Sudah hampir satu minggu berjalan, kejadian demi kejadian sudah berlalu tanpa bisa dihindarkan. Sejak tiba di Indonesia, William memang memilih tinggal di apartemen. Setelah memantapkan hati, kini tubuh tegapnya mulai memasuki rumah mewah bernuansa putih di depannya. Langkah demi langkah William tapaki secara perlahan. Hati William sangat beku, bahkan dia tidak tahu sedang merasakan apa.
Sejenak William berhenti, menatap nanar rumah sepi di depannya. Iya, rumahnya sepi tak berpenghuni. Walaupun tidak berpenghuni, masih ada para pekerja yang merawat rumahnya. Seklibat bayangan masalalu kembali menari-nari di dalam otak William. Suara canda tawa, obrolan hangat, bahkan suara nyanyian sederhana, semuanya seolah bersatu dengan indah.
Rumah mewah di depannya memang sangat terkutuk, tapi disisi lain, rumah ini banyak sekali kenangan yang tercipta dengan indah. Kehilangan demi kehilangan William dapatkan di rumah ini.
'Ada atau tidaknya Ibu, kita harus tetap kuat. Kalau kita bersedih, percayalah Ibu akan sedih juga di sana. Ayah janji akan mendampingi kamu, kita berjalan maju sama-sama.'
Kedua mata William memejam, itu adalah kata-kata yang Ayahnya lontarkan sesaat para pelayat pulang sehabis memakamkan Ibunya. Sudah bertahun-tahun memang, tapi ingatan William masih teramat tajam. Saat itu mereka sama-sama hancur. Bagaimana tidak hancur, Wilson harus kehilangan sang istri tercinta, lalu William kecil harus merasakan hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu.
Kasus kematian Ibunya sangat mencengangkan publik, namun saat itu Wilson tidak mengambil tindakan apapun demi melindungi putra satu-satunya.
Semakin hari, semakin beranjaknya usia, William mulai merasa kalau hidup keluarganya sedang diatur oleh seseorang yang entah itu siapa. Mungkin saja, setelah orang tuanya, dia yang akan menjadi target pemusnahan orang keji itu. Tapi untuk saat ini William tidak khawatir, karena orang yang dia gadang-gadang musuh sudah tumbang tak berdaya.
Kasus kecelakaan Ayahnya sudah William tutup, itu semua karena dia sudah menemui targetnya. Setelah ini, William tinggal melihat kehancuran mereka semua.
"Will?"
Lamunan William buyar, dia menatap wanita paruh baya di depannya. Wajah datar plus dingin William seketika luruh, senyum tipis dia berikan untuk mencairkan suasana mencekam.
"Bibi? Bibi Sarah di sini?"
Wanita paru baya yang dipanggil Sarah oleh William tersenyum. Entahlah, dia sendiri bingung mau mengeluarkan ekspresi apa. Awalnya Sarah tidak menyangka kalau pria dewasa yang sejak tadi berdiri adalah William. Karena terakhir Sarah bertemu William saat pria itu masih berumur belasan. Tapi lihatlah sekarang, dia sudah sangat dewasa dengan tubuh tegap dibalut jas abu-abu. Sekilas Sarah melihat sosok Wilson pada diri William.
"Bi? Bibi baik-baik saja? Apa saya seberubah itu?"
Sarah tertawa sambil menepuk pelan lengan William. "Sangat berubah, bahkan Bibi sampai tidak mengenali. Dulu kamu masih setinggi pinggang Bibi, Will."
Waktu panjang memang merubah segalanya.
Cuaca cukup panas, Sarah pun menarik tangan William untuk segera masuk ke dalam rumah. Awalnya William menolak, ternyata hati kecilnya masih tidak sanggup. Tetapi karena Sarah bilang sedang masak, dan masakan itu khusus, tentu William tidak enak menolak.
Hari ini William memang pergi sendiri, dia ingin menikmati harinya tanpa kawalan siapapun. Selain itu, suasana hatinya sedang meremang entah karena apa. Maka dari itu, William mengutus kedua asistennya tetap di kantor saja.
***
Cuaca awal sangat panas, tapi siapa sangka dua puluh menit kemudian berubah menjadi hujan deras? Semua masakan spesial sudah Sarah hidangkan, dia pun sudah menunggu kehadiran William selama lima menit. Sarah cemas, dia sangat takut anak majikannya itu kenapa-napa. Sarah memang sudah lama bekerja di sini, maka dari itu dia menganggap William sebagai putranya.
Sepuluh menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan William. Sarah beranjak dari kursi, kakinya dengan cepat menaiki tangga untuk melihat kondisi William di kamar. Sesampainya di kamar tujuan, Sarah sempat menyeritkan keningnya. Pintu kamar terbuka, apa iya William tidur tanpa menutup rapat pintu?
Berhubung rasa penasarannya sudah tinggi, Sarah memberanikan diri untuk mengintip dari celah-celah pintu. Tidak terlalu besar memang, tetapi cukup membuat Sarah bisa melihat kalau William tengah terduduk di tepi ranjang menghadap jendela. Seperti tidak terpengaruh hujan deras yang disertai gemuruh petir, tubuh tegap itu masih merunduk menatap satu objek yang berada di tangannya.
Sarah tahu, Sarah hapal. Benda itu adalah bingkai foto. Bingkai foto yang berisikan William bersama dengan kedua orang tuanya.
"Hidup itu terus berjalan maju, William. Tubuhmu di foto itu, lalu lihat tubuhmu saat ini. Semua berubah seiring berjalannya waktu. Marah dan sedih hal wajar, tapi kalau kamu terus berdiam diri di masa itu, hidup kamu tidak akan tenang." Tangan Sarah menyentuh pundak William, lalu turun mengusap punggung tegap yang sebetulnya sangat rapuh.
"Ayah dan juga Ibumu sudah bahagia, lagi-lagi kita kembali pada takdir. Will, takdir Tuhan itu tidak bisa diubah."
"Kematian Ayah dan Ibu bukan takdir Tuhan, Bibi, tapi atas dasar tangan biadab manusia serakah," sahut William dengan suara pelan namun tajam.
Suara gemuruh petir kembali terdengar saling sahut. Apa petir itu setuju dengan pernyataan William tadi? Sejenak William menatap ke arah jendela, ternyata cuaca di depan sana sangat gelap.
"Maksudmu bagaimana, Will? Manusia serakah?" Kening Sarah mengerut, dia sama sekali belum mengerti dengan perkataan William. Selagi munggu William buka suara, Sarah menarik kursi lalu duduk menghada William. "Ceritakan kepada Bibi kalau itu bisa membuat hatimu tenang," lanjutnya.
"Bagaimana bisa Bibi menyuruh saya buka suara, padahal Bibi sudah lebih tahu kenapa Ibu meninggal?" William mengangkat wajahnya menatap Sarah dengan sendu. "Begitupun kematian Ayah. Semua sudah tersetting rapih, dan yang pasti orang ini cukup bahaya. Ah, rasanya tidak cocok disebut manusia," sambung William sambil terkekeh.
Seketika fikiran Sarah malayang jauh. Kurang lebih sembilan belas tahun lalu, keadaan rumah ini sangat mencekam bagi Sarah. Dia memang bukan keluarga inti, tapi melihat seseorang merenggang nyawa di depan mata membuat Sarah sangat trauma. Malam itu, Wilson dan juga Eliza sedang makan malam yang super telat karena mereka sibuk bekerja. Canda tawa masih menghiasi meja makan, namun tidak berselang lama suara kepanikan Wilson menggema.
Sarah yang kebetulan ada di sana melihat sendiri kalau Eliza sudah jatuh ke lantai. Tubuhnya mengejang, bahkan mulutnya ke luar banyak busa. Sedang panik-paniknya, tidak lama ada suara tembakan dari arah luar. Semua semakin panik, tidak sadar Sarah melihat ke arah tangga. Di sana William tengah berdiri dengan wajah panik. Wilson langsung memerintahkan Sarah untuk mengamankan William.
Setelah kejadian itu, Wilson sempat mengutarakan semuanya pada sarah. Sore itu, lagi-lagi William ada, dan dia mendengar perihal Ibunya yang diracumi oleh seseorang.
Akan tetapi, Sarah tidak menyangka kalau William masih mengingat semua itu. Ternyata William yang saat itu masih berumur sembilan tahun, masih mengenang semuanya dengan baik.
"Lupakan, Bi, mari kita makan."
Lamunan Sarah buyar, dia menatap William yang sudah berdiri sambil tersenyum. Bibirnya memang tersenyum, wajah dan mata tidak bisa berbohong.
"Apa kamu tahu sesuatu soal kejadian Ibumu, Wil?"
***