Bab 4 - Sebuah Keputusan

1520 Kata
Bab 4- Sebuah Keputusan “Saya sudah memutuskan untuk menerima tawaran anda.” Pak Darma mengesah kasar. Tak percaya dengan keputusan yang di ambilnya sendiri. “Saya rasa ini adalah keputusan terbaik, tuan. Terimakasih atas kerjasamanya.” Jo mengulurkan tangannya, dengan senyuman yang tipis. Tapi, Pak Darma sama sekali enggan menyambutnya. Jo akhirnya pulang, misi sudah berhasil. “Huuh. Semoga Tuan tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya,” gumam Jo, setelah dia duduk di belakang kemudi. Setelah pertemuan itu, Pak Darma kembali ke rumah sakit. Adnan tampak sedang duduk di ruang tunggu. Sementara ibunya menemani Kiara di dalam. “Ayah, bagaimana dengan hasil pertemuan dengan asisten orang b***t itu?” Adnan, sangat membenci Gio. Dia sudah menghancurkan hidup adiknya. “Maafkan ayah, tapi ini semua demi kebaikan Kiara. “ Pak Darma mengesah pelan. “Maksud ayah? Jangan katakan ayah menerima kompensasi berupa uang dari mereka!” Adnan menebak hasilnya. “Tapi itu kenyataannya, Nan,” menatap Adnan penuh sesal. “Kenapa ayah melakukan itu! Bukankah kita harus menjerat pria itu agar di hukum!” suara Adnan meninggi, dia sangat marah. “Dengarkan ayah, Nan. Adikmu butuh biaya besar, selain biaya selama koma, setelah sadar nanti dia harus terus melakukan psikoterapi untuk memulihkan traumanya.” Ayah menghela napas sejenak. “Kita tidak punya cukup uang untuk biayanya. Misalkan pria itu di hukum, apakah kita bisa mengobati adikmu? Tidak, kita tidak mampu Nan, “ mata Pak Darma mulai berembun. “Apakah kita akan membiarkan adikmu tidak ditangani? Tidak Nan, tidak. Ayah lebih baik merendahkan diri demi kebaikan Kiara,” suara Ayah memelan. “Biarlah Tuhan yang membalas. Untuk saat ini, kita harus fokus pada kesadaran dan kesembuhan adikmu!” embun di matanya sudah menghilang, yang ada kini buliran kristal bening yang berjatuhan membasahi wajah tuanya. Adnan menggusar wajahnya kasar. Dia tampak berpikir sejenak. Lalu, mengangkat kembali wajahnya. Menatap wajah sang ayah yang terlihat sedikit pucat dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Pipinya terlihat basah. Selama beberapa hari ini, Pak Darma kurang tidur. Dia terus menjaga Kiara putrinya. “Maafkan Adnan, yah. Perkataan Adnan pasti sudah menyakiti hati ayah.” Adnan berkata dengan lembut. Memeluk ayahnya penuh sesal. Ayahnya balas memeluknya, dia paham apa yang di rasakan Adnan. Dia sangat menyayangi Kiara, adiknya. “Yah pulanglah, biar hari ini Adnan yang menjaga Kiara.” Adnan sangat merasa bersalah. Karena, sudah marah-marah barusan. Dia berpikir, jika saja dia yang berada di posisi ayah, dia pasti akan melakukan hal yang sama. Dia merasakan kecemasan dari sang ayah, yang tak terucap. Merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Keputusan ini di ambil ayahnya, semua demi kebaikan Kiara. “Tidak, Nan. Kamu saja yang pulang. Kamu masih harus kuliah dengan benar, bukankah sebentar lagi kamu harus menyelesaikan skripsi,” jawab ayah. “Adnan masih bisa menyelesaikan tugas di sini sambil menjaga Kia, ayah pulanglah ajak ibu. Kalian harus istirahat.” Adnan menatap mata sang ayah yang memerah. Ayah mengangguk pelan. Dia sadar. Dia dan Maya, istrinya butuh istirahat yang cukup. Jika seperti ini terus, bisa-bisa semua ikut sakit. Jika sakit, siapa yang akan mengurus Kiara. Pikir Pak Darma. Ruangan Kiara Kiara tampak terbaring lemah tak berdaya, dengan beberapa alat penopang kehidupannya. Selang oksigen dan cairan infus yang menempel di tubuhnya. Dahinya tampak berkerut, seolah sedang memikirkan sesuatu. Ibu duduk di sebuah kursi di samping Kiara. Tangan ibu membelai lembut kepala putrinya itu. Pipinya selalu basah, dengan buliran kristal bening yang berjatuhan dari pelupuk matanya setiap hari. “Kia, Kia. Bangunlah sayang, kamu sudah tidur terlalu lama. Mama sangat merindukanmu, ayahmu juga sangat ingin mendengar kamu yang cerewet.” Ibu menyeka pipinya sekilas menggunakan punggung tangannya. “Dan kakakmu, dia jadi gak ada teman untuk bertengkar. “ Lanjut Ibu, berbisik di telinga Kiara. Sudah lebih dari seminggu kondisi Kiara tetap saja sama. “Ceklek” suara pintu terbuka. Ibu menoleh, ayah terlihat masuk dan menghampirinya. “Mah, ayo kita pulang. Biar Adnan yang menggantikan dulu.” Pak Darma membelai kepala istrinya lembut. “Yah. Mama mau menemani Kiara saja. Ayah saja yang pulang, biar mama di sini.” Air mata tampak belum kering di pipi istrinya. Dengan sayang, Pak Darma menyeka pipi istrinya itu. “Mama harus istirahat, supaya tetap sehat. Jika kita semua sakit, siapa yang akan menjaga Kiara nanti?” Pak Darma menatap lembut wajah istrinya. Bu Maya tampak termenung. Lalu berdiri menggandeng lengan suaminya. Ya, dia harus tetap sehat untuk bisa terus menjaga putri kesayangannya itu. Pak Darma memang memanggil istrinya dengan sebutan mama, kebiasaan menyebut saat di depan anak-anak sewaktu mereka masih kecil. Begitu pula Bu Maya yang memanggil suaminya dengan ayah. Adnan masuk ke dalam ruangan Kiara di rawat, setelah kedua orang tuanya keluar. Duduk di kursi, di samping Kiara. Adnan menatap lekat -lekat wajah adiknya yang terlihat sedikit pucat dan lemah. Alat penopang kehidupan menempel di tubuh adiknya. Adnan berkata sambil tersenyum getir. “Kia, kia. Bangun adik kakak yang cerewet.” “Kalau kamu terus tidur, kakak bisa-bisa jadi jomblo terus. Karena, harus nungguin kamu sampai bangun. Mana ada waktu untuk kakak mengejar gebetan kakak di kampus. Hehehe.” Dia tertawa. Tapi, tawanya terdengar menyakitkan. Tawa penuh kesedihan dengan air mata yang mengalir. Adnan tidak peduli, kalau dirinya seorang laki-laki. Toh, laki-laki juga sama. Punya perasaan dan hati, dan bisa menangis juga. Dahi Kiara yang tampak berkerut memudar mendengar perkataan kakaknya. Tercetak segaris lengkungan di bibirnya meski sangat tipis. Jemari tangannya sedikit bergetar, hingga tak di sadari oleh Adnan. Ya, mungkin Kiara sedang bermimpi dalam tidur panjangnya. Memimpikan apa yang di katakan oleh kakaknya barusan. Meski tak bisa bergerak, tapi telinganya bisa mendengar dan hatinya masih bisa merasakan. Hanya saja tubuhnya terlalu lemah untuk bangun. Jangankan bangun, untuk sekedar membuka kelopak matanya saja sangat sulit. Apalagi, tak ada motivasi dari dalam dirinya untuk bertahan hidup. Kiara merasa dirinya sudah kotor dan tak berguna. Lebih baik dia tidur saja untuk selamanya agar tidak perlu melihat pahitnya dunia ini. Ingin rasanya Kiara pulang saja ke tempat yang lain, ke pangkuan Ilahi. Negara X Apartemen X, lantai 30 Jo duduk di sebuah sofa yang tebal, lembut dan mewah, berhadapan dengan seorang pria tampan berwajah tegas dan dingin, Gio atasan dan juga sahabatnya. “Bagaimana dengan gadis itu apa semuanya sudah beres?” Gio bertanya dengan nada suara yang datar, tatapan matanya menatap tajam ke arah Jo. “Beres tuan. Keluarga nona Kia...” “Cukup! Aku tidak mau mendengar nama gadis itu! Tidak penting!” bahkan Gio tidak tau dan tidak mau tau, nama wanita yang sudah ia rudapaksa. Hatinya sedang kacau saat ini, dalam otaknya hanya dipenuhi sang calon istri yang kabur entah kemana dan apa alasannya. “Maksud saya, keluarga gadis itu sudah mau berdamai. Mereka menerima kompensasi sesuai yang kita janjikan. Dan untuk media masa, mereka semua sudah membersihkan nama anda,” jawab Jo. “Lalu!” Gio menyeringai. Seperti tau yang dimau tuannya, Jo melanjutkan perkataannya. “Keluarga gadis itu berjanji tidak akan mengungkit masalah ini lagi, dan mereka akan menutup mulut mereka rapat-rapat. Seolah kejadian ini tidak pernah terjadi,” jelas Jo kembali. “Memang seperti itu seharusnya!” Gio tersenyum kecut. Tapi sudut hati terdalamnya merasa bersalah dan tak nyaman. “Keluargaku?” Gio berkata dengan nada datar. “Tak ada yang berani mengungkit hal ini, mereka berpikiran gadis itu yang menggoda Anda.” Jo mengesah, sebenarnya dia tidak tega dengan tuduhan yang diberikan kepada Kiara oleh keluarga Gio sebenarnya. “Bagus! Hahaha,” tertawa dengan lebar, lalu dalam sekejap tawa Gio menghilang. Gio berdiri melangkahkan kakinya yang panjang, menuju ke balkon apartemennya. Menatap dengan tatapan tajam ke arah bawah, tampak jalanan kota yang lengang di sore ini. Jo mengikutinya, dan berdiri di belakangnya. “Bagaimana dengan Selena?” suaranya melembut menyebut nama Selena, calon istrinya yang kabur. Calon istri yang meninggalkannya, tanpa alasan! Jo terdiam, rasanya berat menyampaikan berita ini kepada tuannya. “Jo!” suara Gio mulai terdengar kesal. “Glek...” Jo menelan Salivanya kuat, dan menghela napasnya dalam-dalam. “Katakan!” suara Gio semakin terdengar kesal, dengan tatapan tajam menunjukkan kemarahan. “Maaf, karena terlambat memberikan informasi. Saya terlalu sibuk mengurusi masalah anda yang lainnya,” ucap Jo penuh sesal. “Jangan bertele-tele, katakan saja! Kamu jangan menyembunyikan sesuatu dariku!” berbalik ke arah Jo, dengan tatapan elang dari manik mata hitam pekatnya. “Nona Selena berada di negara...” Jo dengan mengesah, kesal juga pada wanita itu. “Dimana?” Gio semakin menajamkan tatapan matanya. Tak sabar ingin tau dimana keberadaan wanita itu. Wanita yang sudah meninggalkannya di hari pernikahan, wanita yang sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping. “Nona Selena berada di negara ini juga, dia saat ini berada di kota A, sedang menikmati liburannya.” Jo memalingkan wajahnya dari Gio. “Liburan, hah! Hebat sekali dia, aku di sini menderita dan dia seenaknya menikmati liburan!” Gio mengeram kesal, telapak tangannya mengepal kuat. “Dengan siapa dia liburan? Apa alasannya meninggalkanku?” Membalikkan kembali badannya, menatap lurus ke depan. Jo tidak tau seperti apa sekarang raut wajah tuannya. “Jonatan!” Jika Gio sudah memanggil nama panjangnya, artinya dia benar-benar sangat kesal. “Bersama...” jawab Jo, dengan sedikit pelan. Dia takut semakin melukai perasaan tuannya, kalau dia tau alasan kepergian Selena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN