Lela akhirnya melahirkan anak pertamanya. Melalui proses normal, bayi perempuan cantik yang menyerupai ibunya itu diberi nama Nori. Kelahiran Nori sedikit mengubah pandangan Royani padaku. Karena aku dan Lela yang pertama kali memberi cuci pada mertuaku.
Sudah lama mertuaku menunggu kehadiran seorang cucu. Pernikahan kakak istriku yang lebih dulu, sampai saat ini belum juga diberi momongan. Aku dan istriku yang menikah satu tahun lalu justru sudah dipercaya memiliki momongan lebih dulu.
Meski dari segi keuangan aku dan Lela kekurangan. Namun Tuhan memberi anugerah lebih pada pernikahan kami. Bayi cantik yang lucu dan menggemaskan. Enyak Royani tak henti memuji gadis kecil kami. Enyak sangat bahagia hingga dia lupa dengan aku dan Lela yang menumpang di rumahnya.
Aku dan Lela memang tak bisa menyisihkan rezeki untuk mertua. Namun, kami mampu memberi enyak dan babe cucu. Satu harta yang tak ternilai harganya. Harta yang selama ini enyak dan babe tunggu. Akhirnya aku dan Lela bisa mengabulkannya.
Enyak juga sudah jarang mencibirku lagi. Sepertinya bayi cantik kami dikirim Tuhan untuk menolong kami. Enyak juga tak pernah membahas lagi pekerjaanku yang hanya seorang kuli panggul di pasar.
“Nori sayang, cepet gede ya nanti Nenek ajak jalan-jalan!” Enyak Royani mengajak bicara bayi Nori.
“Iya Nek! Nenek mau ajak jalan-jalan Nori ke mana?” Lela mewakili menjawab.
“Ke mana aja Nori mau.” Enyak membalas.
“Enyak ini, Nori kan masih bayi, udah mau diajak jalan-jalan aja! Sabar Nyak! Tunggu Nori bisa jalan dulu.” Lela berucap pada enyak.
“Ya gak ape-ape La! Kita harus sering mengajak bicara Nori! Sebagai rangsangan otaknya. Biar dia belajar dari bayi menanggapi orang yang bicara sama dia!” Enyak sedikit mengajarkan.
“Oh gitu Nyak. Jadi, meski masih bayi kita harus sering mengajaknya bicara. Terus selain sering mengajak bicara apa lagi Nyak? Enyak kan sudah pengalaman, Lela diajari cara merawat bayi yang bener ya Nyak!” Lela banyak belajar dari enyak.
“Lo harus bisa memijat bayi, tapi pelan-pelan juga! Nanti Nyak ajari! Terus pegang bayi juga harus hati-hati, terutama untuk bagian leher dan kepala yang belum kuat.” Enyak menjelaskan sebagian.
“Iya Nyak! Untung ada Nyak jadi Lela bisa banyak belajar. Kalau Lela tinggal sendiri cuma bingung.” Lela beruntung tinggal bareng enyak.
“Enyak juga senang lo tinggal di mari! Sekarang Nyak ada temannya. Gak sendiri lagi ya cantik!” Enyak sembari menggendong Nori.
Sejak kelahiran Nori, enyak Royani memang terlihat sibuk dengan bayi Nori. Tiap hari, enyak justru yang lebih sering merawat Nori ketimbang Lela sendiri. Enyak sendiri yang meminta merawat Nori, cucu pertamanya.
Lela merasa bersyukur. Karena kehadiran buah hatinya telah mengubah sikap orang tuanya pada suaminya. Suaminya sudah jarang disinggung lagi soal pekerjaannya.
***
Siang itu, enyak Royani dan babe Abdul kedatangan tamu. Mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan rumah orang tua Lela. Enyak dan babe sendiri penasaran dengan tamu yang datang. Karena sebelumnya mobil mewah hitam itu tak pernah tampak di rumah Royani dan Abdul.
“Eh, lo Leha! Ya ampun kira siape? Ini mobil elo!” Enyak terlonjak saat pemilik mobil mewah itu keluar yang ternyata adalah anak sulungnya sendiri.
“Iya Nyak! Nyak apa kabar sama babe?” Leha mencium punggung tangan kanan enyak nya.
“Baik Leha! Lo tambah sukses aja sekarang. Enyak bangga sama lo. Ayuk masuk-masuk! Mana laki lo? Kok lo sendirian?” Enyak tampak senang dengan kedatangan Leha, kakak Lela.
“Alhamdulillah Nyak! Suami Leha kerja dong Nyak.” Enyak dan Leha masuk ke dalam rumah.
“Mana si Lela Nyak? Leha mau lihat anaknya!” Tanya Leha lagi.
“Ada di kamar. Lela... La... ini ada mpok lo! Buruan lo ke luar sama anak lo!” Panggil Nyak pada Lela.
“Iya Nyak!” Jawab Lela dari dalam kamar.
Lela menggendong Nori. Lalu mengajaknya ke luar menemui kakaknya yang baru saja datang
“Mpok, sehat?” Lela meraih tangan kanan mpok Leha lalu menciumnya.
“Sehat. Lo gimana, sehat pan?” Leha balik bertanya.
“Eh, lucu banget si anak lo! Sini aye gendong!” Leha meminta menggendong Nori.
“Laki lo mana?” Tanya Leha lagi pada Lela.
“Bang Rahmat kerja Pok.” Jawabku singkat.
“Kerja di mana? Laki lo tu suruh kerja yang bener! Masa iya lo udah berumah tangga masih merepotkan enyak sama babe juga! Tanggung jawab laki lo gimana?” Leha ketus.
“Jadi kuli panggul di pasar Pok.” Leka jujur.
“Apa? Jadi laki lo sampai sekarang masih jadi kuli panggul? Ya ampun La, gimana masa depan rumah tangga lo nanti? Kalau laki lo cuma kuli panggul? Buat makan aja kurang. Gimana lo bisa punya rumah sendiri kaya gua? Makanya kalau cari laki yang bener! Kaya Mpok no, laki Mpok dah bisa beli rumah, mobil, terus hidupnya kecukupan. Nah lo, hidup masih numpang sama orang tua.” Leha mencibir Lela dan suaminya.
“Iya Mpok!” Lela tertunduk.
“Eh lo mau minum ape Leha? Biar Lela buatkan! La tolong buatkan minum buat mpok lo!” Enyak berucap pada Leha dan Lela.
“Iya Nyak!” Leha berjalan ke dapur.
Lela masih memikirkan ucapan kakaknya tadi. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan kakaknya yang menyinggung dirinya juga suaminya. Lela juga tak mau hidup menumpang seperti ini. Tapi mau gimana, nasib yang menentukan Lela harus hidup seperti ini.
“La buruan! Lama amat sih lo bikin minum!” Teriak enyak dari luar.
“Iya Enyak.” Lela mempercepat pekerjaannya.
Dari tadi Lela memang hanya melamun. Memikirkan ucapan kakaknya yang membuat otak dan telinganya panas. Di saat orang tuanya mulai berhenti menyinggung dirinya dan suami. Kini, Leha kakak Lela muncul dengan ucapannya yang pedas.
“Ini Mpok!” Lela meletakkan segelas teh hangat di atas meja.
“Sini Pok, biar Nori sama Lela! Mpok minum dulu aja!” Lela meminta Nori dari Leha.
Nori sudah dalam gendongan Lela lagi. Lela tidak tahan kalau tetap di sini bersama kakaknya. Kakaknya pasti akan terus menyinggungnya.
“Mpok, Lela ke kamar dulu! Mau menidurkan Nori, biasanya jam segini dia tidur.” Lela berusaha menghindari Leha.
“Gimana si La? Mpok lo kan baru datang, udah lo tinggal aja! Nori juga gak biasa tidur panas-panas begini!” Enyak dengan nada meninggi.
“Tapi Nyak? Nori memang sudah mengantuk.” Lela masih beralasan.
“Paling itu cuma alasan lo aja! Lo malu kan sama mpok lo, karena sekarang sudah sukses? Gak kayak lo yang hidupnya masih susah aja!” Enyak ketus.
“Gak Nyak!” Lela berusaha membela.
“Udah biar aja Nyak! Leha juga gak papa kok, kan ada Enyak di sini temani Leha.” Leha tak mau menahan Lela.
“Ya udah lah, sono lo masuk kamar!” Enyak dengan nada terdengar kesal.
“Ya begitu kalau istri terlalu nurut sama suami! Udah tahu suaminya miskin masih saja dibela!” Enyak kembali berucap tidak mengenakan.
“Kok bisa si Lela begitu Nyak? Padahal dulu, cowok-cowok Lela tajir-tajir. Belum yang dulu dikenalin sama laki Leha. Eh malah milih cowok yang pas-pasan. Ya gini akhirnya hidupnya susah terus. Nyak tahu gak, teman laki Leha yang dulu dijodohkan sama Lela, sekarang udah sukses Rumahnya gede banget. Coba Lela dulu nurut, hidupnya pasti udah enak sekarang!” Leha terus memanasi pikiran enyak.
“Masa sih, cowok yang lo kenalin dulu ke Lela sekarang sudah sukses? Memang si Lela itu, gak tahu apa yang dicari dari Rahmat itu! Udah kerjanya hanya kuli panggul dengan penghasilan tidak seberapa masih dibela juga! Heran Enyak sama pemikiran adik lo itu!” Enyak terpancing dengan ucapan Leha.
Kamar Lela yang berada di depan bisa mendengar jelas obrolan enyak dan kakaknya. Hati Lela semakin sakit. Air mata pun membasahi kedua pipinya. Andai waktu bisa diputar, Lela ingin kembali bekerja. Dan tidak memutuskan untuk mengundurkan diri. Mungkin dengan begitu hidup Lela tidak akan sesusah ini. Lela tidak perlu menumpang di tempat orang tuanya. Lela juga tak harus mendengar cibiran enyak dan mpok nya yang menyakitkan ini.
***
Sudah saatnya aku pulang. Setelah pindah beberapa kali dari satu pasar ke pasar lainnya, penghasilanku hari ini lumayan dari biasanya. Aku bisa mengantongi uang seratus dua puluh ribu rupiah. Untuk sarapan pagi, makan, siang, serta bensin aku ambil tiga puluh ribu. Sisanya bisa aku berikan pada istriku.
Aku sudah tiba di halaman rumah mertua. Tampak ada mobil mewah berwarna hitam di sana. Seperti ada tamu yang datang di rumah mertua.
Usai memarkirkan sepeda motorku. Aku langsung menuju ke kamar mandi. Sejak ada Nori, aku membiasakan diri untuk membersihkan badan dulu sebelum masuk kamar. Aku tidak mau membawa penyakit untuk anakku sendiri.
“Neng, di depan ada mobil, mobil siapa?” Tanyaku pelan.
“Mobil mpok Leha Bang. Kenapa Bang?” Tanya Lela balik.
“Gak, tadi pas Abang pulang lihat ada mobil di depan. Sampai dalam sepi, makanya Abang penasaran.” Aku sedikit menjelaskan.
“Mungkin mpok sama enyak pada tidur Bang, makanya sepi. Abang udah makan? Makan gih, mumpung sepi!” Lela memintaku untuk makan.
“Nanti aja Neng, tadi Abang udah makan di pasar. Oh ya Neng, ini penghasilan Abang hari ini. Alhamdulillah Neng hari ini Abang lumayan dapat pelanggann.” Aku memberikan hasil lelahku hari ini pada Lela.
“Alhamdulillah Bang. Neng simpan ya Bang! Makasih untuk lelah dan keringat Abang hari ini. Demi Neng dan Nori Abang rela panas-panasan serta menahan beban berat mengangkut barang dagangan orang.” Lela bersyukur atas rezeki yang sudah aku raih hari ini.
Sepuluh menit, aku bercengkerama dengan Lela, terdengar suara enyak memanggil Lela.
“La, lo ngapain di kamar? Laki lo udah pulang pan, tolong cucian piring numpuk di dapur!” Teriak enyak pada Lela.
“Iya Nyak!” Balas Lela cepat.
“Neng, kok tumben enyak gitu?” Aku heran dengan sikap enyak. Sejak ada Nori, enyak sudah jarang marah-marah. Untuk pekerjaan rumah, enyak juga selalu diam. Karena enyak tahu, jika Nori tertidur atau aku sudah pulang, pekerjaan rumah langsung dikerjakan Lela tanpa menunggu perintah.
“Gak papa Bang. Neng ke dapur dulu Bang! Nitip Nori Bang!” Lela bergegas ke dapur.
“Lo itu numpang La, jadi harus tahu diri! Udah tahu piring kotor numpuk, lo diam santai-santai di kamar.” Enyak ketus.
“Iya Enyak!” Lela sadar kalau Lela hanya menumpang.
“Makanya kalau cari suami yang bener! Suami miskin lo pertahanin juga! Hidup lo bakalan susah terus La!” Leha menaikkan intonasinya agar aku bisa mendengar cibiran nya.
Lela memilih diam. Dia mempercepat pekerjaannya. Dari mencuci piring, menyapu sudah Lela kerjakan. Lela ingin segera ke kamar dan menjauhi ucapan kakaknya yang terus menyinggung aku.
“Kalau udah selesai di kulkas Mpok tadi beli daging sapi, tolong lo semur gih! Masa iya, kalian makan tahu, tempe terus. Di mana gizinya? Laki lo gak bisa beli in daging pan? Ya udah, karena laki Mpok yang beli, lo yang masak!” Leha terus mencibir aku.
“Baik Mpok!” Lela hanya bisa menurut.
Aku yang mendengar saja sudah tidak tahan. Bagaimana istriku yang merasakan sendiri. Dia sudah seperti pembantu di rumah orang tua sendiri. Hanya karena aku tidak mampu memberi rezeki lebih pada Lela. Aku sadar aku dan istriku menumpang. Tapi tidak pantas, enyak dan mpok melakukan seperti ini pada Lela.
“Maafkan Abang Neng? Gara-gara Abang, Neng harus menanggung semua ini.” Aku tertunduk. Rasa bersalah terus muncul dalam benakku. Kenapa Tuhan terus mencoba aku dan istriku? Apa salahku?” Aku berucap sendiri.
Suara tangis Nori mengagetkanku. Aku cepat-cepat menggendongnya agar tangisnya tak menjadi.
“Cup... cup... sayang.” Aku coba menenangkan Nori.
Aku yang baru pulang mencari nafkah tak dihargai sama sekali oleh enyak dan mpok. Padahal badan ini rasanya lelah, tulang-tulang terasa mau patah. Sampai di rumah, aku harus menjaga Nori. Karena Lela harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Enyak dan mpok hanya duduk santai sembari membahas kekayaan mpok dan suaminya. Membanggakan apa yang dia miliki dengan suaminya.