10. Dini — Dia Benar-Benar Menginginkanku?

1010 Kata
Pak Bagas Dosen : Kalau kamu mau, besok malam datang ke rumah saya. Saya sampai rumah sekitar pukul tujuh malam. Trims. Dini menatap muram layar ponselnya. Setelah seharian menunggu hingga malam, akhirnya pesannya kepada sang dosen pembimbing mendapat balasan. Dini : Dari sore sampai malam dan ini saya beneran baru sampai rumah. Saya menunggu Pak Bagas di kafe dekat kampus sesuai arahan Pak Bagas. Apakah besok, sudah pasti Pak Bagas bisa? Dari sore hingga malam, pak Bagas memang menjadi alasan Dini pulang larut malam. Entah apa yang terjadi, sang dosen dan kiranya sebaya Levian itu mendadak tak mengabarinya. Pak Bagas baru mengabarinya barusan. Pria itu berdalih ada urusan mendadak hingga baru bisa mengabari Dini. Berbeda dari biasanya, pak Bagas menjadi lancar membalas pesan WA Dini. “Tumben lancar banget? Biasanya seminggu sekali baru balas pesan,” pikir Dini. Pak Bagas : Kan sebelumnya saya sudah bilang. Tadi, saya ada urusan mendadak. Pokoknya besok kamu ke rumah saya saja. Pukul tujuh malam juga tidak apa-apa. Nanti saya proses langsung. Membaca itu, Dini refleks menghela napas dalam sekaligus panjang. Harusnya balasan dari pak Bagas barusan memang bisa menjadi angin segar untuk Dini. Apalagi sudah hampir satu bulan lamanya, ia menghubungi sang dosen. “Tetap saja ngeselin sih. Memang dia dosen dan dia juga yang nentuin jadwal. Masalahnya masih dia juga yang selalu ingkar. Ya sudah, semoga besok beneran jadi ketemu. Dan semoga saja enggak ada yang perlu direvisi lagi!” batin yang berangsur menaruh ponselnya di ranjang tidur miliknya. Dini yang awalnya duduk di pinggir tempat tidur berangsur membuka lemari pakaian di hadapannya. Ia mengambil piyama lengan panjang lengkap dengan pakaian d a l a m, dari dalam lemari tersebut. Kemudian, ia masuk ke dalam kamar mandi yang masih ada di dalam kamarnya. Sekitar lima belas menit kemudian, Dini sudah beres mandi. Dini tak langsung menutupi kepalanya menggunakan hijab. Sembari melangkah tak bersemangat, Dini mengelap wajahnya menggunakan handuk yang menghiasi tengkuknya. “Capek banget!” lirih Dini sesaat setelah refleks menghela napas. Dini bermaksud untuk langsung tidur. Sebab Dini merasa kelelahan dan memang sudah dangat mengantuk. Namun, baru juga menggantung handuknya di hanger depan lemari pakaian, kamarnya mendadak bergetar bahkan terguncang. Keadaan mirip seperti terkena gempa, hingga Dini memutuskan untuk lari. “Gempa! Gempa!” teriak Dini sambil terus berlari. Di tengah kesibukan Dini membuka kunci pintu kamarnya, Dini menyadari ada bunyi bising di luar sana. Suaranya berasal persis dari depan toko bahan bangunan milik orang tuanya. Suara yang terdengar mirip mesin berat. Dan setelah Dini memastikan dari balkon kamarnya, benar saja. Di depan toko bahan bangunan milik orang tuanya ada Excavator (Bego), yang sudah beroperasi. Excavator tersebut sudah meruntuhkan tembok sebelah depan toko bahan bangunan milik orang tua Dini. Yang membuat Dini sangat tidak habis pikir, di depan toko bangunan milik orang tuanya juga masih ada Levian. Tentu Dini langsung ingat pada ancaman Levian yang berdalih akan meratakan toko bahan bangunan maupun rumah milik orang tua Dini andai Dini tak kunjung mau dinikahi. Kini, semua itu sungguh terbukti. Seorang Levian sungguh membuat dunia Dini jungkir balik. Setelah terlebih dahulu mengenakan hijab instan, Dini keluar dari kamar bahkan rumah. Ia tak melakukannya sendiri. Karena orang tua, kakak laki-lakinya sekeluarga, dan juga seorang ART di rumahnya, juga. Semuanya berbondong-bondong keluar dari rumah, tapi Dini yang memimpinnya. Mobil Levian langsung menjadi tujuan Dini. Levian yang masih duduk di balik kemudi, dengan segera membuka pintu. Levian keluar dari dalam mobil dan tetap diam meski tangan kanan Dini membernya t a m p a r an panas di pipi kirinya. “Tega kamu, Mas!” kecam Dini kepada Levian yang tak acuh kepadanya. Levian hanya meliriknya sekilas. Sedangkan di depan sana, sopir excavator baru saja berhenti menggarap toko bangunan milik orang tua Dini. Keluarga Dini yang menghentikannya. Mama Dini histeris sambil berlinang air mata. “Cukup menikah denganku! Apa pun asal bukan laki-laki lain dalam hidup kamu, kamu bebas, Dini! Aku bahkan akan memberi keluargamu rumah sekaligus usaha yang lebih layak!” ucap Levian lirih tapi penuh penekanan. “Kamu tidak tahu kan, bahwa toko dan rumah orang tua kamu ini sudah seharusnya digusur?” Pernyataan demi pernyataan dari Levian membuat Dini tercengang. Dini sungguh tidak tahu apa pun. Justru Levian yang terkesan sudah sangat paham keadaan. Levian berangsur menunduk, menyelaraskan wajahnya dengan Dini yang sudah lebih dulu melakukannya. “Kamu sungguh tidak ingin melihat orang tua kamu memiliki kehidupan lebih layak? Aku bersumpah akan memberi mereka tempat tinggal maupun tempat usaha baru yang berkali lipat lebih bagus dari ini. Asal ... asal kamu membiarkan aku memilikimu sepenuhnya!” Dini yang masih menyimak ucapan Levian dengan baik, jadi gemetaran. Kedua tangannya mencengkeram sisi baju piyama panjangnya. Dini sadari, jantungnya yang jadi berdetak sangat kencang, selain kedua matanya yang perlahan jadi basah, tak kalah panas dari tubuhnya. “Dia benar-benar menginginkanku. Memangnya untuk apa? Aku pikir alasannya melakukan semua ini karena dia tak sudi Leon bersanding dengan wanita sepertiku. Namun,” batin Dini sudah langsung tercengang. Sebab kedua orang tuanya dengan sangat kompak meyakinkan Levian, bahwa Dini mau menikah dengan Levian. Isak tangis dan air mata ketakutan dari kedua orang tuanya, membuat hati Dini sangat rapuh. Tangis dari keponakan maupun iparnya yang tak kalah ketakutan. Juga para tetangga yang akhirnya keluar dari rumah masing-masing untuk memastikan yang terjadi. “Dek, kami tidak bermaksud menjualmu! Sudah mau saja. Toh, Levian hanya ingin menikahimu. Dia tidak menuntut apa pun. Kita tidak punya pilihan lain, Dek. Karena harusnya dari dua hari lalu, rumah ini digusur. Namun Levian juga yang menahan penggusuran itu. Selama ini, Levian sudah banyak membantu keluarga kita, tapi dia melarang kami mengabarkannya kepadamu!” Apa yang dikatakan barusan oleh sang kakak juga membuat Dini tak kalah rapuh. Hingga akhirnya sekitar tiga puluh menit kemudian, Dini sekeluarga sudah ada di mobil Levian. Dini yang tetap memakai piyama maupun jilbab instan, duduk di sebelah Levian yang menyetir. “Entah rencana apa yang Allah siapkan untukku, tapi pada akhirnya aku benar-benar akan menikah dengannya. Sekarang dia akan mengantarkan aku dan keluargaku ke rumah baru untuk kami. Sepertinya, dia memang sudah menyiapkan semuanya. Entahlah ... kepalaku benar-benar pusing!” batin Dini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN