Memulai Kembali Dari Awal

1550 Kata
06 "Pak." Indy menegur Hadrian yang tengah berdiri di depan pintu ruang kerja Ivana yang masih tertutup. "Ehm, bu Ivana belum datang, ya?" tanya Hadrian untuk kesekian kalinya. "Belum, kayaknya nggak masuk kerja." "Nggak ada ngubungin kamu?" Indy menggeleng. Ada rasa iba saat melihat raut wajah Hadrian yang tampak kecewa karena Ivana tak jua menampakkan diri. Indy memang belum terlalu mengenal Ivana, tetapi dia bisa menangkap rasa sayang yang berlebih dari Hadrian, bila pria itu menceritakan tentang sosok Ivana. Sebagai seorang sekretaris, Indy sering menemani Hadrian bila harus bertemu dengan klien atau pertemuan bisnis lainnya. Bila bukan dia, biasanya Afnan yang diajak serta oleh Hadrian. Semenjak Indy menempati posisi tersebut, dia belum pernah mendengar Hadrian menceritakan tentang perempuan lain, hanya Ivana. Meskipun dia bingung dengan hubungan antara Hadrian, Ivana dan Zayan, tetapi Indy berusaha untuk tetap profesional dan tidak ikut-ikutan bergosip seperti karyawan-karyawan lain. "Oke, kalau dia ngubungin kamu, kasih tau saya, ya," pinta Hadrian sambil jalan mendekat. "Saya keluar dulu, mau ketemu bu Novi, nanti saya langsung ke tempat meeting dengan klien," pamitnya yang dibalas anggukan oleh Indy. Perempuan berambut sebahu itu memandangi kala Hadrian beranjak menjauh. Dia menggeleng pelan, sebelum kembali memfokuskan diri pada laptop di hadapan. Mobil yang dikemudikan Hadrian melaju menembus jalanan Kota Jakarta yang mulai padat meskipun waktu makan siang masih dua jam lagi. Pria berhidung bangir itu menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan hati yang bertanya-tanya tentang keberadaan Ivana. Hadrian memang tidak mau menghubungi Ivana terlebih dahulu, terutama karena saat ini Ivana tengah bersama keluarga Hatim. Walaupun cintanya sangat besar pada perempuan itu, tetapi Hadrian masih memegang janji untuk tidak mengganggu Ivana bila tengah bersama lawannya, si pria berewok. Kontak mereka hanya dari berbalas pesan di grup khusus itu, selebihnya jika bertemu atau Ivana yang menghubungi terlebih dahulu. Berhenti sesaat di lampu merah, tatapan Hadrian menerawang. Berandai-andai dirinya lebih percaya diri dan langsung mengutarakan perasaan saat mereka masih kuliah dulu. Jika waktu itu Hadrian melakukannya, mungkin saat ini mereka telah bersama. Akan tetapi, inilah jalan hidup yang harus ditempuh oleh Hadrian dan Ivana. Berliku. Berdarah-darah. Penuh air mata. Perjuangan yang sangat panjang, dan belum diketahui akhirnya akan seperti apa. Hadrian tahu, bersaing dengan Zayan itu sangat berat. Selain dari segi materi, keberadaan Kaivan di antara Ivana dan Zayan, mungkin saja bisa melunakkan hati Ivana untuk kembali memperbaiki hubungannya dengan Zayan. Namun, Hadrian tidak mau mengalah sebelum berperang. Dia bertekad kuat untuk membuat Ivana mencintainya. Sebab Hadrian tahu pasti bila Ivana sosok yang setia. Hadrian dan Nia, yang tahu bagaimana rapuhnya perasaan Ivana saat putus cinta pertama kali di masa SMU. Hadrian yang kala itu masih mempunyai pasangan, menjadi pendengar keluh kesah dan penyedia pundak untuk menampung tangisan Ivana. Pria berkulit kuning langsat itu tidak tahu pasti kapan dia menyadari telah jatuh hati pada Ivana. Dia hanya ingat hal itu terjadi di tahun kedua perkuliahan. Rasa yang terus terpupuk sekaligus disembunyikan rapat-rapat. Tidak berani mengungkapkan karena sadar dengan keterbatasan diri. Bunyi klakson kendaraan di belakang membuat Hadrian terkesiap dan segera tersadar dari lamunan. Kaki menekan pedal gas. Tangan kanan ditumpangkan ke pintu untuk menahan kepala yang terasa penuh. ***. Ivana merapikan pakaian yang sedikit kusut, kemudian mengusap rambut Kaivan yang baru selesai mendapatkan haknya. Sementara Zayan masih berbaring di belakang Kaivan, memandangi Ivana nyaris tanpa kedip. Rengekan Kaivan tadi menyelamatkan Ivana dari tuntutan hasrat Zayan. Sang putra yang tidak mengetahui bila bundanya nyaris menyerah dengan godaan papanya, malah mengajak Zayan bermain dan mengoceh bahasa bayi. Sejak tadi Ivana menyibukkan diri dengan berbagai hal. Merapikan pakaian Kaivan dan miliknya sendiri di lemari. Keluar masuk dengan membawa berbagai macam minuman dan kudapan dengan alasan dirinya sering merasa lapar setiap selesai memberikan ASI pada Kaivan. Padahal Zayan tahu bila Ivana tengah salah tingkah dan tak berani berbalas pandang dengannya. Zayan pun memutuskan untuk menunggu dan tidak jadi berangkat ke kantor. Dia ingin mencoba lagi merayu perempuan yang telah memberikannya harta paling berharga, yaitu Kaivan. "Bun." "Ya?" "Nggak usah ngantor, ya." Ivana mengangguk. "Sini!" "Nggak mau." "Kenapa?" "Nggak apa-apa." "Takut?" Hening. Ivana masih menunduk dan tidak berani menatap langsung pada Zayan. Debaran jantung kembali menanjak kala Zayan bangkit dan jalan mendekat. Menghempaskan tubuh di sebelah kiri Ivana dan meraih tangan sang istri serta mengusapnya dengan pelan. Zayan mengangkat tangan Ivana dan mendaratkan kecupan lembut di punggung tangan. Membalik tangan halus itu dengan pelan dan kembali memberikan ciuman tepat di titik nadi. Mengerling pada perempuan pemilik hati yang masih menunduk. Dengan tangan kiri, Zayan menengadahkan kepala Ivana hingga tatapan mereka kembali bertamu. Ivana mengerjap beberapa kali. Merasa bingung dengan reaksinya yang selalu seperti ini bila Zayan menyentuhnya. Perempuan berambut panjang itu menahan napas, ketika Zayan mendekatkan wajah mengecup dahinya, berdiam diri selama beberapa saat sebelum menggeser bibir ke hidung Ivana. Embusan napas mereka beradu. Jantung Ivana berdetak lebih kencang kala Zayan menyusuri setiap inci wajahnya dengan pelan. Sementara tangannya bergerak mengusap pundak hingga lengan Ivana berulang kali. Bunyi ketukan di pintu yang diiringi dengan suara panggilan Laksmi seketika menghentikan gerakan Zayan. Pria itu mengeluh dalam hati ketika Ivana berdiri dan menjauh, memutus kedekatan mereka yang baru saja hendak dimulai kembali. "Kalian mau makan siang apa?" tanya Laksmi. Mata besarnya mengerjap kala menyadari bila pipi Ivana tengah merona dan menantunya itu tampak gugup. "Mas, Ibu nanya mau makan apa." Ivana meneruskan pertanyaan mertuanya sambil merapikan rambut dengan gerakan canggung. "Kita makan di luar aja, yuk, Bu!" Zayan berdiri dan jalan ke pintu. "Ke tempat favorit Ibu aja, gimana?" Sudut bibir Laksmi terangkat membentuk senyuman. Perempuan tua itu mengangguk menyetujui usul sang putra. Matanya yang mirip dengan mata Berliana itu mengerling memandangi pasangan di hadapan. "Oke, ibu mau ke kamar dulu. Nanti kalau udah siap, panggil aja." Sepersekian detik Laksmi menjauh, Zayan menutup pintu dan langsung menguncinya sebelum berbalik menatap Ivana yang tengah menuju jendela. Zayan mengekor dan melingkarkan tangan di pinggang sang istri yang terkesiap sesaat, sebelum akhirnya membiarkan Zayan menempel erat di punggungnya. "Bun, kita perbaiki lagi hubungan, ya," pinta Zayan dengan suara lirih. "Aku ... belum siap, Mas," jawab Ivana. "Lagipula, sulit sekali rasanya untuk memperbaiki hubungan yang sudah hancur," sambungnya yang membuat hati Zayan gerimis. Pria itu menghela napas berat dan mengembuskannya dengan pelan. Merasa bingung harus berbuat apa lagi untuk bisa mendapatkan kesempatan kedua. Kekerasan hati Ivana seakan-akan membentur egonya. Baru kali ini Zayan bertemu orang yang bisa membuatnya tidak mampu berkata-kata. Zayan mengurai pelukan dan memutar tubuh istrinya hingga saling berhadapan. Menatap dalam-dalam manik cokelat yang membuatnya nyaris tenggelam di dalamnya. Perlahan tangan kanan Zayan mengusap pundak hingga lengan Ivana yang hanya berdiam diri memandanginya. "Kai sudah hampir empat bulan. Sebelumnya pun Bunda sudah menjauh. Jadi kalau dihitung-hitung kita udah lama sendiri-sendiri," ucap Zayan. "Berapa lama lagi papa harus menunggu, Bun?" tanyanya dengan sedikit frustrasi. "Aku nggak minta Mas buat nunggu." "Iya, Bunda emang nggak minta gitu. Tapi papa yang mau nunggu. Maksud papa, mungkin kita bisa mulai lagi semuanya dari awal." "Dari awal aja udah salah kan, dulu." "Ya sekarang kita mulai lagi dari nol, Bun. Bangun pondasi baru yang lebih kokoh. Kalau bukan buat kita, lakukan buat Kai." "Kai nanti pasti akan paham kalau kita tetap terpisah, Mas." "Maksudnya?" Ivana tidak menjawab, melainkan menjauhkan diri dan jalan ke luar. Dia ingin menenangkan hati dan pikiran, serta harus berjauhan dari Zayan agar bisa berpikir jernih dan tidak terpengaruh rayuan pria tersebut. Zayan memandangi kepergian Ivana sambil menggertakkan gigi. Meraup wajah dengan tangan kanan dan meremas rambutnya yang memanjang. Menghela napas berat berulang kali untuk menghilangkan rasa sesak dalam d**a. Pria berhidung bangir itu tahu bila dirinya tidak boleh terlalu menekan Ivana. Luka yang ditorehkan dulu ternyata masih membekas di hati perempuan tersebut. Menyesal puluhan kali pun tidak akan mengubah keadaan. Saat ini Zayan hanya bisa bersabar menunggu Ivana benar-benar memaafkannya. Entah kapan. *** Sepasang kaki jenjang turun dari sebuah mobil sedan mewah yang berhenti di depan pintu sebuah restoran. Berdiri sesaat untuk mengangkat kacamata hitam hingga tersangkut rapi di kepala. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hijau tua bergegas mendekat sambil memegangi tas mewah milik bos-nya, yang telah jalan terlebih dahulu memasuki pintu restoran tersebut. "Lan, nanti pesankan saya makanan yang biasa. Saya mau ke toilet dulu," ucap perempuan berkacamata hitam itu pada Lani, asisten pribadi yang tadi mengikuti langkahnya. Perempuan berkulit putih itu mengayunkan tungkai menuju bagian belakang restoran. Sementara Lani menempati meja yang berada di bagian kanan, dan menyebutkan beberapa menu pesanan pada pegawai restoran. Tak berselang lama, perempuan berkacamata hitam itu ke luar dari toilet dan berpapasan dengan Ivana yang hendak masuk. Sesaat keduanya saling beradu pandang, kemudian sama-sama melebarkan senyuman. Perempuan itu menggeser tubuh hingga Ivana bisa lewat, kemudian meneruskan langkah menuju meja yang ditempati Lani. Perempuan bergaun gold itu melepaskan kacamata dari kepala, lalu meletakkannya di atas meja. Menjangkau rambut panjangnya dan digelung rapi. Mengambil benda hitam dari tangan Lani dan menjepitkannya ke gelungan. "Udah rapi belum?" tanyanya pada Lani yang membalas dengan acungan jempol. Perempuan tersebut mengulaskan senyuman, kemudian memantau sekeliling dengan rasa ketertarikan dengan suasana ramai di tempat tersebut. Tatapannya terpaku pada sesosok pria yang duduk di meja sebelah kiri, berjarak sekitar lima meja dari tempatnya berada. Sepasang mata sipit beriris hitam itu seketika berbinar-binar. Lani terperangah kala sang bos berdiri dan menghampiri pria di meja itu yang tengah mengobrol dengan dua orang di hadapan. "Zay," sapanya dengan suara lembut. Zayan sontak menengadah dan tertegun sesaat, sebelum akhirnya mengenali sosok perempuan yang tengah menyunggingkan senyuman lebar ke arahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN