“Mbak Shabira, siapa mas Alan itu?” Radit bertanya sambil melirik ke arah pria bertubuh tinggi dan atletis itu.
“Dia— sama seperti hubungan kamu dengan Kanaya.” Shabira menjawab sambil mengerjap mata, lalu menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan kasar.
Tanpa mau berlama-lama menatap pria itu, Shabira segera bangkit dari kursi dan berjalan menghampirinya.
“Hai, Shabira. Apa kabar kamu? Sama siapa kamu ke sini? Apa dia temanmu? Atau, murid kamu?”
“Apa harus bertanya sebanyak itu tentang kehidupanku?” Shabira membalas dengan sikap dingin. “Bahkan aku belum menjawab pertanyaan kamu yang pertama, tapi kamu sudah bertanya hal lainnya.”
Alan tersenyum mendengar ucapan ketus Shabira. “Ternyata kamu masih belum berubah juga Shabira.”
“Untuk orang seperti kamu, untuk apa aku berubah!?”
“Baiklah, kalau begitu aku tarik lagi semua pertanyaanku tentang kamu. Aku akan bertanya tentang Nuka dan Nala. Bagaimana dengan kabar mereka?”
“Kalau kamu ingin mengetahui kabar mereka, datanglah ke rumah orang tuaku. Itu pun kalau kamu tidak ditolak oleh mereka.”
“Aku akan datang ke sana kalau mereka sudah mau menerimaku kembali.”
“Bagaimana cara kamu mengetahuinya kalau mereka sudah mau menerima kamu kembali? Sedangkan, sudah tidak ada komunikasi sedikit pun di antara kita sejak hari itu.”
Alan terdiam sejenak sambil memikirkannya. Lalu, “Dengan caraku, aku akan bisa mengetahuinya.”
“Aku harap kita tidak akan bertemu lagi untuk selamanya.” Ucap Shabira pelan dengan penuh penekanan.
Kemudian, Shabira melepaskan tatapannya dan pergi meninggalkan rumah makan itu setelah mengambil tasnya. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Radit. Tapi, pemuda itu segera mengejar Shabira setelah meneruskan tatapan matanya Shabira ke arah Alan. Hanya sekejap saja, lalu Radit bergegas menyusul Shabira.
Radit berlari cepat saat melihat Shabira sudah pergi jauh darinya. Dia langsung meraih tangan Shabira begitu sudah berada di dekat wanita itu dan dia tidak mau melepaskan tangan Shabira meski Shabira berusaha melepaskan genggaman tangannya.
Akhirnya, Shabira menangis sepanjang perjalanan pulang sampai ke rumah kontrakannya dan Radit tidak bertanya atau mengatakan apapun pada Shabira selama dia mengantarnya pulang sampai di depan rumah.
“Mbak Shabira istirahatlah. Aku akan datang lagi besok.” Ucap Radit sambil melepaskan tangan Shabira.
Tapi, Shabira menahan tangan Radit saat hendak melepaskan tangannya. “Kalau kamu memang tidak ada tempat tinggal saat ini, kamu boleh tinggal di sini untuk sementara waktu. Karena aku sudah menerima kamu sebagai teman serumahku.”
“Kenapa mbak Shabira bisa berubah pikiran? Apa karena ceritaku saat di rumah makan tadi? Atau, karena aku ada untuk mbak Shabira saat mbak sedang membutuhkan sandaran seseorang di tengah kesedihan mbak usai bertemu mantan?”
“Aku sendiri tidak tahu alasannya, tapi sebelum aku berubah pikiran, baiknya kamu berhenti bicara dan masuk saja bersamaku ke dalam rumah ini.” Ucap Shabira, tanpa mau banyak bicara lalu dia segera masuk ke dalam rumah itu untuk beristirahat.
**
Esok paginya, Shabira dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa begitu dia baru terbangun dari tidur lelapnya selama dua jam. Rumah yang rapi, wangi, dan bersih serta sarapan cantik yang sudah tersaji di atas meja makan.
“Wah, apa sekarang matahari terbit dari barat?”
“Tdak usah berlebihan seperti itu dong mbak Shabira. Aku ini sedang merayu mbak supaya mbak benar-benar mau menerima aku sebagai teman serumah. Siapa tahu mbak berubah pikiran saat terbangun pagi ini, karena sepert itulah wanita yang sering berubah pikiran dan menyesali perkataannya, meski sudah dipikirkan ribuan kali.”
“Apa kamu mantan playboy?”
“Tidak. Aku hanya sering didekati oleh banyak perempuan yang hanya memanfaatkan aku saja. Hanya itu.”
“Ternyata kasihan sekali menjadi dirimu. Memiliki wajah yang cukup oke serta didukung dengan postur tubuh yang bagus, tidak menjamin hidupmu sempurna seperti yang orang lihat dalam sekejap mata.”
“Sudahlah jangan membahas soal itu lagi, lebih baik kita makan sekarang. Aku kelaparan sekali karena sengaja menunggu mbak Shabira sampai bangun.”
Shabira pun tersenyum tersipu mendengar kalimat terakhir Radit barusan.
“Oh iya, mbak. Hari ini kan mbak libur bekerja. Bagaimana kalau kita pergi nonton film di bioskop?”
“Boleh. Kebetulan aku juga butuh penyegaran.”
Ting-tong... ting-tong...
Terdengar suara bel tanda tamu datang. Radit dan Shabira saling melihat-lihat, siapa yang akan membuka pintu.
“Biar aku saja yang membukanya.”
“Sebelum membuka pintu, dilihat dulu siapa yang datang lewat jendela.”
“Oke.”
Shabira melihatnya lebih dulu melalui jendela, dan ternyata yang datang adalah pemilik rumah yang dia sewa saat ini. Tanpa berpikir dua kali, Shabira segera membuka pintu rumah itu.
“Loh? Radit? Kok kamu ada di sini?” Orang pertama yang Tantri lihat begitu pintu rumah itu terbuka adalah keponakannya sendiri. Dia langsung berjalan menghampiri Radit dan melewati Shabira begitu saja saat Shabira hendak menyapanya.
Radit pun langsung berdiri untuk menghadapi Tantenya itu.
“Bukannya pulang ke rumah, tapi kamu malah bersembunyi di sini! Mencari kamu sudah seperti mencari anak tikus saja! Apa kamu tidak tahu kalau mama kamu sedang sakit gara-gara mikirin kamu, Radit!?”
“Mama hanya pura-pura sakit supaya aku pulang. Aku sudah tahu niat curang papa dan mama yang masih ingin menjodohkan aku dengan Kanaya demi kepentingan mereka.”
“Loh, memang apa salahnya kalau kamu menikah dengan Kanaya? Toh kalian juga pernah saling mencintai. Kalau soal putus nyambung sih hal biasa dalam suatu hubungan.”
“Tante, kalau saja Kanaya adalah perempuan yang seperti perkiraan aku selama menjalin hubungan dengan aku dulu, aku akan menerima pernikahan itu. Tetapi, realitanya Kanaya itu toxic. Menikahi aku dengan perempuan itu sama saja menerjunkan aku ke jurang tanpa pengaman.”
“Kamu terlalu berlebihan Radit. Manusia bisa berubah, begitu juga dengan tugas kamu sebagai suami Kanaya nantinya. Ya kamu ubah dia menjadi manusia yang baik lagi dong.”
“Memang tidak akan ada orang yang bisa mengerti aku kecuali mbak Shabira.”
“Sha-Shabira? Dia? Shabira yang kamu maksud?” Tantri menoleh ke arah Shabira yang masih berdiri di dekat pintu. Dia menunjuk Shabira dengan tangannya dan diiyakan oleh Radit.
“Bukannya kamu—“ Tantri menahan kalimatnya sejenak untuk memikirkan sesuatu tentang wanita berparas cantik itu. “Ah, iya. Shabira. Tujuan saya ke sini karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kamu.” Tantri baru teringat dengan tujuan kedatangannya begitu dia melihat Shabira.
“A-apa yang ingin Bu Tantri bicarakan dengan saya?” Shabira bersikap cukup canggung di hadapan pemilik rumah.
“Radit, bisakah kamu meninggalkan kami sekarang? Karena keberadaan kamu di sini hanya akan membuat Shabira tidak bisa menjawab semua pertanyaan Tante.”
“Sebenarnya tante Tantri mau mengajak bicara mbak Shabira atau mau melakukan sidang skripsi dengannya?”
“Sudah jangan banyak tanya. Cepat kamu pergi dulu dari rumah ini selama dua jam.”
“Dua jam?” Radit kaget. “Aku belum mandi, belum sarapan, dan—“ Mulut Radit langsung berhenti bicara begitu lima lembar uang kertas berwarna merah Tantri berikan padanya. Tanpa berlama lagi, Radit segera pergi dari rumah itu.
Melihat Tantri semudah itu memberikan sejumlah uang tersebut untuk keponakannya hanya untuk jajan saja membuat Shabira merasa sedih, karena jumlah uang itu sangatlah banyak untuknya.
“Oke. Sekarang, kita bisa bicara berdua tanpa ada gangguan.”
“Iya.” Shabira segera duduk di depan meja makan bersama Tantri.
“Begini, Shabira. Saya ingin kamu menyewa rumah ini sampai enam bulan saja, jangan lebih.”
“Memangnya kenapa, Bu? Karena... sebenarnya saya sudah merasa nyaman tinggal di rumah ini dan lingkungan di sini juga aman untuk saya tinggali.”
“Rumah ini sudah dibeli oleh orang tua Radit. Mereka memaksa saya untuk melepaskan rumah ini untuk Radit tinggali saat dia sudah menikah nanti. Tapi, berhubungan Radit keras kepala dan tetap tidak mau menikah dengan Kanaya. Maka dari itu, saya minta tolong sekali sama kamu untuk mengizinkan Radit tinggal di sini dan tolong buat dia berubah pikiran soal pernikahannya. Karena sepertinya kalian bisa akrab semudah itu, Radit juga sepertinya sangat nurut sama kamu. Padahal, Radit itu bukan orang yang mudah akrab sama orang loh. Saya pastikan, keberadaan Radit di sini akan aman dari jangkauan orang tua Radit dan juga Kanaya. Kamu mau kan membantu saya?”
***