Mein Tum Se Pyaar

1835 Kata
07 "Hai," sahut Zayan seraya membalas senyuman perempuan itu dengan hal yang sama. "Apa kabar?" "Kabar baik." Perempuan itu menjabat tangan Zayan dengan tegas, kemudian beralih menyalami Laksmi dan Firman Hatim. "Apa kabar, Om, Tante?" tanyanya dengan suara direndahkan. "Baik, Nak. Ehm, maaf, sepertinya kita pernah ketemu, ya." Laksmi mengamati wajah perempuan yang kini berdiri di sebelah kiri Zayan. "Iya, Tante. Saya, Anggita. Teman Zayan SMU dulu," jelas perempuan bergaun gold itu sambil menepuk-nepuk pundak kiri Zayan yang tampak canggung. "Ah iya, pantesan kayaknya familiar banget. Pangling tante lihat kamu seanggun ini." Laksmi mengulaskan senyuman pada perempuan yang pernah dikiranya akan menjadi calon menantu, dulu. "Ssstt. Tante jangan ngingetin kalau dulu Gita tomboi banget." Gita mengukir senyuman menutupi rasa malu akan masa lalunya. "Mau gabung dengan kami, Nak?" tawar Firman sambil menunjuk kursi kosong di sebelah kiri. "Makasih, Om. Tapi Gita lagi sama teman." Anggita menunjuk ke arah Lani yang mengangguk kecil pada keluarga Hatim. "Silakan dilanjutkan, Om, Tante. Gita mau pamit." Perempuan itu menoleh pada Zayan, kemudian berkata," Jangan lupa untuk ikutan acara Jum'at nanti." Zayan hanya mengangguk mengiakan, memandangi kala Anggita melambaikan tangan pada kedua orang tuanya sebelum melangkah menjauh. Ivana yang baru ke luar dari toilet memerhatikan ketika perempuan yang tadi berpapasan dengannya itu tengah meninggalkan meja keluarganya, dan mendekati meja lain yang ditempati seorang perempuan muda. "Yang itu siapa, Mas?" tanya Ivana setelah mendudukkan diri di sebelah kanan sang suami. "Teman waktu SMU dulu," jawab Zayan sambil mengangkat tangan kanan dan menumpangkannya di pundak Ivana. Zayan tahu dengan pasti bila Ivana tidak akan menolak bila dia berlaku seperti itu saat tengah berada bersama orang tuanya. Zayan menahan tawa sebisa mungkin ketika Ivana mendelik tajam ke arahnya, sebelum kembali meneruskan menghabiskan makanannya. Anggita sesekali melirik ke arah Zayan. Dia baru menyadari bila perempuan bergaun putih yang tadi berpapasan dengannya itu adalah istrinya Zayan. Anggita pernah melihat unggahan foto Zayan di akun IG-nya, yang menampilkan fotonya bersama dengan perempuan itu dan seorang bayi laki-laki yang tampak sangat mirip dengan pria tersebut. "Maaf, saya terlambat," ujar seorang pria yang baru saja tiba. "Jalanan macet sekali," lanjutnya sambil menyalami Anggita dan Lani. "Nggak apa-apa, Pak. Mari, silakan duduk," sahut Lani. Pria itu membuka kancing jas sambil bergerak duduk di kursi seberang Anggita. Memantapkan posisi tubuh sembari mengambil tas kerja dan mengeluarkan beberapa berkas yang diberikannya pada Lani, yang meneruskannya pada Anggita. Pria berjas hitam itu memindai sekitar dan tak bisa mengalihkan pandangan dari pasangan yang tengah mengobrol di meja keluarga Hatim. Hadrian mendengkus dan membuang pandangan ke arah lain. Tanpa sadar dia mengepalkan tangan dan mengeraskan rahang. Rasa cemburu yang menerpa hati membuatnya ingin menghajar Zayan yang saat ini masih merangkul Ivana. Perhatian Hadrian teralihkan ketika Anggita dan Lani menanyakan beberapa klausul kontrak kerjasama, sebelum akhirnya menyetujui semua kesepakatan dan bersedia bekerjasama dengan perusahaan tempatnya bekerja. Hadrian menatap tajam kala keluarga Hatim beranjak berdiri dan jalan ke luar dengan langkah pelan. Sesaat dirinya beradu pandang dengan Ivana yang tampak terkejut melihatnya berada di tempat itu, tetapi kemudian Ivana meneruskan langkah sambil bergandengan tangan dengan Zayan. Kala pegawai restoran datang untuk menanyakan pesanan, Hadrian hanya memesan minuman. Rasa lapar yang tadi mendera mendadak hilang. Saat ini dia hanya ingin urusan pekerjaan cepat selesai dan dia bisa segera pulang ke apartemen. *** "Je ziet er zo mooi uit vanavond, Schat," ucap Larry dengan tatapan penuh pemujaan. "Bedankt. Kunnen we nu gewoon gaan? Papa wacht daar," jawab Diandra dengan bahasa Belanda yang cukup fasih. "Natuurlijk." Larry mengalihkan pandangan keluar, kemudian menekan pedal gas dan melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Dalam hati pria itu membatin, bahwa dirinya harus bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi Diandra. Luka yang pernah ditorehkannya pada perempuan muda itu membuat Larry harus menghadapi penolakan dari Diandra. Meskipun Larry sudah berpuluh kali meminta maaf, tetapi rupanya Diandra masih sulit untuk memaafkannya sepenuh hati. Sesekali Larry melirik pada Diandra yang kali ini tampak sangat anggun. Mengenakan gaun panjang hijau tua dengan aksen hitam di beberapa bagian, riasan wajah yang natural dan rambut digelung rapi. Menambah keelokan paras dan kesempurnaan penampilan. Larry teringat dengan ucapan Daniel, papanya Diandra, yang memintanya untuk bersikap lembut pada sang putri. Betapa pun kerasnya usaha Daniel untuk menekan putrinya agar mau menerima Larry sebagai pendamping, tetap saja tidak akan berhasil bila Larry tidak mengubah sikapnya pada Diandra. Pria itu mengeraskan rahang kala mengingat ucapan Daniel, bahwa saat ini Diandra tengah dekat dengan seorang pria bernama Hadrian. Larry pernah melihat foto pria itu dari ponsel Diandra yang lama, tepat sebelum dia melemparkan benda itu hingga hancur dan membuat Diandra bertambah marah. Setibanya di tempat tujuan, beberapa orang anak buah Daniel telah menunggu di tempat parkir. Mereka segera membukakan pintu dan menutupnya kembali setelah Larry dan Diandra ke luar. "Bos sudah menunggu, Nona," ucap salah seorang dari mereka sambil merundukkan tubuh sedikit. Diandra mengangguk, menoleh ke kanan dan mendapati bila Larry telah mengulurkan tangan. Diandra sempat berpikir sesaat sebelum akhirnya meraih uluran tangan pria itu, dan membiarkan Larry menggandengnya memasuki bangunan di hadapan. Suasana restoran itu tampak ramai. Sebagian besar tamu yang hadir adalah keluarga besar Daniel dan Yoana, mama tiri Diandra yang baru saja tiba di Indonesia, setelah sebelumnya berada di Singapura. Larry mengarahkan Diandra pada kedua orang tuanya yang tengah mengobrol bersama beberapa pasangan lain, yang salah satunya merupakan orang tua Larry, yaitu Barren Dirk dan Sonia. Diandra sudah mencurigai bila jamuan makan malam ini merupakan ajang bagi para orang tua mereka untuk kembali mendekatkan dirinya dengan Larry, terutama setelah mendengar obrolan para mama tentang rencana liburan minggu depan. "Ayo, Di. Kita mulai acaranya," ajak Sonia pada sang putri yang masih berdiri sambil memandangi pintu masuk. "Sebentar, Ma. Di lagi nunggu seseorang," jawab Diandra. "Siapa?" Diandra tidak menjawab, melainkan langsung mengembangkan senyuman kala melihat sosok pria yang sejak tadi ditunggu telah memasuki ruangan. Namun, senyuman itu seketika menghilang ketika melihat Hadrian tengah menggandeng perempuan, yang diakui pria tersebut sebagai kekasih, yaitu Nandira. *** "Makasih," ucap Zayan. "Makasih buat apa?" tanya Ivana. "Telah menjadi Bunda buat anak papa." Ivana menunduk dan pura-pura mengobrol dengan Kaivan yang sejak tadi menarik-narik rambutnya. Sengaja mengalihkan pandangan agar tidak menampilkan senyuman karena mendengar ucapan Zayan yang membuat hatinya menghangat. "Bun." "Ehm?" "Kapan papa yang diajak ngobrol kayak gitu?" Ivana mengangkat alis sembari memandangi Zayan yang tengah tersenyum. "Pengen juga ngobrol sambil diusap, dipeluk, sekali-sekali diciumin," ungkap Zayan yang tak urung membuat Ivana menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. "Masa cuma Kai aja, papanya juga pengen dong," sambungnya yang membuat tawa Ivana akhirnya pecah. Sudut bibir Zayan tertarik mengukir senyuman. Merasa senang karena kini Ivana sudah lebih santai bersamanya. Zayan berusaha untuk menyabarkan diri agar tidak melompati Kaivan dan mendekap Ivana, serta melakukan hal liar yang sudah beberapa hari ini bermain di benaknya. "Bun." "Ya?" "Setelah Kai tidur, temenin papa, ya." "Ke mana?" "Suatu tempat. Bunda pasti suka." Ivana menatap wajah pria berewok di hadapan, menelisik pancaran mata Zayan yang tampak menyimpan rahasia. "Bukan tempat private kan?" Zayan mengangkat bahu, sengaja tidak menjawab pertanyaan Ivana. Biar saja istrinya itu menebak-nebak mereka hendak ke mana. Satu jam kemudian, setelah menitipkan Kaivan pada Bi Sarni dan Laksmi, serta menyiapkan ASIP yang cukup buat beberapa jam ke depan, Zayan menuntaskan keinginannya mengajak Ivana. Sepanjang perjalanan Zayan tampak tersenyum-senyum sendiri, merasa senang karena Ivana tidak menolak permintaannya. Degup jantung Zayan mengencang, saat menyadari bahwa ini mungkin kencan pertama mereka setelah perang dingin hampir satu tahun. Biasanya selalu ada orang lain yang ikut bila mereka ke mana-mana, entah itu Eko, Bi Sarni atau Nia. Namun kali ini mereka benar-benar hanya berdua dan tanpa Kaivan pula. Sepasang mata beriris cokelat milik Ivana membola sempurna ketika menyadari Zayan membawanya ke tempat makan sederhana, yang dulu menjadi tempat favorit Ivana. Pemilik lapak ayam penyet itu menyambut gembira kedatangan pelangg*an yang sudah beberapa waktu tidak bertemu. Setelah mengobrol basa basi sesaat, Zayan menuntun Ivana menuju meja tempat mereka biasa tempati bila ke tempat itu. "Kaget Mas bawa aku ke sini," ujar Ivana sembari memindai sekitar. "Udah lama nggak ke sini kan. Terakhir itu sebelum Bunda ...." Zayan menghentikan ucapan, tidak mau lagi mengingat masa-masa paling gelap hidupnya itu. "Ehm, sebenarnya papa ngajak Bunda ke sini bukan sekadar makan aja, tapi ada sesuatu yang mau diomongin," lanjutnya. Ivana menunggu perkataan Zayan selanjutnya dengan hati berdebar. Sejujurnya dia terkejut dengan pilihan tempat makan pria tersebut. Awalnya Ivana mengira akan dibawa ke salah satu cabang restoran mereka yang baru dibuka beberapa minggu silam. "Ada acara reuni teman-teman SMA, Jum'at malam. Jadi, kalau kita tunda pulang ke Bandungnya minggu depan, boleh?" tanya Zayan. "Biar ibu sama ayah juga bisa lebih dekat dengan Kai, Bun. Gimana pun mereka pasti ingin berlama-lama dengan cucu yang sudah lama diidam-idamkan," imbuhnya sambil menatap lekat Ivana yang tampak tengah berpikir. Sepersekian detik kemudian barulah Ivana mengangguk menyetujui permintaan Zayan, dan membuat pria itu menghela napas lega, kemudian meraih tangan Ivana dan mengusapnya dengan lembut. "Makasih, Bun. Bunda memang paling pengertian," tukas Zayan. "Bisaan mujinya." "Oh, ini belum seberapa. Papa bisa mengeluarkan semua pujian kalau Bunda mau." Ivana mengulaskan senyuman lebar, merasa tenang karena mereka akhirnya bisa mengobrol dengan santai dan tidak perlu saling menyerang dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Obrolan mereka terjeda ketika pesanan tiba. Selama tiga puluh menit ke depan, mereka menikmati hidangan sambil mengobrol ringan. Setelah itu Ivana mengajak Zayan pulang karena merasa mengantuk. "Mas, ini kita mau ke mana lagi?" tanya Ivana setelah menyadari bila arah yang dituju Zayan itu berbeda dengan tempat tinggal keluarga Hatim. Zayan tidak menjawab, melainkan menekan pedal gas lebih dalam dan fokus menyetir. Ivana yang merasa enggan untuk berdebat dan akhirnya memilih bungkam, membiarkan Zayan mengarahkan kendaraan ke daerah utara Jakarta. Kala mobil berhenti di dekat pantai Ancol, Ivana akhirnya menarik napas lega. Setidaknya daerah pilihan Zayan bukan tempat private. Meskipun kawasan itu tidak terlalu ramai karena hari sudah malam, tetapi mereka tidak hanya berdua di sana. Ivana menerima uluran tangan Zayan yang mengajaknya menuju sebuah cafe yang menghadap ke pantai. Memesan minuman dan kudapan ringan untuk menemani waktu bersantai di bawah sinar rembulan. Zayan memposisikan diri di sebelah kiri Ivana. Melingkarkan tangan kanan ke pundak sang istri, dan tangan kiri menggenggam jemari perempuan yang telah menguasai hatinya saat ini. Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Keduanya sama-sama diam dan memilih untuk memerhatikan sekeliling yang cukup indah. Sesekali Zayan akan menatap Ivana dengan lekat. Menyimpan baik-baik lekuk wajah sang istri yang tampak sangat cantik. Ivana tersentak ketika Zayan mengangkat punggung tangannya dan mengecup dengan lembut. Sentuhan kumis pria itu menciptakan sensasi yang aneh di dalam hati Ivana. Kala Zayan menengadah, Ivana terpana karena menangkap pendar kerinduan dari sepasang mata beriris hitam milik sang suami. Sesaat Ivana merasa terenyuh sekaligus bersalah, karena telah menampik permohonan pria itu untuk kembali memulai hubungan yang baru. Hati Ivana melunak dengan segala bentuk tanggung jawab dan perhatian Zayan baik pada dirinya maupun Kaivan. Belum lagi berbagai dorongan dari keluarga yang ingin mereka kembali bersama. Perempuan berambut panjang itu sedikit kaget saat menyadari bahwa Zayan telah menggeser tubuh makin mendekat. Ivana hendak mundur tetapi Zayan telanjur menariknya dalam dekapan dan mencium pipi kiri sambil berujar dalam bahasa Hindi yang terdengar kaku. "Mein tum se pyaar kartahoon."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN