Pertemuan dengan Mantan

1173 Kata
“Mbak Shabira lagi butuh uang tidak?” Radit bertanya, sekembalinya Shabira dri toilet. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Shabira menatap curiga. “Hanya bertanya saja.” “Aku memang selalu membutuhkan uang selama aku belum menjadi orang kaya!” Shabira menjawab asal, lalu dia melanjutkan makannya kembali. “Entah kapan aku akan menjadi orang kaya. Herannya, sebanyak apapun aku menabung dan mengirit pengeluaranku, uang yang aku simpan itu tetap minta dikeluarin dari tabunganku! Fiuh...” Shabira merasa lelah kalau mengingat soal keuangannya. Hidupnya selalu terasa berat setiap kali mengingat soal uang, sedangkan uang selalu muncul di hadapannya setiap waktu. “Kalau memang mbak Shabira sedang membutuhkan uang, bagaimana kalau aku menyewa satu kamar di dalam rumah itu?” “Ide macam apa itu? Cara bicara kamu menawarkan itu seolah kamu tidak ingin jauh dariku saja. Hahahaa...” Shabira melepas tawa singkat. “Aku hanya menyukai rumah itu saja. Apalagi kamar yang selalu aku tiduri. Suasananya sangat menenangkan, karena aku bukanlah orang yang mudah untuk beradaptasi dengan tempat baru dan juga orang baru. Tapi, dengan mbak Shabira, tidak tahu kenapa aku mudah sekali beradaptasinya.” Pujian kecil itu membuat Shabira tersenyum tipis. “Kebetulan aku baru saja mendapatkan uang dari hasil pekerjaan freelance di Kafe selama sebulan kemarin, jadi uangnya cukup untuk menyewa kamar di rumah itu. Tolong diterima uangnya.” Radit memberikan amplop berisi uang yang nominalnya sangat banyak. Tentu saja Shabira tidak percaya. “Radit, aku saja menyewa di rumah itu. Lalu, bagaimana bisa sekarang kamu malah ikutan menyewa? Apalagi...” Shabira menahan kalimatnya sejenak, dia membuka isi amplop tersebut terlebih dahulu. “Sebanyak ini? Apa ada pegawai baru yang bekerja di Kafe langsung mendapatkan gaji yang setara dengan pegawai kantoran yang sudah bekerja selama lima tahun?” Shabira sulit untuk mempercayainya. Dia mengembalikan uang itu pada Radit. “Ta-tapi, mbak. Uang ini memang aku dapatkan dari hasil kerjaku berikut dengan bonus.” Saat Radit berusaha untuk meyakinkan dirinya, Shabira bersedekap. Dia menatap pemuda itu sambil menyandarkan santai tubuhnya di kursi. “Jujur saja sama aku, Dit. Sebenarnya, apa niat kamu padaku? Jangan membuat sebuah skenario drama yang bukan dalam bidang kamu.” “Aku harus jujur apa sama mbak Shabira? memang realitanya aku ingin tinggal di sana, di rumah itu. Padahal, aku sudah mengatakan pada Tante Tantri supaya rumah itu disewa olehku saja, tapi Tante Tantri menolak. Dia malah sengaja mencari penyewa baru untuk rumahnya.” Raut wajah dan cara bicara Radit yang terlihat kesal ketika menceritakannya padanya, membuat Shabira berpikir sesaat soal alasan Radit yang masih bersikukuh untuk tinggal di rumah itu. “Begini saja, Dit. Kamu berikan saja uang sewa yang telah aku bayar pada Bu Tantri selama 6 bulan untuk menyewa rumah itu. Nanti, biar aku saja yang pindah dari rumah itu setelah mendapatkan rumah kontrakan baru. Selama masih mencarinya, aku minta kebijakan dari kamu untuk menampungku sementara waktu.” “Aku tahu kok alasan mbak Shabira menolak aku untuk tinggal serumah dengan mbak, karena aku laki-laki dan mbak perempuan.” “Kalau memang sudah tahu itu persoalan utama aku menolak kamu tinggal bersamaku, lalu, kenapa kamu masih bersikukuh ingin tinggal bersamaku di rumah itu?” Radit langsung terdiam sambil memikirkan alasan yang lebih tepat agar bisa membuat Shabira mempercayainya. “Oh. Aku tahu!” Shabira langsung merengutkan dahinya begitu Radit mengacungkan jari telunjuk di depannya, sudah seperti anak kecil yang telah mengetahui jawaban dari soal pertanyaan pelajaran yang berhasil dia pecahkan. “Alasan apa yang ingin kamu katakan padaku?” Radit sedikit mendekati Shabira yang terlihat tidak penasaran dengan alasannya. “Mbak tahu sama perempuan yang selalu datang bersamaku setiap kali aku mengunjungi Menara Ova?” “Iya.” Shabira mengangguk. Dia memang sangat penasaran dengan sosok perempuan itu selama ini. “Dia adalah Kanaya. Mantan pacar aku sekaligus calon jodoh aku yang sudah ditetapkan bukan sama Tuhan, melainkan sama kedua orang tuaku yang maniak duit!” Untuk sesaat Shabira terdiam mematung dengan mulut menganga. Entah ajaran dari orang tuanya atau memang kalimat 'maniak duit' tercipta dari mulut Radit, tapi sebagai manusia yang sudah menjadi orang tua tentunya kalimat itu terdengar menyakitkan di telinga Shabira. “Eheem!” Shabira berdeham. Dia mengubah posisi duduknya menjadi lebih kaku dan mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih tegas. “Lalu, apa hubungannya antara perempuan itu dengan kamu ingin tinggal di rumah itu bersamaku?” “Ya jelas ada. Dengan aku tinggal di rumah itu maka aku punya alasan untuk menolak dijodohkan dengannya. Mbak Shabira kan tahu, kalau perempuan dan laki-laki yang tinggal dalam satu atap rumah tanpa pernikahan itu masih dianggap tabu di negara kita ini. Jadi...” “Jadi, apa?” “Anggaplah aku sebagai penyewa, bukan teman serumah. Dengan begitu kita bisa terselamatkan dari gibah netizen yang usil sama kehidupan kita.” “Berhentilah bicara denganku. Aku sudah tidak tahan lagi denganmu. Aku memang bodoh karena mudah saja menerima pujian bahkan payung dan semua makanan ini dari bocah tengil seperti kamu!” Pekik Shabira kesal. Dia segera bangkit dari kursi untuk segera pergi meninggalkan Radit yang masih berharap kebaikan hati darinya. Tapi, begitulah Radit. Dia langsung meraih tangan Shabira dan menggenggamnya kuat sambil mengatakan dengan cepat sesuatu yang sudah tidak bisa dia sembunyikan lagi dari Shabira. “Aku diusir dari rumah orang tuaku!” Tubuh Shabira langsung tertahan detik itu juga begitu Radit mengungkapkan sesuatu tentang dirinya. “Selama sebulan setelah keluar dari rumah itu, aku tidur di Kafe tempat aku bekerja. Itu pun aku lakukan secara diam-diam dan setelah ketahuan oleh bosku kalau aku tinggal di Kafenya selama ini, aku langsung dipecat. Soal Kanaya yang selama ini mbak lihat, dia memang mantan pacarku. Kedatanganku ke Menara Ova untuk membantunya menyelesaikan pekerjaannya yang tidak bisa dia lakukan, itu pun aku lakukan atas ancaman dia yang akan mengadukan pada kedua orang tuaku tentang kelakuanku. Perempuan itu memang sangat merepotkan, makanya aku muak padanya. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku sampai menikah dengannya maka hidup aku akan menderita dan akan terus menjadi budaknya. Selain itu, saat ini aku sedang berjuang untuk menyelesaikan skripsiku agar aku bisa segera menerima ijazahku untuk aku pakai melamar pekerjaan. Hanya rumah itu dan mbak Shabira tempatku bergantung. Karena aku tahu kalau mbak Shabira orang yang baik yang akan menolongku.” Semua cerita yang baru saja Radit katakan padanya langsung direspon dengan cukup baik oleh Shabira. Wanita itu kembali duduk di kursinya, lalu menjauhkan tangannya dari tangan Radit. Sebelum mengatakan sesuatu, Shabira lebih dulu menghembuskan nafas kasar dengan segala kelelahan hidupnya. “Radit, kalau memang itu yang kamu inginkan, baiklah, aku akan menerima kamu sebagai—“ “Teman serumah?” Radit memotong cepat ucapan Shabira yang belum selesai. “Teman serumah?” Shabira bertanya balik dengan pertanyaan yang sama. “Iya. Teman serumahku yang cantik.” Radit langsung melebarkan senyumannya di hadapan Shabira. “Shabira!” Tiba-tiba saja seorang pria memanggilnya saat tawa kebahagiaan di wajah manis Shabira sedang mengembang. Dia pun langsung menoleh cepat ke arah pria itu. “Mas Alan?” Shabira terkejut bukan main saat dia bertemu tanpa sengaja dengan seorang pria yang pernah hadir lama di dalam kehidupannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN