19. Semuanya Masih Sama

1655 Kata
Pak Bagas Dosen : Angkat telepon saya. Ayo kita bertemu! Pak Bagas Dosen : Din Pak Bagas Dosen : Dini Dwi Pertiwi Pak Bagas Dosen : Kalau begitu, tolong beri saya alamat terbaru kamu. Pak Bagas Dosen : (Foto rumah lama orang tua Dini yang sudah digusur dan tinggal lahan yang sedang dirapikan) Pak Bagas Dosen : Aku sudah di sini dari tadi. Ternyata kalian sudah pindah. Seharian ini, sang dosen makin sibuk menghubungi Dini. Dari pesan maupun telepon suara, pak Bagas lakukan. Namun dari semuanya, belum ada yang Dini respons. Dini mendiamkan sang dosen, dan baru membuka pesan WA-nya. Itu saja sudah langsung pak Bagas kejar melalui sambungan telepon video. Kenyataan pak Bagas yang terus menghubungi Dini, dan tampak jelas memantau, justru membuat Dini tak menyukainya. “Gimana mas Levian enggak emosi, aku yang sudah masa bodo saja, jadi emosi!” “Padahal dia tahu aku dan mas Levian sudah menikah. Fatalnya, dia ini sahabat mas Levian. Dia sengaja menolak, terus menghindari mas Levian, ketika mas Levian minta bantuan dia, mencarikan dosen pembimbing buat aku. Namun kepadaku, dia terus mengejar.” Ponsel Dini yang masih Dini pegang menggunakan kedua tangan kembali berdering, tak lama telepon masuk dari pak dosen berakhir, dan sengaja ia abaikan. Pak Bagas Dosen : Tolong angkat, Din. Kita harus bicara. Dini : Tolong jangan mengganggu rumah tangga saya lagi. Saya akan mengurus skripsi dengan guru pembimbing lain. Saya percaya kepada suami saya. Saya tahu siapa suami saya. Suami saya tidak akan berulah, jika orang yang dia s e r a n g, tidak bermasalah 🙏 Setelah mendapatkan pesan tersebut, pak Bagas juga mendapati fakta, profil Dini sulit ia akses lagi. Yang dengan kata lain, Dini atau siapa pun yang mengendalikan a k u nnya, sudah memblokirnya. “Ini pasti kelakuan Levian lagi. Dia pasti memaksa Dini untuk mengirimi aku pesan tadi, seolah Dini sangat mencintai Levian!” pikir pak Bagas masih bertahan di balik kemudinya. Di dalam mobil, ia masih terjaga di depan puing-puing bangunan toko maupun rumah orang tua milik Dini. Hujan masih berlangsung, dan pak Bagas sangat yakin bahwa Dini tengah dalam tekanan seorang Levian. Padahal di dalam kamarnya, Dini yang baru menaruh ponselnya di meja, justru tengah menyesali keputusannya. Ini mengenai keputusan Dini yang meninggalkan Levian. Dini menatap nanar suasana luar melalui jendela kaca di hadapannya. Di luar, hujan deras disertai angin masih berlangsung. Langit di luar sana masih kelabu, mirip suasana hati Dini yang tengah dipenuhi sesal. “Kok aku bisa-bisanya minta cerai, ya?” “Dicintai secara ugal-ugalan oleh mas Levian, ibarat keajaiban loh, Din.” “Mas Levian mencintaimu secara sempurna. Kamu diurus dari ujung kepala sampai ujung kaki, luar dalam. Belum tentu kalau kamu lepas dari dia, kamu dapat yang lebih baik atau setidaknya sepadan. Saat dengan Leon saja, kamu biasa saja, kan? Nah dengan mas Levian, setiap hari kamu dapat buket bunga cantik. Kamu minta apa, mas Levian juga langsung kasih, enggak pernah enggak.” “Cari suami memang harus seperti mas Levian. Romantis dalam segala hal. Cara dia ugal-ugalan dalam mencintaimu, juga bukti keseriusannya ke kamu.” “Meski dia duda, dia kalau sudah sayang, beneran bakalan ngelakuin semua hal. Intinya, mas Levian enggak akan membuat kamu kekurangan. Begitu pun ke anak kamu. Ke Anna yang mamanya sudah menyia-nyiakan Levian saja, Levian masih dangat mengurus. Apalagi ke anak kamu yang dia cintai secara ugal-ugalan.” Dini juga yakin, alasan Levian nekat meratakan rumah sang dosen, kemudian membuat wajah sang dosen b a b a k belur. Pasti karena pak Bagas yang sudah keterlaluan. Buktinya, WA tak dibalas saja, pak Bagas kelihatan sangat tidak sabar. “Ini mas Levian sama sekali enggak ngabarin aku? Enggak WA, apa setidaknya salah pencet gitu,” sebal Dini merasa dibuang, diabaikan, bahkan kehilangan. Sebab semenjak ia pergi, hingga kini sudah sore, Levian belum mengabarinya. Jangankan telepon dan salah pencet, mengiriminya pesan salah sasaran saja, Levian tak melakukannya. Sudah pukul setengah empat sore dan Dini memutuskan untuk mendi. “Berasa ada yang hilang, ... padahal aku sendiri yang memutuskan ini. Jujur, aku enggak mau pisah dari mas Levian. Dia suami sekaligus papa idaman.” “Belum ada dua puluh empat jam, dan biasanya belum pernah didiamkan begini. Kok lemes banget, ya?” “Serius, ini namanya kangen. Ya sudah, habis mandi, aku WA mas Levian. Enggak apa-apa WA duluan!” “Din, ... suami dan anakmu datang. Bawa handuk apa selimut, tubuh mereka kuyup!” Dari lantai bawah, suara sang mama mengagetkan Dini. Dini yang awalnya akan menutup pintu kamar mandi, refleks tidak jadi dan buru-buru lari keluar dari kamar untuk memastikan. Dari terali depan kamarnya dan terhubung ke anak tangga yang menghubungkan ke lantai bawah, Dini mengawasi suasana di bawah sana. Hati Dini langsung berbunga-bunga hanya karena mendapati Levian sungguh datang. Levian tak datang sendiri. Levian mengemban Anna. Levian membawa sebuah koper besar di tangan kirinya yang tak mengemban Anna di depan d**a. Baik Levian maupun Anna sama-sama kuyup. Itu kenapa, mama Dini sampai berteriak agar Dini segera mengambilkan handuk maupun selimut untuk Levian dan Anna. Sebelum Dini pergi mengambil handuk maupun selimut sesuai arahan sang mama, tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan Levian. Seperti biasa, mata tajam Levian akan selalu jadi sendu, di setiap mengawasi Dini. “Dia ke sini ... bawa koper, ... semoga bertanda baik!” batin Dini sangat berharap. Ditinggal Dini, Levian juga tak bisa menunggu lagi. Anna yang tahu sang papa terus mengawasi lantai atas keberadaan kamar Dini berada, sengaja minta dengan oma dan tentu saja mama Dini. “Atu mau tama Oma di syinih. Mau onton tipi!” manisnya dan sukses membuat Levian tersenyum hangat kepadanya. “Oh iya, ayo sama Oma. Anna sudah makan belum? Habis ganti pakaian, kita makan, ya?” Tawaran dari sang mama mertua yang sudah langsung mengurus Anna, membuat Levian bernapas sangat lega. Levian tak memiliki alasan untuk tinggal di sana. Ia segera pamit sambil membawa kopernya. “Minta mbak buat bantu saja, Lev!” “Enggak apa-apa, Ma! Ini bisa kok. Biar enggak bolak balik juga.” Levian begitu bersemangat. Apalagi dari tatapan Dini beberapa saat lalu, sudah tak lagi dihiasi kemarahan kepadanya. Malahan tatapan bergetar kedua mata Dini dirasanya sarat akan rindu. Meski tak sampai mengungkapkannya, gelagat Dini menegaskan bahwa wanita itu menyesali keputusannya. Dini sangat merindukannya. Di dalam kamar, Dini mengambil stok handuk di rak lemari atas, dengan d a d a yang berdebar-debar. Setelah dua handuk ia ambil, ia juga sengaja mengambil sebuah selimut tipis. Ia hanya mengambil satu untuk Anna. Karena yakin, alih-alih menghangatkan tubuh dengan selimut, Levian akan langsung memilih untuk mandi atau ganti pakaian. Bertepatan dengan Dini yang akan meraih gagang kaitan pintunya, dari luar Levian sudah hendak menerobos masuk pintu yang memang tak sepenuhnya tertutup. Setelah sempat tak sengaja bertatapan, sebelum akhirnya dilanda kecanggungan, Levian sengaja maju, masuk. Sementara Dini sengaja mundur. Di hadapannya, setelah menaruh asal kopernya, Levian segera menutup sekaligus mengunci pintunya. Levian bergegas melepas jasnya yang memang basah. Perlahan tapi pasti, Dini sengaja menjatuhkan handuk dan selimutnya. Ia segera berjinjit untuk mengeringkan kepala Levian menggunakan handuk di tangan. Selain itu, ia juga membiarkan Levian membingkai rahangnya. “Kamu ingin mengatakan sesuatu?” lirih Levian kepada Dini yang ia rasa sedang menahan tangis. Dini yang jadi terus menghindari tatapannya. Namun setelah pertanyaan yang baru ia lontarkan, kedua mata Dini yang sudah sepenuhnya basah, berangsur menatapnya. “A—aku minta maaf!” ucap Dini seiring air matanya yang berjatuhan membasahi pipi. “Hmmm ...?” Levian hanya bergumam dan membalas Dini sambil menahan menahan tangis. Baginya, cara Dini meminta maaf sangatlah manis. Kedua tangan Levian yang awalnya membingkai rahang Dini, naik dan menyeka setiap air mata Dini. Sementara bibirnya jadi aktif mengecup paksa bibir Dini dan sudah langsung Dini balas. Kemudian, seperti biasa. Ia juga m e n c i u m wajah Dini searah jarum jam. “Bahagianya ... tapi aku enggak tahu, apakah semuanya masih sama. Apakah pernikahan sekaligus hubungan kami, masih baik-baik saja? Rasanya beneran nyesel telah membiarkan diriku marah-marah di tengah keadaanku yang sedang sangat emosi!” batin Dini. “Kalau kamu ingin aku minta maaf ke Bagas, baik aku mau! Namun sebelum itu, dia juga harus minta maaf dulu ke kamu. Di hadapan kamu! Namun andai dia berani berbohong, apalagi fitnah enggak jelas, ... aku enggak segan h a n c u r i n dia, lebih dari sebelumnya!” tegas Levian sungguh-sungguh. Dini menggeleng cepat. “Bukan itu ... itu aku percaya ke Mas! Dia pasti sudah keterlaluan, makanya Mas balas dia dengan lebih k e j a m!” “Sepenuhnya aku percaya kepada Mas. Namun aku tidak membenarkan cara Mas yang sepertinya sengaja dia harapkan terjadi untuk menjatuhkan Mas!” “Aku enggak peduli. Asal kamu percaya kepadaku, buat aku, itu sudah lebih dari cukup!” tegas Levian yang masih membingkai wajah Dini. Mendengar itu, Dini langsung mengangguk-angguk. “Iya. Aku sudah meminta dia buat enggak ganggu rumah tangga kita lagi. Aku juga sudah bilang mau ganti dosen pembimbing. Aku sudah b l o k i r nomor dia, Mas!” yakinnya sambil memegang kedua lengan Levian. Levian tersenyum manis menatap kedua mata sang istri. Senyum yang makin bertambah ketika Dini yang ia dapati jadi gugup, berangsur melepas hijab segi empatnya. Tak hanya itu. Sebab Dini juga berangsur menurunkan ritsleting punggung gamis biru dongker yang dipakai. Di hadapan Levian, Dini melepas gamisnya. Kemudian berjinjit dan meraup kedua sisi wajahnya menggunakan kedua tangannya. “I love you!” ucap Levian benar-benar manis. Ia dapati, Dini yang jadi malu-malu. Pipi Dini jadi bersemu, padahal bibirnya saja sudah menempel di bibir bawah Levian. Namun, sekadar membalas saja, harus masih dituntun oleh Levian. “I love you too!” ucap Dini benar-benar pasrah dan berakhir ditertawakan oleh Levian. “Semuanya masih sama. Dia masih sangat menginginkanku. Dia masih sangat mencintaiku!” batin Dini segera langsung loncat karena Levian sengaja menggendongnya di depan tubuh. Levian memboyong tubuh Dini ke tempat tidur di tengah bibir mereka yang tak hentinya memadu asmara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN