"Selamat siang."
Seseorang yang tengah asik menatap ke arah belakang menoleh, memutar kursi kerjanya. Sesaat keduanya saling tatap dalam diam. Entah apa yang ada di dalam otak mereka, semua itu hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
"W-wil? William?"
"Long time no see, Paman Edward," sahut William. Wajahnya masih terlihat damai, terlihat bersahabat tanpa ada intimidasi sedikitpun. Lagipula, kenapa harus mengintimidasi Paman sendiri?
Pria yang dipanggil Edward masih terkaget-kaget dengan kadatangan William. Sungguh, sejak kemarin tak ada kabar mengatakan kalau pria di depannya akan kembali ke Indonesia. William yang sejak dahulu mempunyai sifat peka berusaha menelisik raut wajah Edward. Terlihat bingung, panik, dan ... takut. Sebetulnya, apa yang telah terjadi dengan Pamannya?
"Paman? Are you okay? Kenapa wajah Paman berubah pucat? Apa sekaget itu melihatku ada di sini?" William terkekeh sembari menjatuhkan tubuh tegapnya di atas sofa. "Aku baru beberapa hari sampai, bahkan perjalanan kali ini jauh dari kata planning. Semua berjalan mendadak, tapi ya sekarang sudah di sini," lanjutnya dengan santai.
Dehaman Edward semakin memancing rasa penasaran William. Apa Pamannya ada masalah? Atau dia hanya murni kaget? Tidak, tidak, sebisa mungkin William menepis fikiran negatifnya. Tapi ... ini semua aneh, bahkan sangat aneh dan memusingkan.
"Apa Paman sedang sibuk? Kalau memang iya, aku akan kembali ke kantor, pertemuan kita bisa diatur lain waktu." Walaupun sedikit kecewa, namum William berusaha memaklumi. Kedatangannya kali ini memang tanpa kabar setelah bertahun-tahun, wajar Pamannya sedikit kaget. Sebetulnya rada menggelikan juga, buat apa kaget?
Merasa tak ada jawaban, William bangkit dari duduknya. Daripada berdiam diri di sini layaknya orang bodoh, lebih baik dia kembali bekerja sembari menyusun apa langkah selanjutnya.
"William, tunggu! Kemari, maafkan kekagetan Paman tadi. Sungguh, aku tidak menyangka kau kembali ke sini tanpa adanya kabar. Bahkan Oma tidak mengatakan kalau cucu kesayangannya akan kembali. Apa kau menetap di sini? Atau ada urusan mendesak?" Edward bertanya dengan sesantai mungkin.
Ini yang William tunggu sejak tadi.
William kembali mendudukan dirinya di bangku tepat berhadapan dengan Edward. Selain ingin meninjau perusahaan Ayahnya, tentu William membutuhkan sumber informasi terakurat soal Prawira dari Pamannya. Bisa dikatakan, Wilson, Edward, dan Prawira adalah satu circel.
"Tentu. Aku ke sini mau memastikan kalau perusahaan Ayah tetap berjalan baik tanpa ada masalah. Setelah Andrew memberi data, semua aman terkendali, dan itu berkat bantuan Paman. Untuk hal itu aku ucapkan terima kasih," ujar William dengan tulus. Ketulusan dari kata-kata William sangat memporak-porandakan hati dan juga otak Edward. Otak yang bisanya sangat cerdas, kini seperti runtuh.
"Ah, itu bukan masalah besar, Will. Ayahmu adalah Adikku, dan kita bersaudara. Bukankah hal wajar jika saudara saling membantu?"
William mengangguk-anggukan kepalanya mendengar sahutan Edward. Sejak kecil William memang sangat kenal dengan Pamannya ini, karena setiap ada acara besar, atau ada masalah, nama Edward lah yang tercetus pertama kali.
"Paman, bisa Paman membantuku? Ah, selain masalah kantor, aku punya misi tersendiri kenapa bisa kembali ke Indonesia." Tidak ingin berbasa-basi, William langsung membahas hal inti kenapa dia ingin sekali menemui Edward. Sambil mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja, William terus menatap Edward.
"Bantu? Bantu apa? Apa perusahaanmu bermasalah lagi? Butuh aliran dana segar? Sebut saja, akan Paman bantu."
"Ceritakan kronologi kecelakaan Ayahku, dan ceritakan juga seberapa terlibatnya Prawira dalam kasus itu. Aku rasa Paman paham dan mengerti arah pembicaraanku." William tersenyum penuh arti ke arah Edward.
Selain kedatangan yang mendadak, kata demi kata yang William lontarkan sukses membuat Edward sesak napas. Dia memang paham apa yang William mau, tapi ada beberapa peristiwa yang tertutup rapih tanpa ada yang mengetahui. Kalau Edward menuruti kemauan William, semua akan berantakan.
"Paman tau? Tak akan aku bisa hidup damai sebelum semua ikut menderita."
***
Sudah memberi sambutan hangat kepada Sella, sudah mengutarakan bantuan kepada sang Paman, pagi ini William sangat full senyum. Kemarin menjadi hari menyenangkan walaupun sedikit menjengkelkan. Bagaimana tidak jengkel, ternyata William harus berhadapan dengan Sella yang mempunyai sifat keras pantang tunduk. Tapi tidak apa, semua akan bertahap.
"Selamat pagi, Tuan, apa kita berangkat sekarang? Mobil sudah siap, kita tinggal jalan."
Lamunan menyenangkan William sedikit terusik karena kedatangan Zaffan. William menatap pria di sampingnya yang sudah rapih. "Zaffan? Apa kemarin kau antar Sella sampai rumah?"
"Maaf, Tuan, tapi kemarin di jalan Sella meminta turun. Saya sudah paksa, namun dia kekeh bahkan mengancam akan berteriak."
"Sungguh?" William tertawa mendengar penuturan Zaffan. Karena kemarin teramat sibuk bertemu sang Paman, William sampai lupa untuk menanyakan perihal Sella. Sebetulnya William tidak kaget, bahkan biasa saja. Sejak awal bertemu Sella dia sudah bisa menilai kalau wanita itu tidak bisa direndahkan.
Berhubung sedang tidak mood membahas Sella, William memilih untuk bergegas ke kantor. Hari ini hari pertama Sella masuk kantor, William akan melihat apa gadis itu kembali terlambat atau tidak.
Berbeda dengan William, sedangkan Sella tengah ketar-ketir dengan hidupnya sendiri. Gertakan bernada ancaman kemarin masih terngiang di dalam otak, tapi pagi ini Sella akan melakukan kesalahan terulang. Iya, kembali telat. Bukan tanpa alasan Sella telat, karena sejak subuh dia sudah prepare, tapi tiba-tiba Ayahnya ngedrop, bahkan sesak napas. Sella yang di rumah sendirian tanpa sang Ibu tentu saja panik bukan main.
"Di mana Ayah kamu?"
Sella mengangkat wajahnya menatap Daniar. Entah dari mana Ibunya, yang pasti sejak semalam dia tidak pulang. Sella masih tidak bergeming menatap Daniar.
"Tuli sama bisu?"
"Ayah masih di dalam. Ibu kenapa sih? Aku udah kasih uang, kenapa Ayah mangkir cuci darah lagi? Aku cari uang buat Ayah cuci darah, bukan buat hura-hura Ibu." Lolos sudah kekesalan Sella. Selama ini banting tulang cari uang, dipaksa bekerja yang katanya buat rumah sakit, tapi ternyata hanya alibi.
Muak? Tentu Sella sangat muak.
"Hari ini aku harus kerja, hari pertama aku masuk. Tapi apa? Aku telat lagi, aku pasti kena masalah kayak kemarin, Bu."
"Kamu fikir Ibu perduli? Engga, Sella. Urusan Ibu bukan urusin Ayah kamu yang penyakitan aja. Silahkan pergi, cari uang yang banyak. Kamu yang bawa ke rumah sakit, dan kamu tau bayarannya tidak murah." Daniar mengibaskan tangannya tanda tidak perduli.
Sekilas Sella melirik jam di pergelangan tangannya. Jam delapan, benar-benar jam delapan. Sella meringis, pasti calon bosnya kembali marah-marah. Tidak ada waktu, rasanya Sella harus segera ke kantor. Toh Ayahnya sudah aman di rumah sakit.
Ting!
Satu pesan baru masuk, isinya membuat Sella mati langkah.
***