Dini terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Ia dapati, sang suami yang sudah ada di belakangnya. Levian mendekapnya dan sampai menindih kepalanya. Sang suami rela tidur sempit-sempitan, hanya agar bisa tidur di sebelah Dini. Padahal posisi tidur Dini sangat dekat dengan pinggir. Sebelah Anna lah yang masih luas dan bisa membuat Levian tidur nyaman. Tidak seperti sekarang, Levian harus terus miring hanya agar bisa tidur di sebelah Dini sambil memeluknya. Lengah sedikit saja, Levian pasti jatuh ke lantai.
“Pantas kepalaku berat. Ditindih kepala dinosaurus!” batin Dini yang kemudian merapikan asal rambutnya yang berantakan. Ia menguncirnya dan tak bermaksud membangunkan Levian maupun Anna.
“Nih orang pulang jam berapa? Tidur pun masih pakai jaket. Enggak ganti piyama dulu. Padahal biasanya, langsung tertib pakai piyama, sesuai peraturanku. Tidurnya juga pules banget. Jangan-jangan memang baru pulang? Ya sudah lah, banguninnya nanti saja setengah enam. Masih keburu subuhan kok. Kasihan, kelihatannya mas Levian capek banget,” batin Dini yang kemudian meninggalkan tempat tidur dengan hati-hati.
Dini melepaskan kedua tangan Levian dari tubuhnya. Tak biasanya, Levian tak melakukan penolakan dan menandakan pria itu memang masih pulas.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Dini sudah shalat subuh lebih dulu. Kemudian Dini sengaja menyiapkan minuman rempah dalam satu poci kaca dan membawanya ke kamar. Dua cangkir lengkap dengan lambar juga menjadi isi nampannya. Suasana rumah masih sangat sepi, tapi para ART sudah mulai beres-beres termasuk juga memasak.
Setelah menaruh nampannya di meja dekat jendela, Dini sengaja membuka gorden tipis maupun tebal jendela tersebut, sebelum akhirnya membuka jendelanya. Suasana segar segera Dini dapatkan dari sana, hingga ia berinisiatif mematikan AC di kamar. Toh, sudah waktunya mereka bangun, meski hari ini, Anna libur sekolah.
Kemudian, masih dengan hati-hati, Dini mengambil ponsel miliknya, dari sebelah nampan berisi wedang rempah. Meja yang sekelilingnya dihiasi sebuah sofa panjang, maupun tiga buah sofa tunggal beludru warna cokelat muda. Niatnya, Dini hanya akan memastikan waktu saat ini. Sebab andai belum pukul setengah enam, ia tak berniat membangunkan Levian karena memang tidak tega. Akan tetapi, beberapa pesan WA di ponselnya, dan salah satunya dari sang dosen, menarik perhatian Dini untuk segera memastikannya.
“Ada apa, ya? Wah ... delapan belas pesan. Hasil skripsi, kah? Beneran deh, pak Bagas langsung kebut skripsiku–” Awalnya Dini memang berpikir begitu. Akan tetapi setelah setiap foto yang dikirimkan pak Bagas akhirnya terdonload, Dini langsung tercengang.
Empat dari sembilan foto di sana, merupakan foto wajah pak Bagas yang babak b e l u r.
Pak Bagas Dosen : (Foto) Itu ekskavator yang dipakai Levian buat robohin rumahku.
Pak Bagas Dosen : (Foto) Keadaan rumahku saat ini.
Pak Bagas Dosen : Suasana saat kejadian. Warga dan tetangga berdatangan. Levian nyaris dihakimi gara-gara kelakuannya.
Pak Bagas Dosen : Jika tetap enggak ada itikad baik dari Levian, orang tuaku akan melaporkannya ke polisi!
Perasaan Dini langsung campur aduk karenanya. Dini kalut, dan tidak bisa mengontrol diri apalagi mengontrol emosinya.
Kenapa Levian melakukannya, padahal Dini sudah menjelaskan, bahwa hubungannya dan sang dosen tidak ada yang spesial? Dini sungguh kecewa, dan memang takut suaminya kenapa-kenapa. Karena dengan cara Levian bertindak gegabah, Levian bisa mendekap di penjara.
Tanpa kembali mempertimbangkan waktu yang belum pukul setengah enam. Tanpa terlebih dahulu membalas atau setidaknya merespons pesan-pesan dari sang dosen, Dini sengaja membangunkan Levian. Ia mengguncang lengan Levian, mengusapnya, kemudian mengusap wajahnya dengan memaksa.
Levian terbangun secara paksa. Agak kaget lantaran sang istri yang sudah memakai hijab, membangunkannya secara paksa. Meski Dini lebih sering memasang wajah jutek, Levian rasa kali ini sang istri benar-benar marah kepadanya. Namun, Levian tak sedikit pun berpikir, bahwa alasan Dini marah justru karena apa yang ia lakukan kepada pak Bagas.
“Lebih baik kita bercerai, Mas!” sergah Dini sesaat setelah ia membawa paksa Levian masuk ke dalam kamar mandi kamar Anna.
Nyawa Levian yang belum sepenuhnya kumpul, refleks kumpul. Levian kebingungan dan menatap tak percaya Dini. Di hadapannya, Dini sudah berubah jadi menangis. Perubahan emosi Dini benar-benar pesat.
“Bukankah sudah aku bilang, aku dan dosenku tidak ada hubungan apa pun!” isak Dini masih menatap kecewa Levian.
“Ah ... b a j i n g an, ... si Bagas licik banget!” kecam Levian dalam hatinya. Kedua tangannya yang sempat digandeng paksa Dini, berangsur membingkai rahang Dini. “S—sayang!”
Dini tak memberi Levian kesempatan untuk berbicara. Ia menyodorkan foto-foto yang pak Bagas kirimkan. Ia memaksa Levian melihatnya, tapi suaminya itu langsung menepisnya dengan wajah muak. Selain itu, Levian juga berangsur menarik kedua tangannya, dari rahang Dini.
“Kalau Mas enggak minta maaf ke pak Bagas—”
“Aku tidak akan pernah melakukannya. Sampai kiamat pun, ... aku tidak akan pernah melakukannya!” sergah Levian sengaja tak mengizinkan Dini memaksanya minta maaf ke pak Bagas. Kedua matanya menatap tegas kedua mata Dini. “B a j i n g an berkedok dosen itu sahabatku. Sahabat yang langsung menghindariku setelah tahu kamu menikah denganku!”
“Mas, cara Maa begini bisa bikin Mas berurusan dengan polisi!”
“Aku tidak peduli! Aku tidak takut ke polisi. Mau dia ngadu ke malaikat maut sekalipun, aku enggak takut! Kamu enggak usah belain dia—”
“Aku enggak belain dia, Mas. Sekali lagi aku tegasin, aku enggak belain dia. Aku ada di pihak Mas. Mas suamiku, tapi aku enggak membenarkan cara Mas!” Dini sampai berteriak lantaran Levian meninggalkannya. Levian keluar dari kamar mandi, dan malah masuk ke dalam kamar rahasianya.
Pusing, Dini tidak tahu bagaimana caranya membuat Levian paham. Terlebih Dini yakin, harga diri laki-laki seperti Levian sangat tinggi.
****
Levian terbangun dengan tubuh yang terasa lebih segar. Keputusannya tidur di kamar rahasianya, membuatnya merasa lebih baik. Selanjutnya yang ia lakukan ialah memastikan waktu di jam digital yang ada di mejanya. Sudah pukul satu siang, dan itu menandakan bahwa dirinya sudah tidur terbilang lama.
Refleks, Levian yang sudah berhasil duduk, mengembuskan napas panjang melalui mulut. Kemudian ia mengacak asal kepalanya menggunakan kedua tangan. Levian ingat, tadi sebelum masuk ke dalam kamar, ia terlibat pertengkaran terbilang serius dengan Dini. Pertengkaran yang disebabkan oleh Bagas.
“Baru kali ini aku punya sahabat yang beneran k a m p re t dan cara bersaingnya sangat m u r a h an!” gumam Levian.
Sebelum keluar dari kamar kemudian mencari Dini, Levian memutuskan untuk mandi. Mengguyur kepala maupun tubuhnya menggunakan air hangat, dirasa Levian membuat tubuhnya terasa lebih ringan. Kepalanya juga tak lagi berat, selain ia yang jadi kembali segar.
Kemeja slim fit lengan panjang warna merah dipadukan dengan celana panjang warna hitam, Levian pilih untuk penampilannya. Karena walau sudah siang, bahkan jam makan siang sudah lewat, Levian tetap akan pergi kerja. Selain itu, Levian juga memakai dasi maupun jas hitam. Hanya saja ketika Levian keluar dari kamarnya, di ruang keluarga tidak ada Dini. Anna hanya bersama mbak di rumah dan tampak sangat murung. Sebuah amplop biru, juga langsung Levian dapatkan dari ART yang menemani Anna.
“Ibu Dini kasih itu, katanya suruh dikasih ke Pak Levian,” santun wanita muda berusia dua puluhan tahun tersebut.
“Apaan sih Dini ... perasaanku langsung enggak enak!” batin Levian buru-buru membuka amplop titipan Dini, tanpa terlebih dulu merespons sang ART bahkan walau untuk basa basi.
“Papa, ... mau mama Niiii," rengek Anna.
Berbeda dari biasanya, rengekan Anna kali ini, juga tak mengusik seorang Levian. Levian telanjur fokus ke kertas putih selaku isi amplop birunya.
Mas, jika adanya aku dalam hidup Mas hanya membuat masalah buat Mas. Jika aku tetap tidak bisa meredam emosi Mas, lebih baik kita bercerai saja. Aku serius dengan keputusanku. Jangan mencariku lagi. Lakukan saja semuanya sesukamu. Karena mulai sekarang juga, kamu enggak perlu dengerin arahan dariku. Aku membebaskanmu karena kita sudah bukan siapa-siapa.
Surat tanpa nama itu, langsung mengobrak-abrik kehidupan seorang Levian. Levian panik sepanik-paniknya. Sebab meski surat tersebut tak sampai disertai penulis, Levian hafal tulisan tangan Dini.
“Papa itut!” tangis Anna meraung-raung lantaran tetap ditinggal oleh sang papa yang mendadak lari dan pergi dari sana.