Evans mengabaikan Clara, ia segera meninggalkan mereka dan menuju lantai dua. Evans mencari keberadaan Ziva dan ternyata Ziva sengaja menghindar darinya sesuai dugaannya. Ziva menjadikan Dimitri sebagai alasanya. Bagi Evans sikap Ziva yang seperti inilah yang membuatnya memperhatikan Ziva. karena Zava tidak akan pernah memperhatikan putranya. Apalagi Zava selalu saja menyibukkan dirinya dengan teman-temannya dan memilih pergi ke club dari pada mengasuh Dimitri.
Evans masuk kedalam kamar Dimitri dan meminta Ema untuk keluar dari kamar Dimitri. Ziva menyadari kehadiran Evans membuatnya berpura-pura tidak menyadarinya. Melihat kedatangan sang Papa, Dimitri segera berdiri dan menarik Evans agar berbaring bersamanya dan Ziva.
"Papa bobok sini!" pinta Dimitri. Tentu saja kesempatan itu tidak akan ditolak Evans.
Evans sengaja memilih berbaring disebelah Ziva agar ia bisa menggoda Ziva dan membuat wajah cantik itu memerah. "Mama peluk!" ucap Dimitri membuat Ziva segera memeluk Dimitri.
Ziva terkejut saat sebuah tangan dengan lancang memeluk pinggangnya dan saat ini ia merasakan hembusan napas dari belakang lehernya."Mama peluk Dimitri dan Papa peluk Mama hehehe..." ucap Evans sambil terkekeh.
Ziva berusaha melepaskan tangan Evans yang membelit tubuhnya "Zava, kenapa menolak suamimu yang sedang memelukmu? Bukankah kita biasa melakukan lebih dari ini?" bisik Evans.
Tidak, aku bukan Zava...
"Jangan menolak karena aku tidak suka ditolak!" ucap Evans mencium pipi Ziva. "Wajahmu yang memerah inilah yang membuatku tergoda," bisik Evans lagi.
Ziva tidak mampu menolak. Ia akhirnya membiarkan Evans memeluknya sesuka hatinya. "Laki-laki mana yang pernah memelukmu selain aku?" tanya Evans.
Ziva tidak nyaman dengan pertanyaan Evans "Jangan bicara yang tidak-tidak Dimitri belum tidur!" ucap Ziva mencoba mengalihkan pertanyaan.
"Jadi kalau Dimitri telah tidur aku bebas melakukan apapun padamu?" tanya Evans membuat Ziva membuka mulutnya.
Ziva merasa Evans sangat berbahaya. Ia tidak yakin jika Evans tidak akan pernah menyetuhnya seperti apa yang dikatakan pamannya jika Evans tidak menyukai Zava. Ziva menggigit bibirnya saat tangan Evans dengan kurang ajarnya mulai bergerak menyentuh tubuhnya.
Zava ini semua karena kamu...
Batin Ziva.
"Apa Dimitri butuh adik agar dia tidak terlalu manja padamu?" ucap Evans menahan tawanya karena berhasil membuat tubuh Ziva menegang karena ucapanya.
"Anakmu sudah banyak dan kau masih ingin memiliki anak lagi?" ucap Ziva pelan karena takut membangunkan Dimitri yang telah terlelap.
"sepuluh anak darimu masih sanggup buatku hehehe..." kekeh Evans.
Dan itu adalah neraka bagiku. Aku tidak mungkin selamanya terjebak menjadi Zava. Aku bukan istrimu.
Batin Ziva berteriak.
Evans mengangkat kepalanya agar bisa melihat Dimitri yang saat ini ternyata telah tertidur. "Aku tunggu di Kamar, dalam waktu sepuluh menit kalau kamu tidak datang ke kamarku. Jangan harap kau bisa melihat matahari besok!" ancam Evans membuat Ziva ketakutan.
Kau harus diberikan pelajaran Ziva karena berani menjadi istri palsuku...
Evans segera bangun dan melangkahkan kakinya meninggalkan Ziva yang saat ini masih memeluk Dimitri. Evans menuju kamarnya dan menunggu kedatangan Ziva. Ia tidak akan memberikan Ziva pelajaran karena berani mengusik hatinya.
Pernikahan Evans dan istri pertamanya merupakan perjodohan oleh kakeknya. Tidak ada kebahagiaan sama sekali karena keduanya hanya saling memanfaatkan. Apalagi saat itu Evans dan istri pertamanya masih begitu muda.
Evans pun harus menelan pil pahit karena perselingkuhan istrinya menghasilkan dua anak perempuan yang sebenarnya bukan anak kandungnya. Fakta yang selama inilah disimpan rapat hingga ia sengaja bersikap dingin dengan kedua putrinya.
Evans terlalu sibuk berpergian karena bisnis dan statusnya sebagai seorang mafia yang terkenal di negara ini. Evans sengaja tidak memberikan hak asuhnya kepada mantan istrinya, untuk menghukum mantan istrinya itu. Hidup penuh kebencian telah membuat seorang Evans menjadi iblis tampan yang begitu berbahaya.
Evans duduk di sofa kamarnya sambil meminum wine yang baru saja ia tuang kedalam gelas. Ia menikmati wine sambil menatap pemandangan dibalik jendela kamarnya. Ia menyunggingkan senyumannya saat sosok Ziva masuk kedalam kamarnya. Ziva segera membaringkan tubuhnya tanpa menghiraukan kehadiran Evans.
Evans tersenyum, baru kali ini ia membiarkan seorang perempuan memasuki kamarnya bahkan tidur diranjangnya. Banyak perempuan yang rela menurunkan harga dirinya hanya untuk tidur bersamanya. Tapi entah mengapa mata coklat milik Ziva membuatnya mengingat sosok perempuan yang pernah ia temui beberapa tahun yang lalu. Ziva menahan degub jantungnya yang menggila karena memberanikan diri tidur di kamar suami saudara kembarnya.
Gila aku harus bagaimana...
Ziva mendengar langkah kaki Evans mulai mendekati. Ia memejamkan matanya dan berdoa agar Evans tidak menyetuhnya. Tapi apa yang diharapkannya ternyata tidak terjadi. Evans memeluk Ziva dengan erat dan mencium leher Ziva membuat Ziva terkejut namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Evans menarik lengan Ziva hingga Ziva dalam poisi terlentang. "Aku menginginkanmu istriku!" bisik Evans.
Ziva ingin berteriak dan mendorong tubuh Evans yang saat ini mengurungnya. "Aku...aku... ". Ziva mencoba memberi alasan agar Evans tidak menyentuhnya.
"Tak ada alasan kau menolakku!" ucap Evans membuat Ziva menelan ludahnya. Ia membuka matanya dan menatap mata elang yang seolah ingin memakanya saat ini juga.
Ziva menatap Evans dengan tatapan takut dan tiba-tiba kepalanya terasa begitu sakit dan entah mengapa ia sepertinya mengingat sesuatu yang telah ia lupakan.
Evans tidak mempedulikan ekspresi kesakitan Ziva. Ia tetap menyetuh Ziva dimanapun ia mau. Ziva terisak namun Evans seolah tidak peduli dengan keadaan Ziva. Evans menjadikan Ziva miliknya seutuhnya dan ia terlihat begitu kesal karena informasi yang diberikan Xavier tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.
"Seorang perawan palsu" kesal Evans.
"Siapa yang telah menyentuhmu?" ucap Evans kesal dan memperlakukan Ziva dengan kasar. Ia tidak peduli dengan Ziva yang merasakan kesakitan. Entah mengapa ia sangat marah saat mengetahui Ziva sama saja dengan Zava.
"Kau gadis lugu hahaha... Kau sama saja dengan perempuan lain diluar sana!" Evans menarik rambut Ziva dengan kasar dan mengempaskan tubuh Ziva setelah ia merasa puas.
Evans menjauh dari Ziva dan ia segera mengambil jubah miliknya dan keluar dari kamarnya. Ziva terkejut dan menangis terseduh-seduh. Ia sangat tahu akan dirinya, ia tidak pernah disentuh lelaki manapun tapi mengapa Evans mengatakan jika ia pernah disentuh laki-laki lain.
Ziva terduduk dan kemudian berdiri. Ia mencoba melangkah kakinya namun rasa sakit di bagian intinya membuatnya sangat sulit untuk melngkah. Ziva menahan rasa sakitnya dan memilih masuk kedalam kamar mandi. Ia masuk kedalam bathup dan menghidupkan air di bathup sambil meringkuk bak janin disana.
Tangis Ziva kembali pecah. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Evans. Apa penyamarannya telah diketahui Evans. Apa Evans tahu jika ia buka Zava? lalu kenapa Evans membiarkannya menjadi Zava.
Apa dia akan membunuh keluargaku. Tidak aku tidak peduli dia akan melakukan apa padaku, tapi aku tidak akan membiarkan dia menyakiti keluargaku.
Kepala Ziva merasa sangat sakit, ia tidak mengerti kenapa kepalanya bisa sesakit ini. Ingin sekali Ziva mengakhiri hidupnya agar penderitaannya menggantikan Zava berakhir.
Sementara itu Evans masuk kedalam ruang kerjanya. Entah mengapa ia sangat marah karena informasi palsu yang diberikan Xavier padanya. Ziva bukanlah gadis polos. Ziva sama halnya dengan Zava wanita jalang yang suka menghangatkan ranjang banyak pria. Evans menghubungi Xavier.
"Halo Tuan" ucap Xavier
"Beraninya kau membohongiku, dia bukan gadis polos seperti yang kau katakan" teriak Evans.
"Hahahaha.... Akhirnya kau mencobanya tuanku?" tawa Xavier.
"Iya... Dan aku tidak suka di bohongi Xavier atau kau ingin aku meminta Darren membunuh dengan racun yang sangat mematikan?" teriak Evans.
"Hahaha tenang dude, apa kau bermain dengan lembut dengannya?" goda Xavier.
"Kau ingin aku mematahkan hidungmu itu sekarang juga?" teriak Evans. Belum pernah ia merasa tidak tenang seperti saat ini.
"Zava telah mempermainkanmu hahahaha... Menghabiskan uangmu dan menjadikan dia Nyonya Evans yang seharusnya bukan miliknya!" ucap Xavier membuat Evans terdiam.
"Zava dan Edwar memperdaya kau selama bertahun-tahun. Wanita itu hanya alat... Kau lagi-lagi menyakitinya. Kalau dia tahu fakta yang sebenarnya Ziva akan membencimu selamanya Evans," ucap Xavier.
"Apa maksudmu?" tanya Evans.
"Cobalah untuk berpikir Evans, aku rasa kau adalah makhluk cerdas yang selalu bisa membuat lawan-lawanmu kalah tapi ternyata kau berhasil dipermainkan seorang perempuan licik. Ziva tidak tahu apapun, ia dan kedua orang tuanya pun tidak terlibat dengan masalah ini," jelas Xavier.
Sabungan telepon diputus membuat Evans murka dan segera keluar dari ruang kerjanya. Ia kembali masuk kedalam kamarnya dan mencari keberadaan Ziva yang ternyata tidak ada diatas ranjang.
Tanpa memanggil Ziva Evans membuka kamar mandi dan terkejut melihat Ziva yang memejamkan matanya dan hampir tenggelam karena bathup yang telah penuh dengan air. Ziva tidak sadarkan diri membuat Evans segera menarik Ziva dari dalam bathup dan menggendongnya. Evans segera memanggil Ema agar membantunya menyadarkan Ziva.
"Pakaikan dia baju!" ucap Evans dingin. Ema melihat keadaan Ziva membuatnya merasa sedih. Ziva bukanlah perempuan jahat tapi kenapa tuanya berbuat kasar kepada istrinya sendiri.
***
Ziva mengalami trauma tentu saja kejadian itu sangat membekas diingatannya. Ziva merasa jika Evans benar-benar kejam padanya. Ia tidak peduli lagi jika Evans telah mengetahui ia bukanlah Zava. Ziva mengurung diri di kamar Evans dan memilih untuk duduk di balkon ketika ia bosan. Hanya Dimitri dan Ema yang dizinkan masuk menemui Ziva. Evans memerintahkan pengawalnya untuk mengawasi Ziva dengan ketat.
Hanya kehadiran Dimitri membuat Ziva sedikit melupakan kesedihannya. Evans tak lagi pernah datang menemuinya. Laki-laki itu sedang pergi ke Jepang.
Sudah satu bulan lebih Ziva menjadi Zava di kediaman Cristopher. Ziva selalu memikirkan uncapan Evans. Ia tidak tahu jika ia pernah tidur bersama laki-laki lain. Ziva tidak merasa memiliki hubungan intim yang lebih. Bagianya Evans yang pertama dan seperti dugaanya Evans telah mengetahui siapa dirinya lalu kenapa Evans tidak membunuhnya? Bukankah Evans adalah mafia yang sangat kejam.
"Saatnya makan siang Nyonya!" ucap Ema. Ema menggendong Dimitri yang sejak tadi duduk dipangkuan Ziva.
Ema meletakkan makanan di atas meja tepat dihadapan Ziva. "Makanlah Nyonya. Kalau Nyonya sakit tuan akan marah!" ucap Ema mencoba mengingatkan Ziva.
Ziva menatap Ema dengan sendu dan dengan terpaksa ia memakan makanan yang ada dihadapannya. Ema membawa Dimitri keluar dari kamar Ziva.
"Mau dibawa kemana Dimitri?" tanya Ziva.
"Pengasuhnya ingin memberikan Tuan muda makan dan setelah itu tuan muda ada jadwal belajar Nyonya!" jelae Ema.
Ziva menghela napasnya "Ema temani saya makan!" pinta Ziva.
Ema tersenyum "Maaf Nyonya saya tidak boleh makan bersama Nyonya!" ucap Ema.
"Tapi saya ingin Ema. Saya merindukan keluarga saya. Ibu dan ayah saya pasti sangat khawtir dengan keadaan saya!" ucap Ziva.
Ema bingung bukannya Zava bisa meminta ayahnya untuk mengunjunginya. Menurut pelayan yang lain, ayah Zava dulu sering berkunjung ke kediaman Cristopher.
"Nyonya jangan khawatir jika nanti Tuan pulang, Nyonya bisa meminta izin tuan untuk menemui keluarga Nyoya," ucap Ema.
"Dia tidak akan mengizinkannya Ema," ucap Ziva sendu.
Ema khawatir dengan keadaan Ziva. Wajah Ziva sangat pucat dan sudah dua hari ini Ziva panas tinggi. Entah apa yang dipikirkan majikannya hingga membuatnya seperti ini.
Ema akhirnya memutuskan untuk memberitahukan keadaan Ziva kepada Evans. Apa lagi sudah beberapa hari ini Clara mengamuk dan meminta untuk dibiarkan bertemu Ziva. Suasana kediaman Cristopher memanas karena Evans ternyata telah memecat Clara dan mengacuhkan Clara.
Ema bisa menduga jika Clara dibiarkan bertemu Nyonyanya mungkin akan terjadi pertengkaran yang hebat. Ema memilih untuk mematuhi perintah Evans agar tidak membiarkan siapapun masuk kecuali dirinya dan Dimitri. Ema juga tidak ingin berhenti menjadi pelayan Ziva. Apalagi ternyata Ziva adalah perempuan baik yang menghargainya. Tidak ada pekerjaan dengan gaji tinggi selain menjadi pelayan Ziva.
"Lebih baik setelah makan Nyonya segera beristirahat!" ucap Ema.
"Aku bosan Ema... Aku sepertinya memilih mati jika aku harus hidup seperti ini terus. Dia yang harusnya kembali bukan aku yang harus menerima perlakuan seperti ini!" ucap Ziva tapi Ema tidak mengerti maksud Ziva. Yang Ema tahu Ziva adalah Zava.
"Nyonya jangan banyak pikirian kasihan tuan muda!" ucap Ema mengingatkan kehadiran Dimitri.
"Hiks... hiks... Andaikan aku bisa keluar dari rumah ini. Aku akan membawa Dimitri bersamaku Ema dan andaikan mati adalah pilihan terbaik mungkin aku... "
"Jangan Nyonya!" Ema berlutut dikaki Ziva. "Jika Nyonya mati, Saya juga akan mati!" ucap Ema. "Tuan akan membunuh saya dan keluarga saya karena saya tidak becus menjaga Nyonya!" ucap Ema.
Ziva memejamkan matanya. Hidupnya menjadi semakin rumit. Bolehkan ia membenci saudara kembarnya sendiri karena telah membuat hidupnya sangat menderita. Zava adalah bencana dalam hidupnya dan mungkin saudaranya itu sedang bersenang-senang diluar sana dan membiarkannya menderita.
Kenapa Paman mesti datang dan memintaku menggantikanmu Zava. Kenapa tak ada rasa sayang sedikitpun kepada keluarga yang membesarkanmu hingga kau membuat semua keluarga kita akan mati terbunuh.
Bunyi tembakan membuat Ziva dan Ema terkejut. Ziva memilih untuk tidak penasaran dengan apa yang terjadi di lantai bawah. Harusnya ia membiasakan diri hidup dengan tidak memperdulikan keadaan orang lain. Siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh. Kediaman Cristopher adalah neraka baginya. Semua keluarga Cristopher adalah pembunuh sadis yang kebal hukum. Tak ada yang berani mengusik keluarga Cristopher apalagi sejak Evans Cristopher yang menjadi pemimpin keluarga ini.
Ziva membaringkan tubuhnya diatas ranjang dan memejamkan matanya. Saat ini ia kembali ke kamarnya dan mungkin saja Evans Cristopher sebentar lagi membunuhnya. Ziva berharap kedua orang tuanya akan bebas dari cengkraman Evans. Ia tidak peduli lagi dengan Zava dan Edwar pamannya. Ziva berusaha meruntuhkan rasa persaudaraannya dan menumbuhkan sikap benci.