"Ayo, kita buat ranjang itu berantakkan," ucap Bima.
Gista memandang Bima cukup berani, "I Made Bimasena Wasupati, Lo tinggal pilih aja, mau nginap di sini atau gue usir secara paksa,"
Alis Bima terangkat, dan ia lalu tertawa mendengar intonasi penekanan pada nama panjangnya.
"Nginap di sini lah,"
"Jangan macam-macam deh,"
"Gis ..."
"Ya," ucap Gista, ia menelan ludah, karena Bima berjalan mendekatinya.
"Ada yang harus lo tahu, apa yang ada di pikiran gue selama ini," ucap Bima, ia menyentuh rambut lurus Gista.
"Apa ... ," ucap Gista, jantungnya maraton karena posisi Bima begitu dekat, hingga ia memandang otot-otot bisep dari lengan kokoh Bima. Bulu kuduk nya merinding, ketika hembusan nafas Bima terasa di permukaan wajahnya.
Bima memegang pundak Gista, memandangnya cukup serius. Iris mata bening itu begitu cantik dan menenangkan. Ia hingga tidak bosan menatap bagian mata yang paling menarik dari wanita ini.
"Gis, ba mekelo belikenal jak iluh, ba makelo masih iraga bareng-bareng. Ne Jani beli lakar ngorahang, yening, beli seken tresna ken iluh. iluh nyak ke dadi demenan beli?,"
Gista mengerutkan dahi, ia tidak tahu apa yang di ucapkan Bima. Oh Tuhan, ia ingin sekali membentur kepala laki-laki ini. Sumpah, ia tidak suka jika Bima selalu mengeluarkan bahasa ibu nya. Bukan kali ini saja, tapi sering. Jangan harap ia mengerti apa di ucapkan Bima.
"Jangan mulai deh, gue enggak ngerti, apa yang lo omongin, sumpah gondok gue liat lo," ucap Gista, ia lalu meloloskan diri dari hadapan Bima dan lalu menjauh. Ia menjauh seperti agar, bisa menenangkan debaran jantungnya.
Bima tersenyum penuh arti, ia memandang Gista yang berhasil menjauh darinya. Wanita itu selalu seperti itu, padahal ia ingin sekali mencium bibir tipis yang selalu menggodanya.
"Gis, nyak sing dadi demenan yange?" Ucap Bima sekali lagi.
Gista lalu menoleh ke arah Bima, menatap laki-laki itu dengan penuh kesal.
"Lo mandi aja sana, jangan ngomong yang aneh-aneh," ucap Gista, ia lalu membuka blezer yang dikenakannya.
Bima tertawa, ia lalu membuka pintu kamar mandi. Betapa bahagianya ia bersama Gista seperti ini. Wanita itu marah terlihat semakin menarik. Tapi jujur tadi apa yang ia ucapkan sungguh dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Gista menyingkirkan meja kecil itu di depan Tv, ia mengambil karpet berbulu tebal itu dari bawah tempat tidur. Anehnya laki-laki itu, memiliki apartemen sendiri, ruangan apartemenya lebih luas dan lebih mewah dari tempat tinggalnya yang sempit ini. Entah kenapa si Bima selalu mengungsi tidur di sini bersamanya. Laki-laki itu selalu merepotkan saja.
Gista menyiapkan bantal dan bed cover untuk Bima. Ia meraih remote Tv, mencari siaran talk show. Setelah itu ia hidupkan Ac, jika pergi kerja atau keluar, ia selalu mematikan Ac, ia tidak ingin pemborosan listrik. Gista membuka gorden, dan menatap langit sudah menghitam. Gista mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding, menunjukkan pukul 19.11 menit.
Gista melangkahkan kakinya menuju kulkas, ia mengambil kaleng s**u steril berlogo beruang itu. Ia selalu menyetox s**u beruang, karena ia harus memulihkan kondisi tubuhnya yang lelah seharian bekerja.
Sedetik kemudian, pintu kamar mandi terbuka, ia menatap Bima. Laki-laki itu terlihat segar, handuk berwarna putih itu terpasang di sisi pinggangnya. Bima menatap Gista yang sedang berada di dekat meja pantri. Bima lalu melangkah menuju lemari pakaian, karena di sana lah pakaiannya di letakkan oleh si cantik.
"Gis, gue mau cuti, mau balik ke Bali," ucap Bima, sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk, ia melirik Gista masih di posisi yang sama.
"Kapan?" Tanya Gista lagi, ia lalu membuang kaleng itu ke tong sampah.
"Bulan depan, rencana gue mau bawa lo juga, Lo mau enggak?," ucap Bima.
"Hah, Lo mau bawa gue?"
"Iya, gue mau bawa lo, ya kenalan lah sama orang tua gue, asyik tau di Bali, dari pada Jakarta," ucap Bima, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Gue sebenarnya enggak terlalu suka sih di Jakarta, untung aja ada lo yang ngurusin hidup gue,"
"Kok gue,"
"Lo kan dekat sama gue, gue mau kenalin sama orang tua gue, simpel kan," ucap Bima tenang, ia lalu berjalan mendekati ruang Tv.
"Kenapa lo enggak bawa si Merry, jelas-jelas dia cewek lo," ucap Gista, mencoba memberi alasan.
Bima lalu membaringkan tubuhnya di karpet empuk itu, melirik Gista, dengan wajah lelahnya. Walau berantakkan seperti itu, Gista tetap terlihat menarik di matanya.
"Gue udah putus,"
"Kenapa?" Tanya Gista mulai kepo. Ia tidak tahu jalan pikiran Bima seperti apa, Merry kurang cantik apa lagi, sehingga ia memutuskan hubungan itu.
"Enggak cocok,"
"Lah kan bisa penyesuaian, kalian juga baru pacaran. Merry cantik, kerja di bank Central lagi,"
"Gue kurang sreg aja sama dia," ucap Bima tenang.
"Alasan lo basi, kemarin si Lira, Nia, Kiki alasan lo juga sama. Lo mau model kayak apa lagi, kenapa sih lo suka benget gonta ganti pacar Bim,"
"Namanya juga cari yang terbaik, Lo enggak mandi?," ucap Bima.
"Ini mau mandi kok," ucap Gista lalu melangkah ke kamar mandi.
"Gis ..."
Gista lalu menoleh ke arah Bima, laki-laki itu melihatnya cukup serius dan tanpa keraguan.
"Gue serius ngajak lo ke Bali," ucap Bima.
"Nanti gue pertimbangkan," ucap Gista lalu masuk ke dalam kamar mandi.
*********
Gista berjalan menuju pantri, ia melirik Bima masih di posisi yang sama.
"Lo mau makan enggak?" Ucap Gista, ia mengeluarkan daging giling, saus tomat, keju dan paprika.
Bima menegakkan punggungnya dan berjalan mendekati Gista. Wanita itu mengenakan singlet hitam dan celana pendek berwarna senada. Rambut panjang itu masih terlihat lembab. Harum Jasmine dari tubuh Gista, begitu menenangkan.
"Sebenernya tadi gue mau ngajak lo cari makan di luar, tapi kalau mau masak ya boleh deh," ucap Bima lagi.
Gista mengambil lafonte di lemari kabinet. Ia melirik Bima, "Besok meeting apaan sih, sampe pak Roby datang mendadak gini, enggak pernah-pernahnya juga,"
"Katanya mau buka tempat karaoke gitu di Bali,"
"Serius,"
"Iya serius, Lo tau sendiri Bali gimana, yah enggak beda jauh lah sama equinox," ucap Bima, ia membuka daging itu dari sterofoam.
"Seumur-umur gue kerja di sini, baru kali ini gue meeting sama pak Roby, rasanya gimana gitu, sok penting banget ya, meeting sama pak Roby. Kalau meeting sama pak Rey, udah biasa, tapi ini pak Roby Bim," Gista memasukkan lafonte itu ke dalam panci yang mendidih.
"Biasa aja lah," ucap Bima lagi.
Gista melirik Bima, "Bim, gue boleh tanya enggak?"
"Tanya apa?"
"Sebenarnya ini pertanyaan yang udah lama di pikiran gue. Dari pada gue penasaran ya gue lebih baik tanya lo langsung deh,"
"Lo mau tanya apa sih Gis," ia mulai mencurigai.
Gista menarik nafas, ia meletakkan sodet di dekat kompor gas itu.
"Gue hanya enggak mau lo tersinggung aja,"
"Tanya apa sih serius banget,"
Gista melirik Bima yang menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya.
"Tapi lo jangan tersinggung,"
"Tergantung lo nanya apa,"
"Oke, gue cuma minta penjelasan, kenapa orang Bali itu memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, kayak lo I Made, ada juga Ida Bagus, Anak Bagus. Gue masih belum ngerti aja, makna depan itu. Sebenarnya apa sih makna nama depan itu? Jujur ya gue penasaran," ucap Gista, setidaknya ia tidak penasaran lagi.
Bima menatap Gista, mengangguk paham, "Begini, pada umumnya nama orang Bali di awali dengan kasta. Sebenarnya Kasta tidak pernah diatur dalam kitab suci Weda. Penggunaan istilah kasta itu terbagi catur warna. Brahmana, Kstrya, Wasya, dan Sudra. Kalau gue jelasin panjang, sampe besok subuh baru selesai,"
"Jelasin aja intinya," ucap Gista, ia memasukkan lafonte itu ke dalam panci, karena air telah mendidih.
Bima menatap Gista, lalu melanjutkan kata-katanya, "Urutan nama itu rumusnya seperti ini, gelar, urutan lahir, dan terakhir nama. Anak pertama diberi awalan Wayan, ke dua Made, ketiga Nyoman, dan terakhir Ketut,"
"Berarti lo anak ke dua,"
"Itu lo udah ngerti,"
"Terus gelar," Tanya Gista lagi.
"Kan gue udah bilang terbagi catur warna,"
"Tapi lo enggak jelasin apa itu Brahmana, Ksatrya, Wasya, dan Sudra,"
"Oke gue jelasin, Pertama Brahmana itu seorang yang ahli dalam bidang agama, seperti pendeta, pemimpin upacara. Di beri gelar Ida Bagus, atau Ida ayu. Lo pasti sering dengar kan nama-nama itu. Selanjutnya Ksatrya itu kaum pertahanan kerajaan, di beri gelar anak agung untuk laki-laki, anak agung ayu perempuan,"
"Owh gitu, pantesan panjang gitu ya, terus lo kasta apa?"
"Kalau gue Wasya, sebagai penggerak ekonomi, pembangunan, dan pedagang. Namun sedikit berbeda dari pada yang lain, rumusnya hanya urutan kelahiran, terus pemberian nama. I Made Bimasena Wasupati. Terakhir Sudra, profesi kaum buruh atau tenaga kerja,"
"Owh gitu,"
"Kenapa,"
"Kenapa apanya?" Ucap Gista.
"Kenapa lo mau tau tentang gue" Tanya Bima.
"Emang enggak boleh?" Gista mematikan kompor gas, ia lalu meniriskan lafonte pasta ke sodet.
"Justru gue senang," ucap Bima pelan. Ia memberanikan diri, lalu mengecup pipi kiri Gista.
Gista merasakan kecupan ringan dari sahabatnya. Ia tidak mempermasalahkan laki-laki itu mengecupnya. Ya, dirinya juga biasa mengecup laki-laki itu dengan spontan.
********