"Tubuhmu."
William maju satu langkah, mengikis jaraknya dengan Sella. "Kembalikan uang tidak mau, bekerja di sini banyak tingkah. Jadi ya sudah, tubuhmu jadi bayarannya."
Sella yang masih terkaget-kaget hanya bisa diam membisu. Apa dia bilang? Bayar pakai tubuh? Ini ide gila, ide di luar nalar yang pernah Sella dengar. Tatapan buas William pada tubuhnya membuat Sella mundur untuk menjauh. Mulut dan lidah Sella sangat keluh, bahkan untuk menyuruh William berhenti saja dia tidak mampu.
"Mau kita lakukan sekarang? Di sini? Atau perlu kita check in?" William menaikan sebelah alisnya. Raut panik dan juga ketakutan milik Sella sangat menyenangkan hati William, bahkan menjadi candu. Rasanya William tak sabar melihat raut kefrustasian Sella selanjutnya.
Sella semakin mundur, yang terus diikuti William yang maju. Sambil terus menatap Sella, William membuka jas hitam yang tersemat di tubuhnya lalu melempar asal ke sofa. Punggung Sella sudah menabrak dinding, membuat wanita itu meringis. Andai saja dia tahu ada dinding di belakangnya, mungkin Sella akan menghindar.
Tidak perduli wanita di depannya ketakutan, yang ada William mengunci tubuh mungil Sella. "Kenapa wajah kau panik? Masih mau bersikap polos di depan saya? Ayolah, jangan munafik jadi wanita. Kamu itu wanita malam, pasti saya bukan orang pertama. Sekali lagi saya tanya, mau melakukannya sekarang?"
"Jaga mulut anda! Anda sudah merendahkan saya, apa orang seperti anda cocok jadi bos? Bos arogan? Semaunya?" Disisa-sisa keberanian Sella mulai menanggapi perkataan William. Rasanya sudah cukup dirinya selalu dijelekkan sejak dari awal bertemu.
Sahutan Sella sukses membuat William tertawa. Tanpa berniat melepaskan Sella Willam memiringkan wajahnya. "Tapi sayangnya itu semua fakta. Saya petinggi di sini, dan ini perusahaan Ayah saya."
Wajah William yang semakin dekat, bahkan Sella bisa merasakan hembusan napasnya. Secepat kilat Sella membuang muka ke sisi sebelah kanan karena wajah William semakin mendekat. Bukan hanya itu, Sella mulai merasakan tangannya dicekal kuat.
Ketakutan Sella semakin memuncak, sebisa mungkin dia mendorong tubuh kekar William. "Menjauh dari saya, saya mohon. Saya tidak seperti yang anda katakan, saya di sana hanya kerja sebagai pelayan, bukan yang lain. Kalau anda butuh partner, saya bukan orang yang tepat."
"Kalau saya maunya kau? Sleep with me, jadi penghangat ranjang saya sebagai ganti hutang kemarin," bisik William tepat di telinga Sella.
"Oke, saya akan bayar! Saya akan kembalikan uang anda, saya bersedia bekerja di sini! Tolong menyingkir, saya akan bekerja di sini!" Kalah, kali ini Sella kalah. Tidak ada cara lain, dia memang harus bekerja di sini, menjadi sekretaris pribadi William. Sella tidak mau, hanya karena hutang dia harua kehilangan kesuciannya.
"Hutang plus bunga," ujar William dengan santai.
"Mana bisa begitu?!" Sella memekik tak terima dengan perkataan William. Bunga? Kenapa juga harus berbunga? Hutang realnya saja sudah berat, apa harus ditambah bunga?
"Pilihan ada di tangan kau, Sella. Kalau tidak sanggup, serahkan tubuhmu."
"Oke!"
Senyum puas terpancar di bibir William. Kemenangan-kemenangan kecil atas Sella sudah dia menangkan, itu artinya langkah William semakin mudah untuk hari selanjutnya. William menghempas tangan Sella, menjauh lalu memakai lagi jasnya. Tanpa memperdulikan Sella, William kembali duduk di bangku kebangsaannya.
Sella mundur, dia berusaha membuka pintu agar bisa ke luar. Namun sial, pintu terkunci! Terdengar kekehan dari arah depan, tentu Sella tahu kalau itu suara William.
"Zaffan, segera ke ruangan saya."
Masih dalam posisi berdiri didekat pintu Sella melirik William. Sungguh, pria di depan sana sangat mengerikan. Sella tidak tahu sebelumnya mimpi apa, tapi tiba-tiba bisa bertemu dengan manusia iblis. Andai bisa memutar waktu, rasanya Sella tidak mau kenal dan berurusan dengan pria itu.
"Kenapa menatap saya seperti itu? Kau ... beruah fikiran? Saya siap kapan saja, saya tau kau pun mau. Hanya saja munafiknya terlalu tinggi, kita lihat nanti siapa yang lebih liar." Kata-kata yang William lontarkan memang frontal, membuat mental Sella semakin jatuh.
Belum mulai bekerja, belum ada 24 jam, tetapi Sella sudah sangat diuji. Direndahkan layaknya wanita tidak beradab, ditekan tanpa henti. Kali ini hati Sella kembali bimbang, apa bisa dia bekerja dengan mulus di sini? Sella hanya takut akan ada hari apes yang tak terduga lalu merugikan dirinya sendiri.
Suara pintu yang terbuka membuat Sella terlonjak kaget. Dua langkah Sella bergeser memberi ruang pria yang baru saja datang untuk masuk. Kali ini pria berbeda, bukan pria yang mengantarnya masuk.
"Selamat pagi, Tuan, anda memanggil saya?"
"Antar Sella pulang sampai rumah. Seharusnya hari ini dia mulai bekerja, namun sudah terlambat. Kalau saya tetap saya terima, tidak enak sama karyawan lainnya. Say--"
"Saya bisa pulang sendiri, saya tidak butuh diantar," potong Sella dengan cepat, dia seperti tahu apa yang mau William katakan.
BRAK!
"Lancang sekali kau memotong pembicaraan saya! Saya paling benci sama orang seperti itu, memangnya kau siapa sampai berani melakukannya?" Suara gebrakan meja, disusul bentakan, seketika menggema di dalam ruangan. Tatapan sengit kembali William layangkan kepada Sella, pria itu benar-benar menganggap Sella sebagai musuh besar dalam hidupnya.
Zaffan yang sudah mengerti posisi hanya bisa menunduk. Kali ini dia benar-benar mengutuk sikap wanita di belakangnya. William kembali bangkit dari kursi kebangsaannya, dengan gagah dia mendekat ke arah Sella. Wanita di depannya sudah menunduk, apa dia sedang menyesal? Perlahan namun pasti, William meraih dagu Sella agar wanita itu menatapnya.
"Jangan pernah kurang ajar sama saya, Sella, karna pada akhirnya kau yang menyesal seumur hidup." Tatapan emosi William layangkan, dia sama sekali tidak perduli dengan air mata Sella. Itu adalah air mata munafik bagi William.
"Tuan, kendalikan emosi anda untuk saat ini," ujar Zaffan dengan berbisik. Mendapat pengingat dari Zaffan sontak saja membuat William memejamkan mata. Zaffan benar, dia harus bisa mengendalikan emosi.
William melepaskan tangannya dari wajah Sella, dia memberi kode kepada asistennya itu untuk segera membawa Sella pergi. Kalau terus-terusan William melihat Sella, rasanya dia tidak bisa mengontrol emosi.
"Mari ikut saya." Zaffan meraih pergelangan tangan Sella, mengajaknya untuk segera pergi. Sella yang berada diambang ketakutan hanya bisa manut.
Sesekali Sella menyeka air matanya yang terus menetes. Kali ini Sella sangat membutuhkan Kenzo--kekasihnya. Karena tidak ada lagi orang yang dia percaya, tidak ada lagi tempat pulang ternyaman selain kekasihnya itu.
"Silahkan masuk, saya akan antar sesuai perintah tuan William." Zaffan membukakan pintu penumpang untuk Sella, namun wanita itu masih diam tanpa bergeming.
Sesaat Sella seperti orang linglung. Maju tidak mau, mundur pun enggan.
"Nona, silahkan masuk. Pekerjaan saya banyak, urusan saya bukan hanya mengurus anda," tegur Zaffan.
"M-maaf, apa boleh saya pulang sendiri? Sungguh, saya bisa sendiri," pinta Sella sambil memberanikan diri menatap Zaffan.
"Maaf juga, Nona, saya masih mau bernafas. Silahkan masuk sebelum tuan Will melihat. Tolong jaga sikap anda di depan beliau, jangan semaunya. Anda tidak mengenal watak beliau, salah sedikit nyawa anda ada di bawah ancaman."
Ini bukan kali pertama Sella mendapat peringatan. Apa iya hidupnya akan semengerikan itu?
***