“Mas, apa anak ini...”
Gina menggelengkan kepalanya, tidak bisa melanjutkan kalimat yang akan keluar dari bibirnya. Harusnya mereka tidak kebocoran, tapi tampaknya mereka melupakan pengaman pada saat menjelang pernikahan.
“Kita shalat taubat aja, kalau aku bilang bukan kok.”
“Mas yakin?” Gina mengangkat kepalanya menatap Fierly yang menganggukkan kepalanya.
“Kamu nggak ngidam apa gitu?” Gina menggelengkan kepalanya “Benar? Biasanya ibu hamil pasti pengen apa-apa gitu.”
“Nggak, mas. Aku kayaknya harus revisi, besok mau ke kampus buat nyelesain semuanya.”
Mengalihkan pikirannya ke hal lain, siapa tahu tidak membuat dirinya semakin pusing. Berita kehamilannya sangat mendadak, ditambah usia kehamilan yang membuatnya berpikir tidak-tidak. Meletakkan foto USG diatas meja, menyingkirkannya sebentar agar bisa menyelesaikan revisi tugas akhirnya.
“Toko lumayan ramai, nanti bisa buat biaya hamil.” Fierly membuka suara memecah keheningan.
Gina tidak mendengarkan fokusnya pada komputer, mencoba untuk fokus agar tidak memikirkan tentang kehamilan, terlalu fokus sampai tidak mendengarkan Fierly yang berbicara tentang banyak hal. Gina sama sekali tidak ingin mendengarkan hal lain, hembusan napas panjang dikeluarkan saat menyadari jika revisi sudah selesai dilakukan.
“Kamu dengarin aku ngomong?” tanya Fierly tepat ketika Gina mematikan komputer.
“Memang mas bicara apa?” Gina menatap bingung.
“Kamu masih mikirin usia kehamilan?”
“Bagaimana nggak mikir, mas. Aku hanya takut sama psikologis anak ini, belum lagi tentang waris.” Gina membelai perutnya pelan.
“Sayang, kamu terlalu jauh mikirnya. Semua akan baik-baik saja, kamu harus yakin itu.” Fierly memegang tangan Gina seakan memberi kekuatan.
“Mungkin, apa aku nggak harus mikirin?” tanya Gina yang menatap Fierly “Nggak bisa juga nggak mikir, mas.”
“Kita jalanin aja semuanya, kita kan baru tahu usia kehamilan belum tahu sampai dalam.”
“Maksudnya sampai dalam?” Gina menatap bingung “Ah...kita nggak tahu kapan benih kamu akan bekerja, bukan begitu?”
“Pintar.” Fierly mencubit hidung Gina pelan “Nggak mau mandi? Setelah itu langsung shalat bersama.”
Gina membenarkan kalimat yang dikatakan Fierly, saat ini banyak hal yang harus menjadi perhatiannya bukan hanya tentang usia kehamilan. Mengikuti apa yang dikatakan Fierly dengan membersihkan diri dan lanjut dengan ibadah bersama, semua yang dilakukannya selama beberapa bulan ini adalah bayangan yang selalu hadir didalam mimpinya selama ini.
“Katanya kalian ke dokter? Bagaimana?”
Gina menatap Fierly agar memberi jawaban pada keluarganya terutama orang tuanya, keputusan akan diberikan pada Fierly bahkan ke hal paling kecil.
“Malah diam, memang gimana hasilnya? Gina sakit apaan? Keracunan?”
“Bukan, umi.” Fierly membuka suaranya.
“Lalu?” semua mata memandang pada mereka berdua.
“Umi dan abi akan jadi mbah lagi,” jawab Fierly pelan tapi penuh keyakinan.
“Benaran, Gin?” Gina menganggukkan kepalanya “Astaga! Jadi kemarin itu kamu muntah-muntah itu hamil?” Gina kembali menganggukkan kepalanya “Alhamdulillah, kamu sudah nggak bisa semuanya sendiri.”
“Ya, umi.” Gina hanya menganggukkan kepalanya.
Mulai mendengarkan nasehat kedua orang tuanya tentang apa yang boleh dan tidak selama kehamilan, setidaknya perkataan kedua orang tuanya akan menjadi bekal selama masa kehamilannya. Genggaman tangan yang dilakukan Fierly secara diam-diam selama orang tuanya memberikan nasehat seketika menjadi hangat, seseorang akan mendampinginya selama proses kehamilan.
“Dengerin umi bicara tadi aku jadi yakin satu hal kalau kamu akan baik-baik saja, banyak yang akan jaga kamu nanti dan aku salah satunya. Kamu nggak perlu khawatir atau memikirkan hal-hal yang nggak penting.” Fierly membelai rambut Gina pelan.
Gina menganggukkan kepalanya mendengar kalimat Fierly, saat ini hanya kata-kata semangat yang perlu dia dengarkan dari orang terdekat. Sekarang keyakinan pada Fierly jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya, Gina harusnya benar-benar bahagia mendapatkan sosok pria yang memang bisa diandalkan.
“Bagaimana revisinya? Sudah selesai?” Fierly menatap Gina yang akan memejamkan matanya “Mau aku periksa?”
“Mas nggak capek?” Gina membuka matanya saat mendengar tawaran menggiurkan dari Fierly.
“Nggak, aku bisa melakukan banyak hal buat membantu kamu.” Fierly mencium singkat bibir Gina.
Gina tidak mau membuang waktu, membuka komputer dan langsung menunjukkan pada Fierly apa-apa saja yang harus di revisi. Fierly meminta Gina agar istirahat meninggalkan dirinya yang mengerjakan tugas akhir miliknya. Melihat sikap Fierly, perasaan hangat hadir dalam diri Gina dan seketika tersenyum melihatnya.
“Fungsi suami ternyata bisa buat begini ya?” Gina mengatakan dengan suara pelan yang tidak dapat di dengar Fierly “Kamu besok harus rajin belajar, biar jadi kebanggaan umi dan abi.”
“Panggilannya jadi itu?” tanya Fierly tanpa mengalihkan tatapannya.
“Mas maunya dipanggil itu, memang aku bisa nolak?”
“Kamu mau panggilan apa? Asal bukan kaya barat aja, budaya kita ini budaya timur.” Fierly mengingatkan sebelum Gina mengatakan yang tidak-tidak.
“Aku sih ikut aja, mas. Nggak masalah dipanggil apaan.” Gina memilih mengalah “Mas, aku udah lelah. Aku tidur ya.”
“Sayang, weekend kita ke rumah orang tuaku. Kita kasih tahu kehamilan kamu, mereka pasti senang kaya umi dan abi. Kalau bisa kita nginap, nggak papa?”
Gina menggelengkan kepalanya “Nggak papa, lagian orang tua mas juga orang tuaku.”
Hembusan napas pelan dikeluarkan untuk menenangkan diri, mendengar akan kerumah mertua secara tiba-tiba perasaannya menjadi tidak tenang. Gina tidak tahu alasan dibalik dirinya setiap datang ke rumah mertuanya, suasana aneh selalu hadir dan membuat bulu halusnya suka berdiri. Beberapa kali mencoba menghilangkan pemikiran negatif, tapi tetap saja perasaan aneh dan tidak enak akan selalu dirasakannya.
Melihat sikap Fierly tidak mungkin menolak ajakan ke rumah orang tuanya, sedangkan Fierly sendiri berusaha bertahan di rumah orang tuanya selama beberapa bulan ini. Gina tidak tahu bagaimana mengatakan hal sebenarnya pada Fierly tentang apa yang dirasakan ketika datang ke rumah orang tuanya.
“Kita nginep, mas?” Gina memastikan yang hanya diangguki Fierly “Berarti aku harus siapin baju-bajunya.”
“Masih beberapa hari, kamu santai aja. Sekarang fokusnya adalah revisi selesai dan wisuda.”
Gina membenarkan perkataan Fierly, menyelesaikan revisi skripsi dan wisuda. Senyum terukir di wajah saat membayangkan wisuda dengan didampingi suami dan juga anak dalam kandungan, tidak ada yang lebih nikmat dibandingkan semua yang dialaminya. Tampaknya hubungan persahabatan dengan Indira benar-benar sama, masuk sampai lulus bersama yang ditemani oleh suami.
“Belum tidur? Masih mikir usia kehamilan?” Gina menggelengkan kepalanya “Lalu?”
“Mikir wisuda bareng sama Indira dengan ditemani suami, bedanya aku hamil tapi Indira nggak.”
“Bagus, kamu nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Kesehatan kamu harus di utamakan dan salah satunya adalah dari pikiran. Jangan sampai karena pikiran buat kita kehilangan bayi ini nantinya, aku udah usaha penuh biar cepat hadir.” Gina memutar bola matanya malas.
“Semua nggak akan terjadi kalau aku nggak mau menerima benih mas, jadi jangan sombong. Aku yang membawa sampai sembilan bulan ke depan, mas harus memenuhi semua yang aku ingjnkan nantinya.” Gina memberikan peringatan dengan tatapan serius dan nada suara yang menggoda agar Fierly tidak marah.
“Siap, demi anak. Apa yang nggak buat anak.”