9. Paksaan Demi Paksaan

1142 Kata
Semua seserahan maupun barang yang pernah Dini terima dari Leon sekeluarga, telah memenuhi dua buah mobil mobil pick up. Dibantu dua orang pekerja laki-laki di toko bahan bangunan di kediamannya, Dini membereskan semua itu. “Mbak, ini langsung antar ke rumah mas Leon?” tanya seorang pria yang membantu Dini dan akan langsung menyopiri salah satu mobil pick up-nya. Dini yang sudah berkeringat parah, ngos-ngosan dan memang kelelahan, mengangguk-angguk. Kemudian ia menghela napas pelan. “Langsung antar ke sana. Nanti tolong sekalian bantu turun-turunin barangnya dari mobil juga ya Pak.” Lelah tapi lega, itu lah yang Dini rasa. Meski sampai detik ini Dini masih merasa sangat nelangsa, Dini berusaha menyudahinya kemudian bangkit. Dini memutuskan untuk masuk ke dalam rumah terlebih keadaan toko bahan bangunan milik keluarganya, terbilang sedang sepi. Berbeda dari rumah orang tua Leon yang berada di kawasan elite, kediaman orang tua Dini berada di kawasan padat penduduk. Bagian depan rumah orang tua Dini merupakan toko bahan bangunan. Toko tersebut menghadap persis ke jalan raya yang terbilang selalu ramai. Sementara rumah orang tua Dini yang ada di belakangnya juga terbilang sempit. Kamar Dini saja berupa loteng di atas toko bangunan. Itu juga yang membuat Dini minder dan langsung berpikir. Bahwa alasan Levian melarangnya melanjutkan hubungan dengan Leon karena dari kasta saja mereka sudah berbeda. “Terasa ada yang hilang, tapi apa dan sebelah mana? Karena sepertinya, bukan lagi hilang. Melainkan semuanya memang sudah h a n c u r. Sekarang, aku akan kembali memulainya dari awal. Walau mama papah mendukung hubunganku dan Levian, aku tetap enggak mau. Untungnya mas Devan tetap dukung semua keputusanku,” batin Dini sambil menaiki anak tangga terbilang sempit yang menghubungkannya ke lantai atas keberadaan kamarnya. Di kamarnya yang sempit dan penuh koleksi buku bacaan, Dini mengambil beberapa buku pelajaran dari rak. “Mau beresin skripsi dulu!” Dini memasukan lima buku yang ia ambil, ke dalam tote bag yang ada di rak lemari sebelahnya. Keadaan di sana memang sempit, tapi semua barang tertata rapi. Yang mana semua itu juga masih Dini yang membereskannya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Dini sudah rapi dan siap pergi. Tas yang sebelumnya Dini siapkan, Dini ambil dari meja kemudian taruh di pundak kanannya. Hari ini Dini memakai celana panjang maupun lengan panjang warna hitam dipadukan dengan hijab biru gelap. Dini menuruni anak tangga sambil memesan ojek online menggunakan ponselnya. Tak disangka, di toko bangunan orang tuanya sudah ada jemputan dari Levian. “Saya sudah ada janji, Pak.” Dini mengenali pria berseragam hitam lengan pendek dipadukan dengan celana panjang di hadapannya. Pria paruh baya bertubuh kurus berkulit kuning langsat itu pak Arya, sopir pribadi Levian. Levian memang kerap mengirim pak Arya untuk menjadi sopir pribadi Dini. Terhitung sejak Levian m e r en ggut kesucian Dini, Levian rutin mengirim pak Arya. Walau selama itu juga, Dini tak pernah mau diantar jemput pak Arya. Termasuk juga dengan fasilitas lain yang Levian berikan tanpa terkecuali atm dan mobil mewah. Semua itu tak pernah Dini terima. Karena Dini sadar, andai dirinya mau menerimanya, dengan kata lain Dini menerima perhatian bahkan cinta Levian. “Pak Levian bilang, beliau akan memecat saya andai Mbak, tetap tidak mau dengan saya, Mbak!” mohon pak Arya kepada Dini yang akan meninggalkannya. “B–bukan urusan saya, Pak!” Walau sempat refleks memelankan langkah sebelum akhirnya benar-benar berhenti melangkah, Dini memutuskan untuk bersikap masa bodo. Dini ingin Levian menyerah. Agar pria itu berhenti berharap dan tak lagi mengganggunya. “Harus tega, ... demi kebaikanku juga!” pikir Dini membulatkan tekadnya. “Tolong, Mbak! Istri saya bentar lagi lahiran. Kami sedang banyak biaya, Mbak. Saya mohon!” ucap pak Arya sambil berkaca-kaca kepada Dini, sesaat setelah ia nekat berlutut di hadapan Dini. Lagi-lagi keadaan dibuat sama. Dini terus dihempaskan ke posisi yang membuatnya seolah dipaksa menelan buah simalakama. Mengabaikan pak Arya sama saja melukai pria itu sekeluarga. Fatalnya, istri pak Arya akan melahirkan yang tentu saja membutuhkan banyak biaya. Namun, bagaimana jika pak Arya sengaja berbohong dan bekerja sama dengan Levian? “Aku enggak boleh goyah. Setelah permohonan sekarang, pasti akan ada permohonan lain di lain waktu, andai aku masuk ke jebakan mereka,” pikir Dini berusaha abai. Ia yang sempat terdiam sekaligus merenung, memilih pergi dari sana. “Mbak! Tolong banget, Mbak! Saya bakalan dipecat tanpa gaji apalagi pesangon!” ucap pak Arya meraung-raung sambil menyusul Dini. Namun lagi-lagi, Dini mengabaikannya. Dini memilih naik ojek yang ia pesan, setelah Dini juga sampai pamit kepada sang papa yang tengah ada di toko. Siang ini terbilang sangat terik, tapi tak memadamkan semangat Dini untuk bangkit. Dini ingin segera lulus skripsi. Jika memang bisa, Dini ingin lanjut mengejar beasiswa. Namun jika tidak berhasil mendapat beasiswa pun, Dini berniat pergi keluar kota untuk bekerja sekaligus menenangkan diri. “Aku beneran lelah ya Allah ... kapan Levian akan menyerah?” pikir Dini yang pada akhirnya berpikir, dirinya harus pindah tempat tinggal. Sebab walau malamnya ia pulang larut, Levian sudah kembali menunggunya. Levian berdiri di depan mobil Lexus hitam dan biasanya dipakai oleh pak Arya. Mobil tersebut diparkir persis di depan gerbang tinggi yang membenteng toko bahan bangunan milik orang tua asini. “Mau sampai kapa kamu begini?” tanya Levian. Namun karena Dini yang pulang dengan ojol langsung mengabaikannya, Levian sengaja berkata, “Siang ini aku baru saja memecat pak Arya karena dia gagal membujuk kamu ikut dengannya.” Seperti yang Levian yakini, Dini langsung merespons. Ucapannya membuat Dini berhenti melangkah. “Menunggu kamu hamil, ... kamu baru mau aku nikahi?” ucap Levian. Ucapan Levian kali ini hanya membuat Dini makin muak. “Anak itu enggak salah, Din!” seru Levian lantaran Dini tetap lanjut melangkah kemudian berusaha membuka gembok pintu toko bahan bangunan orang tuanya. “Aku akan menjadi orang tua tunggal. Aku tidak akan menikah. Jadi, cari wanita lain yang mau kamu nikahi saja!” tegas Dini. “Din, ... aku beneran tulus. Aku cinta kamu, dengan caraku. Cara yang memang salah, tapi hanya dengan begini, aku bisa mengikatmu!” tegas Levian, tapi tetap Dini abaikan. Termasuk juga meski ia berseru mengabarkan keadaan Anna yang sedang diopname. Dini tetap tak mengindahkannya. “Din, ... aku beneran sayang ke kamu!” batin Levian yang menunduk dalam, tak lama setelah tertutupnya pintu gerbang toko bahan bangunan milik orang tua Dini. “Kalau kamu tetap enggak mau menikah denganku, toko dan rumah orang tua kamu akan aku ratakan!” lantang Levian dan lagi-lagi, sukses membuat Dini berhenti melangkah. Namun seperti sebelumnya, Dini tetap mengabaikannya. “Dasar laki-laki pemaksa!” batin Dini benar-benar kesal kepada Levian. Ia masih berdiri bersandar pada pintu toko yang sudah kembali ia kunci. Dini bergegas melangkah menaiki anak tangga di sana guna secepatnya sampai kamarnya. Suasana di sana terbilang remang-remang karena beberapa lampu tetap dinyalakan. Namun, benarkah Levian akan melakukan segala cara agar Dini mau menikah dengannya? Termasuk itu, meratakan toko bahan bangunan maupun rumah orang tua Dini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN