1. Terciduk Di Kamar Hotel

1359 Kata
"Tenang saja, Baby," suara John terdengar lembut namun penuh tipu daya. "Setelah aku menikah dengan Vero dan aku berhasil menguasai Johnson Construction, aku akan segera menceraikannya. Perusahaan itu akan menjadi milik kita, Baby. Dan kita bisa hidup bahagia tanpa gangguan." Veronica berdiri di depan pintu kamar hotel dengan tangan gemetar yang sedang memegang ponselnya, mendengar bisikan-bisikan yang familiar dari dalam. Hatinya berdebar keras saat dia mengarahkan kamera ponselnya ke celah pintu yang sedikit terbuka, merekam momen yang menghancurkan hatinya. Sophie tertawa kecil, menimpali, "Aku sudah tidak sabar lagi, John. Segera setelah itu, kita bisa menjalani hubungan kita tanpa pura-pura lagi. Aku juga sudah tidak sabar ingin mempublikasikan hubungan kita di depan semua orang." "Bersabarlah sebentar lagi, Shopie," balas John mengecup bibir adik tiri dari Veronica. Shopie menghela napas dan mengerucutkan bibirnya, "Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana kau akan menyentuhnya saat malam pertama pernikahan kalian nanti." "Tidak akan, Baby. Aku tidak akan pernah menyentuhnya. Aku akan mengatakan padanya bahwa aku tidak bisa ereksi," jawab John terkekeh, Shopie pun ikut tertawa. "Siap untuk putaran kedua, Baby?" kata John dengan tatapan penuh hasrat. "Tentu saja," jawab Sophie dan langsung mendaratkan bibirnya pada bibir John. Mereka pun kembali berciuman. Veronica merasa darahnya mendidih mendengar percakapan manusia-manusia licik itu. Dia menghentikan merekam video yang sedari tadi dia lakukan, lalu memotret mereka yang sedang berciuman mesra. Setelah itu, tanpa ragu, dia membuka pintu dengan keras, membuat kedua pengkhianat itu terkejut dan berusaha menutupi diri. "Kalian sungguh menjijikan!" Veronica berteriak dengan tatapan meremehkan, namun penuh dengan kemarahan. "Kalian sungguh tidak tahu malu!" John dan Sophie terdiam karena terkejut. Sementara Veronica mengambil segelas air dari atas nakas dan menyiramkan isinya ke wajah mereka berdua. "Kemari, mandilah!" "Apa-apaan ini, Vero? Apa yang kau lakukan di sini!" teriak Sophie mengamuk atas apa yang dilakukan Veronica padanya. "Itu untuk kebohongan dan pengkhianatan kalian!" Veronica berteriak, melemparkan gelas yang sudah kosong ke dinding. "Kau gila, Vero! Apa yang kau lakukan!" teriak Shopie lagi. Wanita berambut pirang itu terlihat sangat panik. "Benarkah, Shopie? Aku gila?" Veronica tertawa sumbang, lalu menatap Shopie dan John dengan tatapan jijik. "Kau menanyakan hal itu kepadaku setelah memergokimu tidur dengan tunanganku? Kau yang gila, b***h!" "Dan kau, John. Kau ...." "Jangan sok, Vero," tukas John. "Kau tahu benar, pernikahan kita hanya pernikahan bisnis yang sudah diatur oleh ayahmu. Ayahmu mengatur pernikahan kita agar kau bisa mendapatkan perusahaan ibumu. Ini tidak seperti hubungan pernikahan di mana kita saling mencintai." Veronica tersenyum miring, "Itu mungkin benar. Tapi, aku mempercayaimu, B*rengsek!" Vero melepas cincin pertunangannya dan melemparkannya tepat ke wajah John. "Aku tidak akan menikahi seorang penipu! Pertunangan dibatalkan!" John terkekeh, menatap Vero dengan tatapan meremehkan, "Kau tidak bisa melakukan ini, Vero! Tanpa pernikahan kita, kau tidak akan pernah menjadi CEO di perusahaan ibumu itu. Kau tahu benar persyaratannya, kau harus menikah sebelum usia 28 tahun, dan itu hanya satu minggu lagi." Veronica menatapnya dengan tajam, "Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu, John. Aku tidak akan membiarkan perusahaan hasil kerja keras ibuku jatuh ke tangan manusia-manusia licik seperti kalian! Aku lebih baik menikahi pria yang kutemui di pinggir jalan daripada menikah dengan penipu dan tukang selingkuh. Aku tidak akan pernah menikahi seseorang yang tidak memiliki integritas dan moral sepertimu!" "Dari mana kau akan mendapatkan calon suami dalam waktu satu minggu, Vero? Sepertinya kau harus segera mengucapkan selamat tinggal pada perusahaanmu," kata Sophie tak kalah meremehkan, menatap Veronica dengan senyumnya yang licik. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Shopie. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Veronica. "Apa-apaan kau, Vero!" teriak John seraya menarik Sophie ke dalam pelukan. "Aku tidak akan melepaskan perusahaan milik ibuku, tidak akan!" teriak Vero dengan napasnya yang memburu. Sophie kembali menyunggingkan senyum licik sambil memegang pipinya yang masih terasa perih karena tamparan Veronica, "Siap-siap saja kau ditendang oleh Daddy dari keluarga kita, Vero. Dan para direksi tidak lama lagi akan memecatmu dari perusahaan, tepat di hari ulang tahunmu!" "Kau pikir aku takut, Shopie? Aku bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan perusahaan milik ibuku. Justru kau dan ibumu yang j*lang itu yang harus bersiap tinggal di jalanan. Aku akan menendangmu keluar dari rumahku tepat setelah aku berhasil mendapatkan perusahaan! Kalian lihat saja, apa yang mampu kulakukan!" tegas Veronica dengan tatapan dan senyuman sinis. Tanpa menunggu balasan, Veronica berbalik dan keluar dari kamar itu, meninggalkan John dan Sophie yang masih kesal atas perlakuan Veronica. Sophie menghela napas kasar dan menggelengkan kepalanya, "Wanita j*lang itu!" Veronica segera menghubungi sahabatnya, Elle, dan mengatur pertemuan di bar terdekat. *** Di bar, Vero menceritakan kejadian tersebut kepada Elle sambil menenggak minuman keras. "Aku harus melakukan sesuatu, Elle. Aku tidak bisa membiarkan mereka menang." Elle menatap sahabatnya dengan penuh simpati, "Kau harus tetap kuat, Vero. Ada cara lain untuk mengatasi ini." Veronica menggeleng, dia tampak sedih, namun tidak ada air mata yang mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku harus menikah dalam satu minggu ini, dan aku tidak punya calon lain." Elle tiba-tiba tersenyum, "Kau butuh pelarian. Bagaimana kalau kau bersenang-senang malam ini? Lupakan semua masalahmu sejenak." Veronica terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, Elle. Hanya malam ini, aku akan melupakan semuanya." Elle merangkul Veronica, "Itulah Veronica. Sekarang, ayo kita nikmati malam ini." Dengan tekad baru, Veronica mengikuti Elle ke lantai dansa, berusaha mengusir bayang-bayang pengkhianatan yang masih menghantui pikirannya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi malam ini, dia bertekad untuk menghilangkan rasa penatnya bersama sahabat terbaiknya. Usai berdansa, Veronica terus menenggak minuman beralkohol hingga dirinya mabuk. Kemudian dia meminta Elle untuk mencarikan seorang pria panggilan untuknya. "Kau yakin, Vero?" tanya Elle memastikan, karena yang dia tahu, Veronica masih tersegel. Veronica pun membalasnya dengan anggukan. "Tidak perlu banyak bertanya, Elle. Lebih baik kau lakukan saja apa yang aku minta!" omelnya sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing dengan kedua mata yang terpejam. Elle menghela napas panjangnya. "Baiklah. Aku harap kau tidak akan pernah menyesali apa yang kau minta malam ini, Vero." Wanita berambut pendek sebatas bahu itu segera menghubungi saudara sepupunya yang selama ini mengangumi Veronica. Karena hanya pria itu yang Elle percaya untuk menghabiskan malam bersama Veronica. Pria itu sudah lama mengaguminya. Elle berpikir, mungkin saja Veronica bersedia menikah dengan Ken jika mereka sudah melakukannya. Terlebih Veronica sedang membutuhkan cepat calon suami untuk menggantikan posisi John. Veronica terhuyung menuju kamar hotel yang disebutkan Elle. Pengaruh alkohol membuat pandangannya kabur dan langkahnya goyah. Dia berusaha fokus pada nomor kamar di pintu, namun ternyata dia salah menekan bel kamar 1011, bukan 1101. Pintu terbuka, dan seorang pria tampan dengan tubuh atletis berdiri di sana, hanya menggunakan bathrobe, rambutnya pun masih tampak basah. Wajahnya tampak dingin dan sedikit arogan, namun ada secercah keterkejutan dalam matanya saat melihat Veronica. "Kau ...." Pria itu bergumam dengan suara rendah dan berat. Merasa seperti mengenal sosok wanita di hadapannya itu. Namun, otaknya masih sibuk berpikir tentang siapa gadis itu. Veronica tersenyum manis, meski matanya sayu karena mabuk. "Aku ... aku datang untukmu," katanya dengan suara menggodanya, berusaha mendekat. Pria itu, Theodore Harrison Schwarz, atau Theo, salah satu pewaris Schwarz Group. Dia mengerutkan kening. "Maaf, Nona, sepertinya Anda salah kamar." Veronica menggeleng dengan keras, mencoba menstabilkan diri. "Tidak, tidak salah. Elle yang mengirimku ke sini. Kau adalah pria panggilan yang dia pesan untukku, bukan?" Theo, yang awalnya belum begitu yakin, tiba-tiba merasa yakin siapa gadis di depannya. "Dia ...," gumamnya lirih, mengenang pertemuan mereka lima tahun lalu, hingga mengabaikan perkataan Veronica yang mengiranya adalah pria panggilan. “Terima kasih banyak,” ucapnya tulus. “Kenapa kau membantuku? Kita bahkan tidak saling mengenal.” Gadis itu hanya tersenyum manis, kemudian berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Theo. "Hei, siapa namamu, Nona?" Gadis itu pun menoleh dan hanya mengulas senyumnya, lalu kembali berbalik, dan benar-benar pergi meninggalkan Theo. Theo hanya tertegun melihat kepergiannya tanpa mengetahui siapa namanya. Veronica tidak mendengar gumamannya. Dia sudah mendekat dan menempelkan tubuhnya ke tubuh Theo, mencium bibirnya dengan tiba-tiba. Theo, meski terkejut, membalas ciuman itu karena dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Veronica adalah gadis yang dia cari selama lima tahun terakhir ini. Veronica menarik diri sejenak, menatap Theo dengan mata yang penuh kesakitan. "Malam ini ... hanya malam ini ... biarkan aku melupakan semuanya. Tolong buat aku melupakan semua apa yang terjadi padaku hari ini. Aku akan memberikan imbalan besar nanti," pintanya pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN