dirga mungkin sedang kuliah atau main bersama temannya. Entahlah. Mereka seperti tidak mengenalku. Sangat asing. Bahkan di hari raya saat kita melakukan sembah sungkem pun, Dirga dan Melinda terlihat tidak acuh denganku. Tante Ira kembali dengan tangan membawa nampan yang berisi tiga gelas minuman dingin bewarna hijau. "Silakan diminum." Dia menatap Marsya dan Amel bergantian. Marsya nyengir dan mengangguk. Sedang Amel tersenyum ramah. Dia memang dewasa. "Ayo, Mika. Saya tinggal ke dalam sebentar, ya...." "Iya Tante...," jawab mereka serempak. Aku berjalan mengikuti Tante Ira, duduk di sofa yang melingkari sebuah meja kaca. Ini adalah ruang keluarga mereka. Tidak ada TV seperti desain di rumahku. "Ada apa, Mika?" Aku diam sejenak. Menarik napas dalam. "Tante pasti tahu apa yang terjadi sama Papah dan Mamah." Tante Ira mengangguk. Tidak ada ekspresi terkejut atau sekadar menyentuh bagian tubuhku untuk menenangkan. "Mika butuh uang, Tante. Mika juga butuh bimbingan orang tua...." Dia menatapku cukup lama. "Mika. Tante bukannya nggak mau rawat kamu. Tapi kamu tahu sendiri penghasilan Tante sama Om nggak sebesar Papahmu. Dirga juga butuh dana besar untuk skripsinya. Belum lagi Melinda harus ikut les ini dan itu. Tante sebenernya..." "Senggaknya izinin Mika tinggal di sini." Suaraku bergetar. Aku mohon jangan menangis. "Papah benar-benar pergi...." Hening. "Kamu dengerin Tante. Dirga paling nggak nyaman kalau ada orang baru. Apalagi perempuan yang..... Maaf, nggak berhijab. Meskipun kamu sepupunya, tapi dia merasa nggak nyaman, Mika. Dan Tante-" "Aku ngerti." Aku mengusap wajahku. Dan tersenyum ke arahnya. Jangan memohon lagi, Mika. Galang bilang kamu harus bahagia. Kalau begitu jangan memohon dan menangis. Aku sudah bilang, kan? Aku tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Mereka bahkan tidak menganggapku sebagai keluarganya. Semua alasan Tante Ira tidak bisa membuatku untuk tidak membencinya. Aku membenci mereka semua. Papah, Mamah, Tante Ira dan keluarganya. Aku benci. Katakan, apa yang bisa kuharapkan dari malangnya hidupku saat ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN