Bab 6 - Tak Semudah itu

1514 Kata
Bab 6- Tak semudah itu Jo menatap Gio dan w***********g itu dengan kesal. Tidak lama kemudian Gio berdiri, dan wanita itu menempel di tubuh Gio. Jo mengesah kesal. Sementara Gio nya sendiri santai aja. Gio berjalan tegak dengan raut wajah yang dingin dan suram. Bayangan pengkhianatan Selena begitu membekas di hatinya. Sementara, dirinya sama sekali melupakan seorang gadis belia yang sudah dia renggut kehormatannya. Masuk ke sebuah kamar yang ada di klub ini. Bersama wanita itu yang terus mengikutinya, sudah tentu. Jo menggusar wajahnya dengan kasar. Memperhatikan setiap gerak-gerik mereka berdua dari jarak tidak terlalu jauh. “Kamu mau kemana?” Gio menoleh ke arah wanita yang dari tadi terus menempel seperti lem. “Tentu saja mengikutimu, bukankah kita akan bersenang-senang?” tersenyum dengan seksinya. “Bersenang-senang?” Gio mengerutkan dahinya. “Iya bersenang-senang.” Wanita itu mengaitkan kedua jari telunjuknya. “Pergi!” suara Gio begitu mengintimidasi dengan tatapan mata yang tajam. Dia sangat benci jika ada wanita yang mengajaknya tidur bersama. Murahan! Wanita itu terkejut. “ Bukankah tadi kamu sudah setuju?” kesal memenuhi hatinya. “Kapan?” nada suaranya semakin mengintimidasi, apalagi sorot mata yang bagaikan elang. Membuat ciut siapa pun yang melihatnya. Wanita itu merasa terpojok, Gio memang belum mengatakan apa pun. Dia hanya diam, tapi bukankah diam artinya setuju. Pikirnya. Akhirnya, wanita itu hanya diam mematung tak berkata-kata. Melihat wajah dingin itu yang begitu menyeramkan. “Ceklek” Gio membuka pintu kamar, dan menutupnya rapat-rapat. Lalu menguncinya. “Nona, jangan cari masalah. Pergilah!” suara Jo makin membuat wanita itu gemetaran. Secepat kilat wanita itu pergi dari hadapan Jo. Jo menyeringai, menatap punggung wanita ja***g itu hingga hilang dari pandangan matanya. “Syukurlah Anda masih bisa jaga diri tuan,” gumam Jo. Gio tak pernah tidur dengan wanita mana pun selama ini. Bahkan, berhubungan selama dua tahun dengan Selena pun paling hanya sampai berciuman. Kejadian dengan Kiara, itu di luar kendalinya. Itu juga pertama kalinya dia melakukan hubungan intim. Tiga tahun berlalu Kondisi fisik Kiara makin membaik. Tapi, kondisi mentalnya masih belum menunjukkan kemajuan yang banyak. Kiara hanya diam di dalam kamarnya, duduk di pojokkan memeluk kedua kakinya, dengan air mata yang mengalir deras. Bayangan hari itu, saat seseorang merudapaksanya dengan kasar masih begitu dalam membekas di otaknya. Seperti saat ini, dia gemetaran sambil menangis. “Tenang Kia, tenang sayang. Tak akan ada yang menyakitimu.” Adnan membelai lembut kepala adik kesayangannya itu. “Huuu huuuu.” Tangis pilu Kiara pecah. Tak menjawab atau merespons perkataan kakaknya. Adnan keluar dari kamar Kiara dengan wajah sendu. “Kita sudah mengikuti instruksi dari dokter Aisyah untuk pengobatan psikisnya lewat terapi di psikiater. Tapi, adikmu masih seperti ini saja.” Ibu mengesah, air matanya mengalir begitu saja. Ayah tidak ada di rumah, dia sedang bekerja. Adnan, kebetulan sedang mengambil cuti dari kantornya, sengaja sih. “Kring kring,” terdengar bunyi nada dering ponsel Adnan. “Dari dokter Aisyah.” Adnan berkata kepada ibunya. Adnan selalu senang jika dr. Aisyah meneleponnya. Suara lembutnya membuat hatinya terhanyut. “Halo?” Adnan menyapa dengan senyuman dari bibirnya. “Halo, selamat pagi.” dr. Aisyah, menyahuti. “Bagaimana keadaan Kiara?” dr. Aisyah, mulai bertanya. “Masih tetap sama.” Adnan mengesah, terdengar jelas kesedihan dari nada suaranya. “Saya ada seorang teman yang baru pulang dari luar negeri. Dia seorang Dr. Psikiatri yang bagus.” dr. Aisyah, mulai mengatakan maksudnya. “Lalu!” Adnan bertanya. “Maaf, tapi saya menceritakan kondisinya. Dia merasa sangat prihatin dan ingin melihat kondisi Kiara, dia bahkan mengatakan ingin mengobati Kiara sampai sembuh,” dr. Aisyah merasa yakin temannya itu punya kemampuan. “Jadi?” Adnan merasa penasaran. “Jika mengizinkan, saya dan teman saya ingin berkunjung ke rumah, untuk menemui Kiara dan melihat apa dia sanggup mengobatinya atau tidak,” jelas dokter Aisyah. “Sebentar, tanya ibu dulu.” Adnan menoleh ke arah ibunya, lalu mengatakan niat dr. Aisyah. Ibu memberikan persetujuannya. Akhirnya dr. Aisyah membuat janji temu hari ini jam empat sore. Seperti yang sudah di janjikan, dr. Aisyah datang bersama temannya sore ini. Mata Adnan bersinar melihat wajah cantik dr. Aisyah. Dan merasa kurang suka saat tau teman nya dr. Aisyah ternyata laki-laki, tampan pula. “Kenalkan saya Rama,” suaranya lembut untuk ukuran pria, senyuman yang tersungging begitu ramah. “Adnan.” tersenyum yang sedikit di paksakan, dia cemburu. “Kenapa harus cemburu, aku kan belum jadian sama dr. Aisyah,” gumamnya dalam hati. “Saya Rama Bu,” dokter muda itu mengulurkan tangannya kepada Bu Maya. “Saya Rama, Pak,” kemudian mengulurkan tangannya kepada Pak Darmawan. Bu Maya dan Pak Darma tampak menyukai dr. Rama. Dia terlihat begitu sopan, raut wajahnya lembut dan bersahaja. Auranya terlihat tenang. “Silakan masuk.” Bu Maya mempersilahkan. “Terimakasih.” Rama dan Aisyah kompak. Adnan mendengus kesal. Aisyah menyadarinya, dia melirik Adnan sekilas sambil tersenyum geli. Rama dan Aisyah mengobrol sebentar bersama Pak Darma dan Bu Maya. Sementara Adnan sibuk menatap dr. Aisyah, dengan raut wajahnya yang suram. “Kenapa mukanya ditekuk begitu?” dalam hati dr. Aisyah. “Boleh saya melihat kondisi Nona Kiara?” Rama bertanya dengan sopan. “Silakan.” Ibu berdiri mengantarkan dr. Rama ke kamar Kiara. Kiara masih dalam posisi yang sama seperti tadi pagi. Duduk memeluk kedua kakinya sambil menangis. Rama berjalan mendekati Kiara, jongkok di depannya. “Kiara, Kiara.” Mendengar suara asing, Kiara mendongakkan kepalanya. Bola matanya membulat, dia ketakutan. “Pergi, pergi!” teriaknya histeris. Tak mau bertemu orang asing. “Tenanglah, saya temanmu, teman. Sesama teman mari kita berbicara,” nada suara Rama begitu lembut, hingga membuat Kiara merasa sedikit tenang. Kiara menatap Rama tidak suka. Tapi, saat melihat senyuman Rama yang tulus dan hangat, tiba-tiba saja hatinya ikut menghangat. “Teman oke, bicara dari hati ke hati.” Rama menyentuh dadanya, menunjuk ke arah jantung. Kiara menatap Rama dalam. Lalu menatap ibunya yang berdiri di belakang Rama. Seolah meminta persetujuan. Ibunya mengangguk pelan. “Teman,” ucap Kiara lirih. “Iya, teman.” Rama tersenyum hangat. Melihat kondisi Kiara, Rama merasa iba. Siapa orang yang begitu tega menyakiti gadis kecil ini, pikirnya. Tapi, semua sudah sepakat untuk menutup dalam-dalam kasus ini. Ibu meninggalkan Rama berdua dengan Kiara. Rama terus mengajak Kiara berbicara dari hati ke hati. Perlahan Kiara mulai melebarkan hatinya, sehingga bisa menerima Rama sebagai temannya. Rama mendekati Kiara dengan cara berbeda. Masuk ke dalam hidup Kiara, bukan hanya sebagai dokternya saja. Tapi juga, sebagai temannya. Yang menerima semua keluh, kesah, kesal, marah dan bahagianya Kiara. Bulan berganti bulan. Kondisi Kiara kian membaik. Rama setiap hari datang ke rumah Pak Darma untuk memantau kondisinya. Satu tahun kemudian. Kondisi Kiara kian membaik. Dia mulai mau bersosialisasi kembali. Hari ini Rama mengunjunginya seperti biasa. Duduk berdua di bangku taman yang tidak jauh dari rumah Kiara. “Kia, hari ini aku harus kembali ke kota A. Ayah memintaku mengelola Rumah sakit di sana,” suaranya lirih, tak ingin berpisah dengan Kiara sebenarnya. Setahun bersama membuat hatinya begitu dekat. Dia menyukai Kiara. “Kamu ingin meninggalkanku?” mata bulat Kiara mulai berembun. “Bukan begitu, tapi pekerjaanku sekarang di sana.” Rama mengesah. Merengkuh bahu Kiara, lalu membawanya ke dalam pelukan. “Kamu tau Kia, aku sebenarnya menyukaimu.” Rama membelai lembut pipi Kiara. Mendapatkan sentuhan itu, tubuh Kiara menegang. Meski kejadian itu terjadi empat tahun yang lalu, dia tetap saja masih takut jika ada pria yang menyentuhnya. Tak terkecuali Rama, yang sudah menjadi orang terdekatnya selain orang tua dan kakaknya. Kiara mengurai pelukan Rama, mendorong tubuhnya pelan. “Kamu masih takut?” tanya Rama, di bibirnya terukir senyuman indah. “Hem.” Kiara menganggukkan kepalanya cepat. Rama tergelak, melihat gadis berusia dua puluh satu tahun itu mengangguk seperti anak kecil. “Jangan menertawakanku!” Kiara cemberut juga akhirnya, kesal sih. “Nggak, nggak. Mana berani aku menertawakanmu.” Rama menyentuh kepalanya lembut. Sejurus kemudian, Kiara tersenyum cerah. “Jangan tinggalkan aku!” Kiara kembali sedih, bibirnya bergetar. Dalam tiga tahun terakhir ini, Rama menjadi dokter sekaligus teman terbaiknya. Tiba-tiba saja hatinya hampa, membayangkan kepergian Rama. “Hei, jangan sedih begitu dong.” Rama mencubit hidung Kiara, gemas. Kiara masih cemberut. Sesuatu mulai turun dari kelopak matanya. Rama menyeka lembut pipi Kiara dengan sapu tangan yang dia keluarkan dari saku kemejanya. “Mau ikut ke kota?” Mata Kiara membulat, bibirnya tersenyum Sempurna. “Mau” “Apa akan boleh sama ayah dan ibumu?” “Harus boleh.” Kiara bergelayut manja di lengan Rama. Kali ini Kiara lebih rileks, tidak tegang lagi. “Ada kemajuan,” gumam Rama dalam hati. Rama merasa senang, karena Kiara benar-benar banyak kemajuan. Tinggal sedikit lagi, traumanya akan semakin memudar. Kadang Rama berpikir, siapa pria jahat yang sudah melecehkan Kiara. “Kenapa aku selalu merasa tenang saat berada dekat Kak Rama. Tapi, kadang aku merasa takut, dia sedikit mirip dengan orang jahat itu,” dalam hati, Kiara bergumam. Bayangan wajah tampan, dengan aura mencekam itu masih sering menghantui pikiran Kiara. Seperti sebuah mimpi buruk saja. Kafe X Adnan duduk berhadapan dengan seorang wanita. Dia adalah dr. Aisyah. Dia sengaja mengajak dr. Aisyah bertemu hari ini, setelah jadwal praktiknya di rumah sakit selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN