09. Jadi Juru Parkir

1976 Kata
Hampir setiap hari aku dan Lela harus mendengar cibiran enyak dan Leha. Enyak selalu membandingkan aku dan suami Leha di depan aku. Termasuk membandingkan Lela dan Leha dalam memilih pasangan hidup. Lela selalu disalahkan karena tak bisa memilih pasangan hidup seperti kakaknya, Leha. Tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Karena posisiku saat ini memang tidak mendukung. Jika aku membalas, dengan mudah mereka bisa mengusirku dari rumah ini. Mengingat aku masih butuh tempat tinggal, aku pun memilih diam. Aku juga masih sangat mencintai keluargaku. Aku tak mau, enyak dan mpok bisa saja memaksa Lela untuk meninggalkanku. “La, lo ngapain? Tolong bikin soto Betawi dong! Mpok pengin makan soto Betawi tapi buatan rumah. Mpok udah beli bahan-bahannya di kulkas. Lo tinggal masak aja!” Perintah mpok Leha pada Lela. “Iya Mpok, tapi Nori sama siapa? Mpok tolong jaga in Nori ya?” Lela menurut. Namun, Lela meminta Leha menjaga Nori. “Apa, lo minta tolong gua jaga in anak lo? Eh, memang itu anak, anak siapa? Makanya kalau belum punya duit jangan punya anak dulu! Sudah tahu miskin, pakai acara punya anak!” Jawab Leha menyakitkan. “Kan Mpok yang minta Lela bikin soto! Mpok sendiri tahu kalau Lela repot punya anak kecil. Kalau Mpok gak mau masak sendiri ya tolong jaga Nori!” Lela membalas ucapan Leha. “Oh, udah pinter jawab ya lo sekarang! Pasti laki lo yang ajarin!” Kedua mata Leha seakan mau keluar. “Gak ada yang ngajari gua Mpok! Tapi keadaan yang membuat Lela harus bisa berucap seperti ini! Lela juga punya hati Mpok. Selama ini Lela diam karena Lela masih merasa menumpang. Tapi Lela menumpang sama orang tua Lela juga, bukan di rumah Mpok! Tapi ucapan Mpok ini benar-benar keterlaluan. Lela gak rela, kalau Mpok bawa-bawa anak Lela! Anak itu anugerah, jadi gak ada istilah miskin tidak boleh punya anak! Oh, atau Mpok ini iri ya, karena Mpok yang nikah duluan belum punya anak juga! Makanya Mpok punya pikiran yang baik sama orang, biar Tuhan cepat memberi momongan pada Mpok!” Lela sudah tidak tahan dengan ucapan Leha. Untuk urusan dirinya dan suaminya, Lela masih bisa menahan. Tapi kalau sudah menyangkut soal anaknya yang dihina, Lela tidak rela. Lela akan terus membela meski dia harus melawan kakaknya sendiri. “Maksud lo apa La? Mpok gak pernah iri sama lo! Apa juga yang diiri dari lo? Harta gak punya, hidup numpang! Kalau Mpok mau, dengan mudah Mpok bisa angkat anak! Dengan uang Mpok bisa beli segalanya!” Leha tak terima. “Ya Mpok, memang hidup Lela numpang! Lela sama laki Lela juga miskin. Tapi kami punya anak dari darah daging kami sendiri, bukan dengan cara membeli!” Lela juga tak mau mengalah. “Lelaa!” Leha berteriak kencang. Suara keras Leha terdengar hingga ke kamar orang tua mereka yang sedang istirahat. “Ade ape sih kalian ribut-ribut?! Bikin berisik aje!” Enyak ke depan karena mendengar suara Leha yang kencang. “Ini Nyak, si Lela suruh bikin soto Betawi gak mau! Padahal bahan-bahan udah Leha beli! Dia tinggal masak gak perlu keluar duit, eh malah marah-marah” Leha mengadu pada enyak. “Rasain lo! Makanya jangan melawan mpok lo!” Ucap Leha dalam hati. “Lela, kenapa lo gak mau bikin soto Betawi buat mpok lo? Masih bersyukur ada yang belanjain kita! Lo pan tinggal masak, gampang!” Enyak tampak kesal. “Bukan Lela gak mau Nyak!” Aku berusaha membela. “Memang gak mau kok Nyak!” Leha menyerobot penjelasan Lela. “Terus, masalahnya apa La? Kalau lo mau masak, ya udeh sono lo masak! Tunggu ape lagi!” Enyak memintaku masak. “Tapi Nyak? Nori bagaimana? Dia lagi tidur takutnya jatuh atau gimana?” Lela mencemaskan Nori yang sekarang sudah banyak tingkahnya. “Ya Nori mpok lo yang jaga dong!” Enyak jelas. “Kok Leha Nyak? Kan anak Lela, masa Leha yang jaga?” Leha menekuk wajahnya tidak suka. “Ya iya! Pan lo yang minta dimasakin soto Betawi ame Lela, ya lo yang jaga anaknye! Gimane sih? Masa iya, Lela mesti masak sambil gendong bocah! Nanti kalau cucu enyak sampai kenape-nape gimana?” Enyak tak membela keduanya. “Yah Enyak! Ya udah gua jagain anak lo! Lo buruan masak!” Perintah Leha kesal. “Ih enyak ini bukannya bela gua, malah bela Lela! Ini semua gara-gara gua belum punya momongan. Jadi gua bisa dikalahkan oleh Lela. Coba gua udah punya momongan, si Lela mati kutu deh! Secara, dalam harta gua unggul, anak sama-sama ada. Nah ini, kapan gua punya anak?” Leha kesal sendiri. “Begitu aja kalian pada ribut! Pusing Nyak dengernya! Enyak mau ke kamar lagi! Kalian jangan sampai bikin ribut lagi! Atau kalian mau babe kalian marah-marah!” Ancam enyak pada Lela dan Leha. Lela dan Leha terdiam. Mereka tak ingin membuat enyak marah lagi. Apalagi kalau babe sampai marah. Bisa bahaya semua. Jika babe sudah marah, dia tak peduli sama siapa saja. Di depan banyak orang, babe bisa saja memarahi mereka. Dan pasti itu sangat memalukan jika sampai terjadi. *** Sejak jadi kuli panggul, aku mulai mengenal orang pasar. Tidak hanya pedagang, aku juga mengenal preman pasar juga pekerja pasar lainnya seperti tukang parkir. Kebetulan di salah satu pasar tempatku jadi kuli panggul, ada salah satu tukang parkir yang pindah. Aku ditawari jadi tukang parkir langsung. Ini kesempatan baik aku untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Kebetulan, jadwal pasarnya berbeda. Jadi, pagi aku bisa jadi kuli panggul dulu. Sementara siang, aku bisa jadi tukang parkir hingga sore hari. Mulai hari ini, aku diminta langsung menjaga parkiran pasar modern. Aku tak menolak. Karena ini rezeki dari Tuhan untukku juga keluargaku. Aku tak mau terus menumpang pada mertua. Apalagi kalau mendengar ucapan mpok Leha yang menyakitkan itu. Rasanya aku ingin segera pindah dari rumah mertua. “Mat, selamat datang! Selamat bergabung, semoga kita bisa bekerja sama!” Ucap salah satu juru parkir yang sudah dulu memegang parkiran di pasar. “Ya Bang, makasih! Nanti kalau aku masih keliru kamu tegur aja!” Aku merendah. “Tenang aja!” Jawab juru parkir lama sembari menepuk pelan pundakku. “Jadi, cara kerjanya gini! Gua sama lo, parkir tu kendaraan baik roda dua maupun roda empat yang datang ke pasar. Terus uang kita kumpulin jadi satu. Noh di kaleng itu! Saat pulang baru kita bagi!” Juru parkir lama yang nantinya akan menjadi partner menjelaskan. Jari telunjuknya menunjuk kaleng yang sudah disediakan untuk tempat uang hasil parkir. “Baik Bang! Aku paham!” Aku mengangguk. Aku pun mulai memarkir kendaraan sore itu yang lebih didominasi kendaraan roda dua. Satu per satu, kendaraan datang dan pergi. Kondisi pasar yang ramai, membuat pekerjaanku ramai juga. Tak terasa waktu sudah sore. Pasar juga mulai sepi. Aku dan rekan satu tim parkir mulai menghitung hasil parkir hari ini. Lalu membagi hasil berdua setelah dikurangi setoran untuk kebersihan pasar. “Mat, hari ini kita dapat dua ratus sepuluh ribu rupiah. Tiga puluh ribu buat pasar nanti kita setor langsung sama pengelola. Sisanya kita bagi dua. Lo sembilan puluh ribu, gua juga.” Temanku membagi hasil dari membagi parkir hari ini. “Alhamdulillah! Makasih ya Bang!” Aku mencium uang dari hasil jadi tukang parkir pertama kali. “Ya udah, ayuk kita setor dulu uang ini! Baru kita pulang!” Ajak teman parkirku sembari tersenyum melihat tingkahku tadi. Aku mengikuti arah jalan temanku. Karena aku masih baru, aku belum tahu di mana tempat kita menyetor uang hasil parkir. Di sebelah pasar ada bangunan kecil. Satu petugas berseragam ada di sana. Temanku memberikan uang setoran hasil parkir untuk kebersihan dan keperluan pasar. *** Aku sudah tiba di rumah kembali. Istriku cemas, karena tak biasanya aku pulang sore begini. Kebetulan ponsel aku baterainya lemah. Aku tak bisa mengabari istriku. Tiba di rumah, istriku memberondongku dengan sederet pertanyaan. Kecemasan tampak menyelimuti wajahnya. Aku merasa bersalah, karena sudah membuat istriku gelisah dan khawatir. “Abang ke mana aja sih, kok jam segini baru pulang? Mana gak kasih kabar sama Neng? Neng kan jadi khawatir. Abang gak apa-apa kan?” Sederet pertanyaan keluar dari mulut Lela. “Maafkan Abang Neng, Abang gak kabari Neng. Nanti Abang jelaskan! Sekarang Abang mau mandi dulu! Abang kangen sama Nori.” Aku bergegas ke kamar mandi. “Jadi kuli panggul apa ngelayap? Masa iya jadi kuli panggul di pasar, jam segini baru pulang?” Sindir Leha yang melihat aku masuk kamar mandi. “Sabar Mat, sabar! Lo hanya menumpang di sini! Gak usah dengarin apa kata mpok kamu! Anggap saja sebagai angin lalu. Sekarang yang penting kamu fokus pada pekerjaan kamu. Kumpulkan uang biar bisa cari kontrakan sendiri. Pokoknya kamu harus segera pindah dari rumah ini! Kamu gak mau kan melihat istri kamu terus dicibir. Bahkan istri kamu sudah seperti pembantu di rumah orang tuanya sendiri.” Aku menyemangati diri sendiri. Karena tak mendapat jawaban dariku ucapan mpok Leha pun berhenti. Aku bersyukur karena ucapannya yang pedas sudah tak terdengar lagi. Bagiku, diam adalah pilihanku terbaik saat ini. Aku sudah selesai membersihkan tubuhku dengan air. Waktunya untuk bertemu buah hatiku setelah seharian ini tak melihat senyumnya. Karena saat ini Nori sudah pintar tersenyum dan seolah bisa merespons ucapan kita. Itu yang selalu aku rindukan saat aku jauh dari buah hatiku. “Nori sayang, Papa sudah pulang!” Kedua tanganku langsung meraih Nori yang tergeletak di tempat tidur bersama Lela. Aku langsung mencium pipi serta puncak kepala gadis kecilku. Penyemangat hidupku saat ini selain istriku, Lela. “Oh ya Bang! Abang belum jawab pertanyaan Neng tadi, Abang ke mana aja kok sampai sore baru pulang?” Tanya Lela lagi karena belum mendapat jawaban dariku. “Iya Neng. Abang hari ini nyambi jadi tukang parkir Neng. Kebetulan tukang parkir lama pulang ke Jawa. Terus Abang ditawari. Alhamdulillah Neng, lumayan ada tambahan penghasilan.” Aku menjelaskan. “Ini Neng!” Aku memberikan hasil kerjaku hari ini pada Lela. “Alhamdulillah Bang! Penghasilan Abang hari ini lumayan. Mudah-mudahan kita bisa segera mengontrak rumah ya Bang!” Lela bersyukur. “Aamiin! Iya Neng, doa in Abang terus ya Neng! Abang gak tega lihat Neng susah begini.” Aku mengaminkan doa istriku. “Pasti Bang!” Lela tersenyum. “Lela!” Teriak Leha cukup kencang. “Nitip Nori sebentar ya Bang? Neng ke belakang!” Lela bergegas menghampiri kakaknya. “Iya Mpok ada apa?” Lela pelan. “Tolong lo hangati soto hari ini ya! Mpok gak biasa makan makanan dingin. Mpok gak biasa di dapur juga, jadi lo ya yang panaskan! Nanti kalau tangan Mpok kasar, kaki Mpok marah. Makasih ya La?” Perintah Leha dengan begitu santainya seolah Lela ini pembantunya. “Iya Mpok!” Lela menurut. Sejak Leha berada di rumah ini, semua kebutuhan Leha yang penuhi. Lela pun hanya menurut demi ketenangan di rumah ini. Lela tak ingin terjadi keributan seperti tadi siang. Baru menyalakan kompor, aku sudah memanggil Lela. Karena Nori tiba-tiba menangis. Aku bingung karena tak biasa mengurus bayi. Aku pun memanggil Lela. “Neng, Nori menangis!” Ucapku sembari menggendong Nori ke dapur. “Ya Bang!” Lela mematikan kompor kembali lalu meminta Nori dari gendonganku. Ternyata Nori haus. Begitu diberi ASI, Nori langsung tenang dalam dekapan Lela. “Lelaa!” Teriak Leha lagi. “Ya ampun Bang, tadi Lela disuruh panasi Soto! Neng lupa, Mpok teriak-teriak itu!” Lela terlonjak. “Ya sudah biar Abang aja yang panaskan!” Aku langsung bergegas ke dapur menggantikan pekerjaan Lela. Aku menyalakan kompor lagi. Memanasi panci berisi Soto yang sudah berada di atas tunggu kompor. “Kok jadi lo yang panasi? Memangnya Lela ke mana? Tapi pantas juga sih lo Mat!” Ucap mpok Leha ketus. “Lela lagi urus Nori, tadi tiba-tiba nangis karena haus.” Aku menjawab pelan karena tak ingin mpok Leha melanjutkan ucapannya yang pedas. Leha berjalan meninggalkan dapur. Aku bersyukur karena Leha tak lagi melanjutkan ucapannya sesuai harapanku tadi. Menghadapi sikap enyak saja terkadang aku sakit hati. Dan kini ditambah sikap mpok Leha yang lebih menyakitkan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN